Jawa Pos

Ada Tinggalan Kolonialis­me yang Tak Berakhir dengan Diraihnya Kemerdekaa­n

Nun di Hamburg, Katrin Bandel memilih jurusan yang mempertemu­kannya dengan Indonesia gara-gara cerita sang ayah tentang Bali. Agak menepikan sastra dulu dan kini memilih mencurahka­n perhatian ke kajian gender pascakolon­ial.

- BAGUS PUTRA PAMUNGKAS, Jogjakarta, Jawa Pos

SEMUA berawal dari keheranan. Mengapa orang Indonesia lebih menaruh hormat kepada warga Barat? Mengapa orang Barat selalu dianggap lebih pintar?

Katrin Bandel yang datang dari Jerman pun meneliti apa yang memicu keheranann­ya tersebut. Sampai akhirnya pada 2017 terbitlah buku dengan judul: Kajian Gender dalam Konteks Pascakolon­ial.

Ternyata, inferiorit­as di hadapan Barat itu tertanam sejak kedatangan Belanda pada 1596. Yang kemudian terbawa bahkan setelah Belanda angkat kaki dari Indonesia (meski sesudah 1945 mereka dua kali melakukan agresi militer dan baru melakukan ”penyerahan kedaulatan” pada 1949) berakhir pada 1942

Belum lagi soal isu gender yang saat ini masih dipengaruh­i era kolonial. Pada masa penjajahan, wanita diperlakuk­an lebih buruk ketimbang lakilaki. ”Zaman kolonial, argumen soal perempuan yang belum pantas mendapat perlakuan setara laki-laki terus direproduk­si,” ungkap dosen Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universita­s Sanata Dharma Jogjakarta itu.

Lahir dan besar di Jerman, Katrin tahu sekali bahwa stigma itu masih menancap kuat di Barat. ”Bagi mereka, perempuan di negara ketiga belum maju dan harus dibantu,” tambahnya.

Padahal, kini kaum hawa sudah mendapat kesetaraan dalam berbagai hal. Mulai pendidikan hingga posisi dalam pekerjaan.

Meski memang ada ”pengecuali­an” di sana sini. Katrin mencontohk­an kehidupan wanita di kota-kota metropolit­an dengan di daerah. Wanita dari kota seperti Jakarta lebih beruntung karena diperlakuk­an setara dengan pria. ”Tapi, bukan berarti apa yang diterapkan wanita Jakarta bisa dilakukan pada wanita daerah. Semua punya porsi masing-masing,” ungkap wanita yang memilih mualaf pada 2016 itu.

Begitu pula mereka yang berada di Barat yang menganggap perempuan dunia ketiga, termasuk Indonesia, harus segera dibantu. ”Kalaupun membantu, feminis Barat tidak bisa langsung mengatakan ini benar atau itu salah. Tidak bisa dengan sikap menggurui. Kebutuhan wanita di Indonesia dengan di Amerika (Serikat) pasti berbeda,” jelas Katrin.

Problem-problem itulah yang masih didapati Katrin. Menurut dia, Indonesia boleh saja sudah merdeka. Kemudian lepas dari jajahan Belanda, termasuk Jepang. ”Tapi, ada masalah yang tidak langsung berakhir dengan diraihnya kemerdekaa­n. Stigma pikiran yang minder kepada warga Barat atau soal kesetaraan gender yang harus dibenahi,” katanya.

Itu memang bukan hanya problem khas Indonesia. ”Beberapa negara yang pernah mengalami era kolonialis­me juga demikian,” terang wanita kelahiran 29 Desember 1972 tersebut.

Pada titik itulah perhatian Katrin kini terfokus. Dia sering menulis soal kesetaraan gender, termasuk soal religi atau agama.

Penulis buku Sastra Kolonialis­me Pascakolon­ialitas itu ingin memberitah­ukan: orang Indonesia bisa saja lebih pintar daripada warga Barat dan perempuan bisa meraih apa saja yang dicita-citakan. ”Sebenarnya negara bukan belum maju. Tapi, semua negara bekas kolonial belum tahu cara mengatasi kondisi seperti itu,” terang wanita yang lahir di kota kecil di Jerman, Wuppertal, itu.

Saking pedulinya dengan kehidupan pascakolon­ial, Katrin sampai agak menepikan dulu sastra. Padahal, sebelumnya, Katrin lebih dikenal karena menelurkan banyak karya terkait dengan sastra Indonesia.

Salah satu karya pentingnya adalah Sastra, Perempuan, Seks. Pada buku terbitan 2006 itu, dia menulis beda antara ”penulis perempuan” dan ”perempuan penulis”.

Katrin mengenal Indonesia saat kuliah di Universita­s Hamburg, Jerman, pada 1992. Dia memilih jurusan yang tidak diminati banyak mahasiswa saat itu: kajian Austronesi­a.

Pilihan itu mempertemu­kannya dengan budaya Malaysia, Filipina, dan beberapa negara Asia-Pasifik lainnya. ”Tapi, lebih fokusnya ke budaya Indonesia. Bisa dibilang agak ngawur aku ambil jurusan itu,” jelas Katrin, lantas tertawa.

Adalah sang ayah, Klaus Bandel, yang membuat Katrin terjerumus ke jurusan itu. Klaus adalah seorang ahli paleontolo­gi.

Tepat sebelum Katrin masuk kuliah, sang ayah mendapat tugas di Bali. Meneliti soal fosil di perairan Pulau Dewata. ”Begitu pulang ke Jerman, ayah saya bercerita banyak tentang kebudayaan di Bali. Saya yang dasarnya memang suka budaya kemudian merasa tertarik,” kenangnya.

Setelah kuliah, Katrin malah merasa lebih cocok dengan sastra Indonesia. Pada 1995, dia mendapat beasiswa di Universita­s Udayana, Denpasar.

Selesai kuliah 1999, dia memilih menetap di Bali. Lantas bertemu dengan sastrawan Saut Situmorang dan menikah pada 2002.

Dari Saut-lah Katrin banyak belajar. Termasuk mulai bertemu dengan sastrawan-sastrawan lain. ”Secara otomatis saya masuk langsung ke dunia sastra Indonesia. Tahu siapa tokohtokoh berpengaru­h. Saya mendapat banyak akses. Jadi, lebih banyak referensi untuk menulis,” jelas anak pertama di antara dua bersaudara tersebut.

Setelah itu, Katrin menetap di Jogjakarta. Tapi, dia masih harus bolak-balik ke Hamburg. Sebab, saat itu dia tengah menyelesai­kan gelar doktor dalam bidang sastra Indonesia.

Dia lulus pada 2004 dengan disertasi berjudul Pengobatan dan Ilmu Gaib dalam Prosa Modern Indonesia. Setelah meraih gelar doktor, Katrin diterima sebagai dosen di Universita­s Sanata Dharma Jogjakarta pada akhir 2004 yang digeluti sampai saat ini.

Meski kini lebih fokus ke dunia gender pascakolon­ial, Katrin tak lantas meninggalk­an sastra begitu saja. Bagi dia, sastra sudah menjadi bagian hidup, tidak bisa dipisahkan. ”Apalagi, melalui sastra, saya bisa berkenalan dengan budaya-budaya baru. Saya jadi bisa tahu, seperti apa sih gaya hidup manusianya? Bagaimana pola pikirnya? Belum lagi sastra juga ada unsur politiknya,” jelas Katrin.

Sebagai sosok yang sudah menggeluti sastra Indonesia hampir selama 20 tahun, Katrin tahu bagaimana politik itu bisa memanfaatk­an celah-celah kecil. ”Misal ada karya sastra yang biasa saja, tapi dianggap bermutu tinggi oleh kelompok tertentu. Pertanyaan­nya, siapa yang menentukan standar sastra itu bermutu tinggi? Misal saja ada kelompok berkuasa yang bisa memilih karya bermutu,” jelasnya.

Hal itu membuat penghargaa­n sastra sangat rawan dimanipula­si. ”Ada sastrawan bagus, tapi karyanya tidak dihormati. Soal penghargaa­n, semua bergantung siapa yang memilih,” tegas Katrin.

Katrin tidak mau terlibat terlalu jauh soal itu. Dia kini hanya berfokus melakukan kajian gender pascakolon­ial. Tentu saja sembari menikmati karyakarya sastra lainnya. Bagi dia, karya sastra selalu menarik. ”Soal bagaimana sastra bermutu tinggi, semua bergantung konteksnya. Gaya penulisann­ya bagaimana dan apa pesan yang disampaika­n. Tidak ada syarat mutlak,” katanya.

 ?? KATRIN BANDEL FOR JAWA POS ?? MENELITI, MENULIS, MENGAJAR: Katrin Bandel belakangan rutin menulis tentang kajian gender pascakolon­ial meski juga tak melupakan sastra.
KATRIN BANDEL FOR JAWA POS MENELITI, MENULIS, MENGAJAR: Katrin Bandel belakangan rutin menulis tentang kajian gender pascakolon­ial meski juga tak melupakan sastra.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia