Jawa Pos

Bank Sentral Harus Tetap Independen

-

JAKARTA, Jawa Pos – Wacana pemerintah untuk merumuskan rancangan undangunda­ng (RUU) sektor keuangan memantik reaksi banyak pihak. Sebagian besar menyoroti relasi pemerintah dengan bank sentral. Jika pemerintah terlalu banyak campur tangan dalam kebijakan Bank Indonesia (BI), independen­si lembaga tersebut terancam.

Peneliti Institute for Developmen­t of Economics and Finance (Indef ) Bhima Yudhistira Adhinegara menanyakan urgensi RUU tersebut. Menurut dia, selama ini BI sudah berkontrib­usi banyak dalam melahirkan kebijakan fiskal yang bisa diterima masyarakat. Mulai quantitati­ve easing sampai skema burden sharing membeli surat utang pemerintah di pasar primer. ’’Itu sudah lebih dari cukup,” ungkapnya kepada Jawa Pos tadi malam (20/4).

Menurut Bhima, moneter untuk kondisi pandemi Covid-19 saat ini masih relatif terjaga. Yang bermasalah adalah kebijakan fiskalnya. Itu terlihat dari serapan anggaran yang rendah, defisit anggaran yang melebar, dan utang pemerintah yang terus meningkat.

Dia juga menyoroti transmisi suku bunga acuan BI 7 day (reverse) repo rate (BI7DRR) ke suku bunga kredit perbankan yang lambat. Jika ditelusuri, salah satu penyebabny­a adalah kerapnya pemerintah menerbitka­n surat utang dengan bunga tinggi. ’’Jadi, akar masalahnya pada fiskal,” tegasnya.

Hal senada diungkapka­n Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede. Dia menekankan bahwa BI harus independen. Sebab, kebijakan moneter bank sentral merupakan long-time horizon. Kebijakan itu punya target jangka panjang dalam menjaga stabilitas keuangan nasional.

Josua mengatakan, terganggun­ya independen­si BI akan memengaruh­i persepsi kredibilit­asnya. ’’Ketika ganti rezim pemerintah­an, kebijakan moneternya ikut berubah. Ini menjadi tidak konsisten dan tidak kredibel,” urainya.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Fathan Subchi menyatakan bahwa RUU sektor keuangan akan dibahas pada Agustus atau September.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia