Menjegal Pemudik Nakal
PEMERINTAH telah final memutuskan tahun ini melarang mudik Lebaran. Surat Edaran (SE) Satgas Covid-19 Nomor 13 Tahun 2021 meniadakan mudik Hari Raya Idul Fitri dan upaya pengendalian persebaran Covid-19 selama bulan suci Ramadan 1442 H. Walaupun mobilitas mudik 6 hingga 17 Mei 2021 dilarang, banyak pemudik nakal yang curi start pulang sebelum awal pelarangan mudik dimulai.
Tak mudah menjegal para pemudik nakal. Aturan memang telah dibuat superketat. Namun, seperti halnya aturan-aturan sebelumnya, selalu muncul upaya masyarakat menyiasati aturan. Misalnya, saat ini telah terjadi arus mudik di sejumlah stasiun, terminal bus, dan bandara. Secara regulasi memang tak diharamkan mudik sebelum tanggal dimulainya pelarangan. Namun, esensi dari pelarangan mudik untuk mencegah transmisi virus dari kota besar ke daerah menjadi tak terhadang.
Pelarangan mudik dalam rentang waktu 12 hari sepertinya hanya akan efektif untuk pegawai negeri sipil (PNS). Apalagi, cuti bersama Lebaran dipangkas menjadi sehari saja. Di sejumlah daerah, mekanisme pemantauan para PNS sangat ketat. Mereka diwajibkan melaporkan keberadaan terkini (share location). Sanksi berat atas pelanggaran aturan pelarangan mudik juga tak main-main.
Bagi mereka yang non-PNS, pegawai swasta, dan pekerja sektor nonformal lainnya, mudik sangat mungkin dilakukan. Apalagi, pelarangan mudik Lebaran kali ini merupakan pelarangan kali kedua. Kalau tahun lalu sudah tak mudik, tahun ini sepertinya sulit ditahan. Mudik Lebaran sudah menjadi tradisi yang punya dimensi sosial, kultural, dan spiritual bagi masyarakat Indonesia.
Dalam upaya menghadang mudik, pemerintah tampaknya mengedepankan pesan yang sifatnya paksaan (koersif). Pilihan kata yang digunakan adalah pelarangan. Pesan lain yang ditonjolkan adalah sanksi berat atas pelanggaran. Tak banyak yang berwujud pesanpesan edukasi dan penyadaran tentang potensi melonjaknya persebaran virus. Padahal, pesan koersif hanya akan menjadikan masyarakat bersikap tak simpatik.
Beragam pesan komunikasi yang dikeluarkan sejumlah pejabat publik di daerah juga dapat memperburuk keadaan. Penerapan aturan yang terkesan tak konsisten, seperti diperbolehkannya tempat wisata tetap beroperasi sementara mudik dilarang, juga bisa memengaruhi kredibilitas pemerintah di mata masyarakat. Lemahnya wibawa pemerintah bisa berujung pada sikap pembangkangan masyarakat dan tak menggubris sejumlah aturan yang dikeluarkan pemerintah.
Saat ini memang ada yang berpikir bahwa pandemi Covid-19 sudah dapat dikendalikan. Disiplin penerapan protokol kesehatan juga terlihat mulai kendur. Bahkan, di sejumlah daerah, banyak orang yang sudah tak percaya bahwa Covid-19 masih ada. Situasi inilah yang menjadikan tak sedikit masyarakat yang lengah dan abai pada disiplin menjalankan protokol kesehatan.
Vaksinasi yang sedang berjalan juga menjadi faktor yang dapat memicu kendurnya penegakan disiplin. Sejumlah orang yang telah divaksin merasa lebih pede dan cenderung bebas beraktivitas di luar rumah. Efek vaksinasi telah menimbulkan euforia di kalangan masyarakat. Tak sedikit masyarakat yang menganggap vaksinasi menjadi garansi orang tak akan tersentuh virus lagi.
Melihat kenyataan ini, semestinya pesan-pesan komunikasi tentang pandemi yang belum berakhir harus terus dimasifkan. Munculnya tiga varian virus baru, yakni B117, D164G, dan N439K, juga belum banyak diketahui masyarakat.
Ancaman munculnya gelombang ketiga Covid-19 perlu dinarasikan terus-menerus. Semua kanal dan media komunikasi perlu digunakan untuk menggemakan pesan agar masyarakat tetap waspada. Jangan sampai ada yang lengah hingga angka Covid-19 melonjak. Kita semua tentu tak mau kerja keras penanganan pandemi selama ini sia-sia.
Pemerintah harus belajar dari kasus India dan Eropa yang telah mengalami lonjakan kasus positif dari klaster perayaan hari besar keagamaan dan liburan. India yang awalnya dipuji banyak negara karena berhasil dengan drastis menurunkan angka kasus kini justru mengalami tsunami Covid-19. Pengalaman buruk lonjakan kasus positif Indonesia pada libur Idul Fitri 2020, libur panjang 20–23 Agustus 2020, libur 28 Oktober–1 November 2020, serta libur Natal dan tahun baru 24 Desember 2020–3 Januari 2021 jangan sampai terulang.
Pekan lalu Presiden Joko Widodo, melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden, telah menyampaikan pelarangan mudik. Pemerintah juga berencana menutup jalanjalan perbatasan antarkota antarprovinsi. Petugas Polri mulai memelototi arus kendaraan pemudik di sejumlah kota. Di pintu-pintu tol, bandara, stasiun, dan terminal bus disiagakan sejumlah petugas pemantau. Jalan-jalan tikus juga dipastikan dijaga ketat. Di sejumlah titik sudah dipersiapkan skema penyekatan dan skrining pemudik.
Masalahnya, banyak pemudik nakal yang saat ini sudah berada di kampung halaman masingmasing. Mereka sudah bertemu sanak saudara, handai tolan, dan keluarga besarnya. Para pemudik yang on the way (OTW) saat ini juga terus bertambah. Bisa jadi saat pelarangan mudik nanti diberlakukan, banyak pemudik yang sudah benar-benar sampai di kampung halaman masing-masing.
Membuat regulasi mudik memang urusan yang rumit. Antara pemerintah dan masyarakat perlu satu frekuensi. Kalau pemerintah menganggap situasi saat ini belum aman, sementara masyarakat justru memahami sebaliknya, regulasi pelarangan mudik pasti bertepuk sebelah tangan. Tak tertutup kemungkinan justru banyak orang nekat dengan tetap mudik walaupun dilarang.
Salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk menjegal para pemudik nakal adalah pengaturan yang keras terhadap para pemudik yang balik ke kota setelah 17 Mei. Tak ada alasan. Para pemudik yang telah balik dari daerah harus dikarantina ketat dengan sanksi yang tegas bila ada yang melanggar. Cara ini juga perlu untuk membuat para pemudik yang coba-coba curi start agar mengurungkan niat. (*)
*) Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)