Do Fasting, Better Living
TIME flies! Nggak terasa ya kita dipertemukan kembali dengan bulan suci Ramadan. Tahun ini merupakan tahun kedua Ramadan di tengah pandemi Covid-19. Meski begitu, kalian tetap semangat berpuasa dong? Apalagi, ada beberapa manfaat puasa yang kita butuhkan selama menghadapi pandemi. Yuk, disimak! (arm/c12/rat)
Detoksifikasi Tubuh
Sejak Covid-19 masuk ke Indonesia, masyarakat disarankan tetap di rumah untuk mencegah penularan. Sayang, terus berdiam di rumah berdampak buruk untuk banyak orang! Sebab, aktivitas fisik berkurang drastis sehingga tubuh jadi pasif dan kondisi jantung ikut menurun. Hal ini mengakibatkan sistem metabolisme tubuh melemah. Dalam bukunya yang berjudul
Puasa sambil Detoks, Prof Dr H Hardiansyah MS menyatakan bahwa setiap hari tubuh kita kemasukan toksin yang berisiko menimbulkan berbagai penyakit.
So, detoksifikasi dibutuhkan untuk membuang zat-zat yang bersifat toksin. Nah salah satunya adalah dengan berpuasa. Puasa merupakan metode detoksifikasi paling tua dalam sejarah peradaban manusia sekaligus terbukti paling aman dan efektif.
Selama berpuasa, tubuh kita nggak mendapat asupan makanan, termasuk jajanan dengan kandungan lemak dan gula tinggi. Kondisi ini membuat sistem pencernaan bisa beristirahat sejenak dan akan fokus melakukan detoksifikasi. Proses detoksifikasi ini membuat sistem metabolisme tubuh jadi lebih lancar. Jadi, meskipun berdiam diri di rumah aja, sistem metabolisme tubuh kita tetap lancar dengan berpuasa.
Pernah nggak sih merasa stres karena jenuh di rumah dengan kegiatan itu-itu aja? Eits, ternyata puasa juga bermanfaat bagi kesehatan mental! ”Puasa terbukti meningkatkan neurogenesis di otak,’’ tutur Dr Mark Mattson, profesor neurologi Universitas John Hopkins, seperti dilansir LIFE
Apps. Neurogenesis adalah pertumbuhan dan perkembangan sel-sel otak. Produksi neurogenesis yang lebih tinggi dapat meningkatkan kinerja otak, suasana hati, serta meningkatkan kemampuan berkonsentrasi.
Nah, puasa bisa meningkatkan produksi brain-derived
neurotrophic factor (BDNF) di dalam sel-sel otak. Makin tinggi kadar BDNF, seseorang jadi nggak gampang depresi. Setelah berhasil menjalankan puasa selama sehari, produksi hormon
dopamin dan endorphin dalam tubuh juga meningkat sehingga
mood kita meningkat.
Oh iya, puasa juga dijadikan terapi lho untuk pasien dengan gangguan jiwa. Buktinya, Nicolayev, seorang guru besar yang bekerja di Institut Psikiatri Moskow, berhasil menyembuhkan pasien gangguan jiwa dengan berpuasa. Setelah berpuasa 30 hari, banyak pasien yang dinyatakan sembuh dan nggak kambuh lagi selama enam tahun ke depan. Wow!
Mereduksi Perilaku Agresif
Perilaku agresif yang dimaksud adalah menyakiti, membicarakan, dan memusuhi orang lain, serta bicara kasar. Kalau lagi gabut, nggak jarang nih kita ghibah dengan teman-teman, baik melalui
chat maupun saat bertemu langsung. Dalam keadaan nggak puasa, perkataan kita juga ceplasceplos dan nggak terfilter sehingga bisa menyinggung orang lain. Lalu, gimana sih mengurangi sikapsikap nggak baik ini?
Nah esensi puasa adalah menahan diri. Nggak cuma dari makanan dan minuman, tapi juga dari perbuatan-perbuatan buruk. Berdasar penelitian Prof Soedarto terhadap orang-orang yang berpuasa secara berkala, tingkat agresivitas mereka menurun. Perilaku berbicara kasar, membicarakan, dan menyakiti orang lain mulai berkurang.
Puasa juga dapat menahan kita dari aktivitas yang nggak berfaedah. Misalnya, belanja sanasini, beli makanan dengan jumlah banyak, dan nongkrong tanpa tujuan jelas padahal masih pandemi. Dengan puasa, kita diajarkan hidup sederhana. Rasa haus dan lapar bisa mengingatkan kita kepada mereka yang kurang beruntung agar kita lebih bersyukur atas hal yang kita punya.