Teruji Klinis, Izin Edar Ada Kemenkes
Selama pandemi Covid-19, salah satu upaya untuk mencegah penularan adalah menggunakan masker. Namun, beredarnya kabar tentang masker palsu atau tak sesuai dengan standar membuat seseorang rentan tertular virus SARS-CoV-2.
PERCEPATAN vaksinasi terus berlanjut. Meski nanti sudah divaksin, masyarakat diimbau tetap menjaga protokol kesehatan. Salah satunya, tetap menggunakan masker.
Pada awal pandemi terjadi kelangkaan ketersediaan masker medis. Dilansir laman resmi Kementerian Kesehatan (Kemenkes), selama setahun lebih pandemi Covid-19, sudah ada 996 industri masker medis yang memiliki nomor izin edar dari Kemenkes.
Kemenkes mengimbau masyarakat agar berhati-hati dalam memilih masker. Sebab, saat ini telah beredar masker palsu yang dapat meningkatkan kerentanan penularan virus SARS-CoV-2. Ketika produk masker sudah mendapatkan izin edar dari Kemenkes, masker tersebut telah memenuhi persyaratan mutu keamanan dan manfaat. Di antaranya, telah lulus uji bacterial
filtration efficiency (BFE), particle filtration
efficiency (PFE), dan breathing resistance sebagai syarat untuk mencegah masuk dan penularan virus serta bakteri.
Karena itu, untuk menghindari kesalahan dalam memilih masker medis, tenaga kesehatan dan masyarakat diimbau membeli masker medis yang sudah memiliki izin edar alat kesehatan dari Kemenkes. Izin edar biasanya tercantum pada kemasan. Untuk lebih memastikannya, masyarakat bisa mengecek di infoalkes.kemkes.go.id.
Sementara itu, Direktur PT Medishop Indonesia Sehat Audi Pascalis Umboh menyampaikan, masyarakat sering memiliki
mindset bahwa masker yang asli harus tebal. ’’Padahal, ketebalan tidak terlalu berpengaruh. Yang berpengaruh adalah filtrasinya. Untuk mengukur filtrasi ini, memang harus dibawa ke laboratorium,’’ ungkapnya saat ditemui pada Jumat siang (9/4).
Dia menyampaikan bahwa masker memiliki standar sendiri. Sesuai dengan standar internasional, masker minimal memiliki tingkat filtrasi 95 persen. Namun, dari penelusuran, ditemukan sejumlah masker tanpa sertifikasi dengan tingkat filtrasi 81, 80, dan 90 persen. ’’Menurut kami, itulah definisi masker palsu. Tidak memenuhi standar filtrasi minimal 95 persen,’’ jelasnya.
Selain itu, masker yang aman memiliki standar kemudahan bernapas <5. ’’Di pasaran ada yang 15 atau 20. Jadi, maskernya pengap,’’ ucapnya.
Audi memaparkan, pada umumnya ada dua parameter masker. Yakni, memudahkan penggunanya bernapas dan filtrasinya sesuai dengan standar. Sementara itu, di lapangan sering ditemukan masker yang nyaman digunakan bernapas, tapi filtrasinya kurang bagus. Atau filtrasinya bagus, tapi pengap.
’’Yang bagus adalah penyaringnya bagus dan untuk bernapas juga bagus,’’ katanya. Jika tingkat kemudahan bernapas dan filtrasinya tidak memenuhi standar, dapat dipastikan masker itu abal-abal.
Masker impor abal-abal yang kerap dibeli masyarakat secara online dapat diamati dengan mudah dari keterangan yang ada di boks. Apakah ada alamat lengkap perusahaan importir dan apakah ada nomor izin edar alat kesehatan (AKL).
Perhatikan juga apakah ada keterangan atau tulisan surgical-nya atau tidak dan apakah menerangkan medis atau nonmedis. Dari kemasannya saja dapat dilihat dan dinilai apakah masker tanpa merek yang jelas tersebut memenuhi standar kelayakan atau tidak.
Secara kasatmata, kata Audi, memang sulit membedakan masker yang asli atau memenuhi standar dengan masker abalabal. ’’Harus ada uji laboratoriumnya. Justru karena sangat susah membedakan yang asli dan palsu secara kasatmata, penjual masker abal-abal mencari celah di sana. Pembeli akhirnya membeli yang asal murah. Namun, kalau dilihat dari bahan, sebenarnya juga sudah terlihat berbeda kok,’’ terangnya.