Waspadai Kredit Macet Pascapandemi
Perlu Masa Transisi sebelum Restrukturisasi Usai
JAKARTA, Jawa Pos – Bank Indonesia (BI) mengindikasikan bahwa pembiayaan korporasi akan menunjukkan peningkatan pada laporan data Maret. Itu menjadi kompensasi dari dukungan terhadap aktivitas operasional, membayar kewajiban yang jatuh tempo, dan pemulihan setelah era new normal. Sementara itu, penambahan pembiayaan oleh rumah tangga masih bakal terbatas.
Optimisme itu lahir berdasar posisi saldo bersih tertimbang (SBT) kebutuhan pembiayaan korporasi yang sebesar 16,6 persen. ”Meningkat jika dibandingkan dengan SBT Februari 2021, yakni 8,2,’’ ucap Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono pada akhir pekan lalu. Kebutuhan pembiayaan naik pada sektor industri pengolahan, perdagangan, dan pertanian. Juga pada sektor perikanan, kehutanan, konstruksi, serta reparasi mobil dan motor.
Sejauh ini, sebagian besar kebutuhan pembiayaan masih dipenuhi dari dana sendiri meskipun ada peningkatan. Sementara itu, opsi untuk menambah pinjaman ke perbankan maupun perusahaan induk terindikasi turun.
Di sisi lain, pembiayaan rumah tangga masih akan terbatas. Pengajuan pembiayaan oleh rumah tangga masih lebih banyak ke bank umum. Mayoritas jenis pembiayaan yang diajukan berupa kredit multiguna.
Dari sisi penawaran perbankan, kata Erwin, penyaluran kredit baru akan terlihat tumbuh pada laporan triwulan I tahun ini. Itu tecermin dari SBT perkiraan penyaluran kredit baru yang sebesar 52,9 persen. ”Pertumbuhan triwulanan akan terjadi pada semua kategori bank dan jenis kredit,’’ terangnya.
Sementara itu, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef ) Aviliani meminta perbankan mewaspadai risiko kredit macet alias non-performing loan (NPL) pascapandemi Covid19. Jika kebijakan restrukturisasi kredit dicabut tanpa transisi, kemungkinan NPL akan melonjak. Bahkan, mungkin akan sampai tembus dua digit.
Sebab, kemampuan masyarakat untuk membayar cicilan belum normal seperti sebelum pandemi. Risiko itu terlihat dari loan at risk (LAR) atau pinjaman bermasalah yang berada pada kisaran 23 persen. ”Ini masalah waktu. Begitu kembali ke 2022, ini perlu dipikirkan. Berlangsungnya kebijakan bukan hanya krisis, melainkan juga pasca pemulihan,’’ ungkap Avi.
Bila kredit macet melonjak, dia khawatir kepercayaan masyarakat terhadap perbankan akan anjlok. Menurut dia, selama ini penanganan perbankan terhadap dampak pandemi pada sektor keuangan sudah sangat baik. Itu tecermin dari banyaknya nilai tabungan masyarakat di bank. Data Lembaga Penjamin Simpanan menunjukkan bahwa jumlah dana pihak ketiga di bank mencapai 10,57 persen.
Ini masalah waktu. Begitu kembali ke 2022, ini perlu dipikirkan. Berlangsungnya kebijakan bukan hanya krisis, melainkan juga pasca pemulihan.’’
AVILIANI Ekonom senior Indef