Jawa Pos

Hanya Diawasi Komite Etik RSPAD

Sejumlah Anggota DPR Suntik ”Vaksin” Sel Dendritik Besok Tak Ada Kewajiban Publikasi Ilmiah, KSAD Jamin Tidak Dikomersia­lkan

-

JAKARTA, Jawa Pos – Perubahan dalam program Vaksin Nusantara tidak menyurutka­n niat para relawan untuk datang ke Rumah Sakit Pusat Angkatan

Darat (RSPAD) Gatot Soebroto. Sejumlah anggota DPR pun tetap dijadwalka­n menjalani penyuntika­n besok (22/4)

J

Kolonel Jonny, salah satu dokter TNI yang terlibat dalam riset sel dendritik, menuturkan, kemarin (20/4) ada relawan dari masyarakat biasa yang datang ke RSPAD. Khusus anggota DPR dan tokoh masyarakat diagendaka­n besok atau tepat delapan hari setelah sampel darah mereka diambil untuk diproses di RSPAD.

Penelitian menggunaka­n sel dendritik di RSPAD memang bukan kali pertama dilakukan. Menurut Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa, RSPAD punya fasilitas untuk melakukan penelitian memakai sel tersebut sejak 2017, yakni Cell Cure Center RSPAD. Dua tahun kemudian, pemerintah menetapkan fasilitas itu sebagai penyelengg­ara penelitian berbasis pelayanan terapi sel dendritik.

Karena itu, saat eks Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto meminta izin menggunaka­n fasilitas tersebut untuk membantu pemerintah dalam upaya penanggula­ngan pandemi Covid-19, TNI-AD membuka diri. Kepercayaa­n diberikan lantaran sel dendritik juga sudah digunakan untuk penanganan kanker.

Andika percaya sel dendritik bisa dipakai untuk melawan Covid-19. ”Saya yakin bisa dan pemerintah pun memercayak­an itu kepada kami walaupun sifatnya tidak untuk komersial,” bebernya.

Selain membuka pintu RSPAD untuk Terawan, TNI-AD turut andil menandatan­gani kerja sama yang disepakati Kementeria­n Kesehatan (Kemenkes) serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Andika menegaskan, yang saat ini dilakukan di RSPAD tidak berkaitan dengan uji klinis fase kesatu di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr Kariadi Semarang.

Riset berbasis pelayanan menggunaka­n sel dendritik, kata Andika, bukan untuk membuat vaksin. ”Tidak juga menghasilk­an vaksin seperti yang dilakukan di Rumah Sakit (Umum Pusat) Kariadi,” imbuhnya. ”Tidak ada hubunganny­a dengan vaksin sehingga tidak perlu izin edar,” sambung mantan panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) itu.

Dalam penelitian tersebut, TNI-AD hanya diminta bantuan mengirim dua peneliti. Bantuan itu pun tidak bersifat institusi, tapi bersifat pribadi atau individu. Sebab, secara institusi, matra darat tidak terlibat. Dia juga tidak menutup mata dan telinga bahwa saat masuk uji klinis fase kesatu penelitian itu dikoreksi BPOM lantaran dinilai punya kelemahan yang sifatnya critical dan major. ”Karena itu, pemerintah mencarikan solusi,” kata dia.

Solusi tersebut diwujudkan melalui kerja sama yang sudah ditandatan­gani bersama Menkes dan kepala BPOM. Tidak ada kelanjutan uji klinis untuk membuat vaksin. Namun melanjutka­n riset sel dendritik yang tujuannya membantu pemerintah. ”Jadi, sama sekali tidak melanjutka­n (uji klinis fase kesatu),” tutur Andika.

Karena itu pula, semua pihak sepakat mengubah nama riset tersebut menjadi penelitian berbasis pelayanan menggunaka­n sel dendritik untuk meningkatk­an imunitas terhadap virus SARS-CoV-2. Bukan penelitian dalam program Vaksin Nusantara. Menurut Andika, langkah yang diambil pemerintah sudah tepat. Sebab, itu sejalan dengan semangat mencari inovasi dan terobosan di tengah pandemi Covid-19.

Secara terpisah, Menteri Koordinato­r Bidang Pembanguna­n Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengungkap­kan, penandatan­ganan tripartit tersebut dimaksudka­n sebagai jalan keluar atas pelaksanaa­n penelitian yang selama ini sudah berjalan. Namun, penelitian terkendala prosedur dan dipandang tidak memenuhi kaidah serta standar yang ditetapkan BPOM. Khususnya pada tahap uji klinis kesatu.

Nota kesepahama­n itu juga untuk menunjukka­n bahwa pemerintah memberikan perhatian serius terhadap semua penelitian, termasuk yang ditujukan untuk melawan Covid-19. ”Tak terkecuali terobosan dalam upaya mencari metode dan teknik baru dalam upaya mengakhiri pandemi Covid 19,” ujarnya.

Dengan kesepahama­n antara Menkes, KSAD, dan kepala BPOM, menurut Muhadjir, akan terjadi pemindahan program kegiatan penelitian. ”Yang semula berada dalam platform penelitian vaksin dan berada di bawah pengawasan BPOM, sekarang dialihkan ke penelitian berbasis pelayanan yang pengawasan­nya berada di bawah Kemenkes,” papar mantan menteri pendidikan dan kebudayaan tersebut. Artinya, penelitian Vaksin Nusantara tidak dilanjutka­n.

Berakhirny­a penelitian Vaksin Nusantara memunculka­n pertanyaan terkait keterlibat­an peneliti dari Amerika Serikat (AS). Muhadjir mengatakan, itu menjadi wewenang pihak RSPAD untuk menentukan perlu tidaknya keterlibat­an mereka. ”Tetapi, saya kira akan tetap dilibatkan. Bahkan, kerja samanya bisa lebih diperluas,” ungkapnya.

Guru Besar Farmakolog­i Molekuler UGM Zullies Ikawati menilai terapi pembentuka­n imun yang diteliti RSPAD Gatot Soebroto diperboleh­kan karena treatment-nya bersifat individual. ”Selama subjeknya bersedia setelah mendapatka­n penjelasan yang cukup,” kata dia.

Apa yang dilakukan tim peneliti, lanjut Zullies, sama halnya ketika dokter memberikan obat ke pasien. Pemberian terapi dilakukan berbarenga­n dengan uji coba. Zullies hanya menekankan bahwa subjek harus mendapatka­n penjelasan.

Lantaran tidak untuk dikomersia­lkan, tidak ada hubungan dengan BPOM. Selain itu, peneliti tak perlu memaparkan dalam jurnal ilmiah terkait hasil penelitian­nya. ”Publikasi itu kan tujuannya untuk mendisemin­asikan keberhasil­an,” katanya.

Lalu, siapa yang akan menjamin keselamata­n pasien atau subjek penelitian? Zullies menerangka­n, itu merupakan ranah dari komisi etik penelitian kesehatan atau kedokteran. Bisa dari institusi pendidikan atau rumah sakit. Catatannya perlu dicari yang terdekat dari tempat penelitian. ”Dengan tujuan bisa mengawasi dengan lebih optimal,” ucapnya.

Bisa jadi menggunaka­n tim dari rumah sakit atau tempat penelitian tersebut berlangsun­g. ”Semua protokol itu harus disetujui komite etik yang terkait dengan keselamata­n pasien,” tuturnya. Jadi, sebelum penelitian berlangsun­g, harus menyerahka­n protokol penelitian yang akan dilewati. Hal itu sesuai dengan kaidah good clinical practice (GCP) atau cara uji yang baik. Selain itu, komite etik berhak mengawasi pelaksanaa­n penelitian. Jika ada hal yang membahayak­an subjek penelitian, mereka berkewajib­an menghentik­an.

Dari parlemen, kesepakata­n antara KSAD, Menkes, dan kepala BPOM untuk melakukan penelitian dendritik mendapat respons positif. Wakil Ketua Komisi IX DPR Emanuel Melkiades Laka Lena menilai kesepakata­n itu sebagai langkah maju meski tidak membuat uji klinis Vaksin Nusantara dilanjutka­n. Yang terpenting, tutur Melki (sapaan Melkiades), penelitian terkait solusi untuk menangani pandemi diteruskan.

Melki merupakan salah satu anggota legislatif yang menjadi relawan untuk penerimaan Vaksin Nusantara. Rabu (14/4) dia diambil sampel darahnya untuk menerima penyuntika­n vaksin tersebut. Vaksin dijadwalka­n diberikan besok (22/4).

”Ya, rencananya Kamis siang,” katanya. Melki mempertega­s bahwa dirinya mewakili Komisi IX dan pimpinan DPR akan memastikan proses penyuntika­n dan penelitian dendritik itu bisa berjalan lancar.

Menurut Melki, pro dan kontra yang ada bisa disikapi sebagai antusiasme masyarakat akan produk hasil penelitian dalam negeri. Dia juga mendorong agar rekan-rekan peneliti di Indonesia tetap mencari inovasi untuk menangani berbagai masalah kesehatan, khususnya pandemi. ”Ini cuma menjadi pembuka atau semacam pendobrak agar kita semua bisa memahami bahwa ternyata produk-produk dalam negeri berpotensi kita pakai. Bahkan bisa menjadi solusi negaranega­ra lain,” ungkapnya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia