Bicara Kartini Hanya sebagai Pejuang Perempuan Itu Tidak Adil
Azhar Ibrahim Alwee membawa Kartini ke dalam ruang-ruang kelas di Malaysia dan Singapura serta di berbagai acara kuliah umum. Keinginannya yang belum terwujud: mengunjungi Jepara.
KARTINI dikenalnya sejak dirinya masih berstatus mahasiswa di National University of Singapore (NUS). Namun, ketertarikan khususnya kepada pahlawan nasional Indonesia itu tumbuh sejak 2015 dan terus bertahan hingga kini.
”Semakin banyak saya membaca dan riset tentang beliau, saya menemukan banyak ide dan perspektif yang menarik,” katanya melalui sambungan telepon dari Singapura kepada Jawa Pos yang berada di Jakarta Senin (19/4)
Azhar adalah dosen di studi Melayu-Indonesian di NUS. Dia mengajar kesusastraan Nusantara, ideologi pembangunan dan intelektual, serta literasi kultural. Selama lebih dari 10 tahun menjadi akademisi, Azhar selalu memperkenalkan Kartini sebagai sosok inspiratif di banyak kelas di Singapura dan Malaysia serta di berbagai acara kuliah umum.
Pria kelahiran Singapura pada 1971 tersebut merupakan bagian dari sekian akademisi/ cendekiawan luar negeri yang ”jatuh hati” kepada Kartini. Lalu, melakukan studi tentang putri Jawa yang lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879, tersebut.
Selain itu, ada Joost Cote, akademisi di Monash University, Australia. Dia sudah sekitar 25 tahun meneliti Kartini. Salah satu karyanya adalah Kartini: The Complete Writings 1898–1904.
Ada pula Paul Bijl, asisten profesor sastra di University of Amsterdam dan peneliti di KITLV, lembaga riset milik pemerintah Belanda tentang studi Asia Tenggara dan Karibia. Dia pernah menulis Appropriating Kartini.
Bagi Azhar, Kartini tak sepatutnya dideskripsikan sebatas pejuang wanita dari Indonesia. ”Di satu sisi, itu penting, tapi melihat Kartini hanya dari kacamata feminis itu merugikan. Kartini jauh lebih dari itu,” ujar Azhar.
Pertautan Azhar dengan Kartini dimulai ketika melakukan riset tentang intelektual dan intelegensi Jawa beberapa tahun silam. Riset tersebut mengenalkan Azhar kepada banyak tokoh intelektual dari Indonesia. Di antaranya, Tirto Adhi Soerjo dan H.O.S Tjokroaminoto. Namun, yang sangat menarik baginya adalah Raden Ayu Kartini.
Selain menjadi sosok yang paling awal di jajaran tokoh intelektual, Kartini dinilai Azhar memiliki pemikiran cemerlang, baik terkait dengan masyarakat, agama, maupun budaya masyarakat secara universal. ”Hormatilah segala yang hidup, hak-hak dan perasaannya,” tutur Azhar mengutip salah satu catatan Kartini.
Kutipan itu disebut Azhar yang paling mendasar. Yang membuatnya sadar bahwa Kartini berpikir lebih dari sekadar memperjuangkan hak perempuan.
Dalam perjalanan risetnya,
Azhar mengumpulkan 20 buku tentang Kartini karya sejumlah penulis. Azhar juga pernah mengunjungi beberapa kota di Indonesia untuk memperkaya bahan riset, tetapi justru belum pernah mampir ke Jepara.
”Itu keinginan saya yang belum terwujud. Saya ingin melihat jejak Sekolah Kartini dan mendalami keberlangsungannya saat ini,” ungkapnya.
Selain mengajar dan menjadi pembicara publik, Azhar beberapa kali dimintai tulisan bertema budaya oleh media lokal. Tulisan-tulisan itu tak jarang dibingkai Azhar dengan wawasan sosok tokoh perempuan yang dimakamkan di Rembang, Jawa Tengah, tersebut.
Azhar bercerita, dirinya baru saja menyelesaikan sebuah tulisan tentang Kartini berjudul Riwayat Kartini: Sebuah Tekad untuk Mandiri. Tulisan itu akan diterbitkan di salah satu koran di Malaysia bertepatan dengan momen Hari Kartini hari ini. Dalam tulisan tersebut, Azhar menjelaskan secara padat dan tegas poin-poin yang dianggapnya menjadi alasan Kartini lebih dari seorang pejuang perempuan. Salah satunya, bagaimana Kartini mengagumi peradaban Barat, tetapi tetap sadar dengan cengkeraman kolonial pada bangsanya.
Kartini kritis terhadap tradisi sendiri, tetapi tidak sampai mencela dan malu menjadi orang Jawa. Kartini lantang menolak bangsawan berdasar garis keturunan, melainkan mereka yang dititipi amanah, memiliki pemikiran baik dan berbudi luhur.
Perjalanannya dalam meniti jejak dan peninggalan wawasan Kartini belum selesai. Di samping terus memperbanyak pengetahuan tentang semangat Kartini, Azhar ingin terus menyebarkan wawasan tentang pejuang wanita yang wafat pada 1904 tersebut. Salah satunya, tetap menjadikan Kartini sebagai sosok teladan di kelas-kelas budaya dan sejarah yang dia ajarkan. ”Kalau tidak mengangkat nilai Kartini yang universal, kita rugi. Kita hanya akan bicara Kartini sebagai perempuan, bukan kemanusiaan. Itu tidak adil bagi Kartini,” tegas Azhar.
Sejauh ini, di mata Azhar, sangat banyak yang belum tergali dari Kartini. ”Kartini is understudied, belum pada apresiasi yang sesungguhnya. Kartini selalu dalam klise bahwa dia sebatas pejuang perempuan,” ujarnya.