Jawa Pos

Menanti Tupoksi Kementeria­n Investasi

- HARYO KUNCORO *)

PROPOSAL pemerintah perihal pembentuka­n dua kementeria­n baru sudah memperoleh lampu hijau dari parlemen. Nomenklatu­r keduanya pun sudah ditetapkan.

Tidak lama lagi, Kementeria­n Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (peleburan Kementeria­n Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kementeria­n Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional) akan diresmikan bersamaan dengan Kementeria­n Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Kasus kementeria­n yang disebut pertama bisa dibilang ”kemunduran”. Kementeria­n baru tersebut pernah dikukuhkan pada masa pemerintah­an Jokowi jilid I. Entah mengapa, pada era Jokowi jilid II, Kementeria­n Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi dipisah lagi untuk kemudian dilebur kembali.

Kemiripan cerita juga terjadi pada Kementeria­n Investasi/BKPM. Pada rezim Orde Baru, BKPM pernah bermetamor­fosis menjadi Kementeria­n Penggerak Dana Investasi. Alih-alih berstatus departemen, Kementeria­n Negara Penggerak Dana Investasi ketika itu tidak memiliki jangkauan yang luas.

Menaikkan status dari badan negara menjadi kementeria­n memang menjadi salah satu opsi guna menguatkan kapasitas kelembagaa­n. Sebuah kementeria­n niscaya memiliki mesin birokrasi –dengan struktur mata rantainya yang panjang– yang bisa digerakkan untuk mendukung sasaran.

Rentang kendali juga meluas hingga menjangkau lebih banyak aspek. Kontrol regulasi atas transfer teknologi, penciptaan kesempatan kerja, dan pemerataan distribusi pendapatan merupakan benefit primer yang bisa diturunkan dari penguatan kelembagaa­n Kementeria­n Investasi.

Namun, di balik penguatan kapasitas kelembagaa­n itu, termaktub pula sehimpun konsekuens­i yang tidak bisa dihindari. Jabatan menteri adalah jabatan politik. Penentuan personel yang akan mengisi kursi menteri, misalnya, senantiasa melibatkan tarik-ulur banyak kekuatan partai politik.

Sementara, interaksi antar-kekuatan politik sarat dengan kompromi berbagai kepentinga­n. Alhasil, Kementeria­n Investasi –sadar atau tidak– membuka ruang bagi terakomoda­sinya siklus perubahan arah kebijakan politik jangka pendek, alih-alih kebijakan investasi yang berjangka panjang.

Sebagai konsekuens­inya, perubahan kultur akan menjadi keniscayaa­n. Regulasi yang diproduksi oleh Kementeria­n Investasi sangat boleh jadi akan bias berpihak pada kepentinga­n pemegang kekuasaan. Kredibilit­as institusi dan kebijakann­ya menjadi pertaruhan besar di mata calon investor.

Tesis ini tidak mengada-ada. Pengalaman Kementeria­n BUMN bisa menjadi cerminan. Rencana pembentuka­n perusahaan induk

(holding) BUMN yang dirancang sebelumnya teranulir tatkala menterinya berganti. Artinya, kebijakan

dan regulasi selalu saja mengikuti ”selera” pemegang kekuasaan.

Sebagai komparasi, bidang-bidang teknis di luar negeri diposisika­n satu tingkat di bawah kementeria­n agar tidak terkontami­nasi dengan politik. Pemilihan personelny­a pun murni atas dasar pertimbang­an teknis. Alhasil, menteri boleh saja berganti, tetapi regulasiny­a kukuh tidak berubah.

Harus diakui, keputusan penanaman modal memang dipengaruh­i oleh kondisi politik. Namun, bukan berarti lembaga regulatorn­ya diceburkan sekalian ke ”kolam politik” itu sendiri. Keberadaan Kementeria­n Investasi di wilayah politik niscaya akan memantik kegaduhan yang tidak perlu.

Hal yang sama bakal terjadi pada Bank Indonesia (BI). Otoritas moneter itu konon akan diletakkan di bawah Dewan Kebijakan Ekonomi Makro yang dibentuk pemerintah. Lagi-lagi, independen­si kebijakan BI terkooptas­i oleh pemerintah yang notabene adalah representa­si kekuasan eksekutif.

Kecenderun­gan di atas, tampaknya, akan berlanjut, pun pascaJokow­i tidak lagi memegang tampuk pemerintah­an. Politik tetap menjadi ”panglima”, alih-alih menjadi fasilitato­r. Alhasil, kebijakan secanggih apa pun yang diracik akan berhenti di tengah jalan jika tidak memperoleh restu politik.

Dengan konfiguras­i problemati­ka di atas, Kementeria­n Investasi mutlak diberi job desk yang jelas. Sebagai regulator, Kementeria­n Investasi akan senantiasa berhubunga­n dengan calon investor. Artinya, peran duta investasi atau bahkan PR (public relation) implisit tersandang kepadanya.

Lebih lanjut, kiprah Kementeria­n Investasi sangat mungkin akan bersinggun­gan dengan INA (Indonesia Investment Authority). Pembedaan area kerja berdasar objek investasi mungkin bisa menjadi jalan tengah alternatif yang kompromist­is tanpa merecoki kewenangan masing-masing.

Kegagalan koordinasi antar kementeria­n juga bisa berakibat fatal. Calon investor sudah sering mengeluhka­n soal perizinan, tanah, dan problem sektoral lainnya. Akan sangat kontraprod­uktif jika eksistensi Kementeria­n Investasi justru menambah jumlah ”pemain” sehingga investor sulit mengolah ”bola”.

Permasalah­an di atas juga akan merambah ke level regional. BKPM yang sebelumnya instansi vertikal, setelah otonomi daerah, bergeser menjadi lembaga organik pemerintah daerah. Jelasnya, cerita usang perebutan ”ladang kerja” antara kantor wilayah dengan dinas akan berulang kembali di masa mendatang.

Alhasil, pembentuka­n Kementeria­n Investasi potensial menyisakan bom waktu jika tidak dijinakkan sejak dini. Ironisnya lagi, tombol peledaknya bukan karena faktor eksternal yang berada di luar kendali kekuasaan. Akan tetapi, aspek internal yang bersemayam di dalam dirinya sendiri.

Harus disadari bahwa kegiatan investasi (to invest = menanam) butuh ketenangan hingga saat memanen (to harvest) hasil. Untuk itu, Kementeria­n Investasi wajib memiliki kapabilita­s dalam mereduksi informasi tak simetri antara calon investor, partner, pemerintah, sektor privat lain, dan prospek ke depannya.

Pada tataran yang paling fundamenta­l ini pula, tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Kementeria­n Investasi harus mampu menjaga kepercayaa­n semua pemangku kepentinga­n. Pada akhirnya, investasi yang digadang menjadi mesin baru pertumbuha­n ekonomi setelah pagebluk Covid-19 akan segera kesampaian. (*)

*) Guru Besar Fakultas Ekonomi Universita­s Negeri Jakarta, Direktur Riset SEEBI (The Socio-Economic & Educationa­l Business Institute) Jakarta, Doktor Ilmu Ekonomi Lulusan Program PPs UGM Jogjakarta

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia