Pembelajaran Tatap Muka, Mudik, dan India
SEBAGAI seorang ibu, pekanpekan ini rasanya galau maksimal. Sekolah sudah memberi kabar bahwa pembelajaran tatap muka (PTM) segera dimulai. Tidak langsung seperti dulu memang, tapi dengan pembatasan dan penerapan protokol kesehatan yang ketat.
Di SD tempat anak saya belajar, PTM rencananya hanya berlangsung sekali dalam sepekan. Durasinya dua jam dan hanya separo atau sekitar 14 orang yang masuk setiap tatap muka. Plus setumpuk aturan lain. Di antaranya, kewajiban penggunaan alat perlindungan diri seperti masker dan face shield serta pengaturan tempat duduk.
Namun, pada saat bersamaan, saya membaca berita tentang India yang mengalami gelombang kedua tsunami Covid-19
ANY RUFAIDAH
J
Padahal, negara yang dipimpin PM Narendra Modi itu sudah melaksanakan vaksinasi secara masif. Menurut berita yang dirilis Dhaka Tribune (20/4), pasien positif bertambah 273.810 orang hanya dalam sehari. Melebihi jumlah penduduk Kecamatan Asemrowo dan Kenjeran sekaligus!
Angka kematiannya pun cukup membuat bergidik. Dari hanya 1.619 melonjak menjadi 178.769 orang. Tentu tidak apple to apple membandingkan Indonesia dengan India. Namun, yang saya soroti adalah tingkah manusianya. India mengawali tahun ini dengan angka positif Covid-19 yang sangat rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Mereka juga berhasil menyuntikkan 123,9 juta dosis vaksin. India seolah bisa mengendalikan korona.
Hanya, sepertinya mereka terlena. Kerumunan massa kembali marak. Acara keagamaan yang melibatkan ribuan orang kembali digelar. Karena merasa sudah divaksin, banyak yang abai dan mulai menanggalkan masker. Hingga hantaman gelombang kedua datang. Nah, sikap seperti itulah yang saya khawatirkan juga terjadi di Indonesia. Karena merasa sudah divaksin, lantas kendur dengan protokol kesehatan.
Tantangan yang jelas-jelas ada di depan mata adalah Lebaran yang tinggal tiga pekan lagi. Pemerintah sudah menetapkan larangan mudik, tapi biasanya ada saja celah yang bisa dimanfaatkan. Mudik lebih awal, misalnya. Apalagi, perjalanan antarkota juga diperbolehkan. Maka, kemungkinan terjadinya interaksi yang melibatkan banyak orang akan semakin tinggi. Taruhannya tinggal apakah taat protokol kesehatan atau tidak.
Rasa deg-degan pun menghampiri. Bagaimana jika ada di antara teman-teman anak saya yang tak taat prokes? Bagaimana jika ada seseorang di lingkungan sekolah yang tak taat prokes, kemudian berinteraksi dengan anak-anak? Bagaimana jika anak-anak lelah mengenakan masker saat PTM? Bagaimana jika anak-anak yang masih SD itu saling tertarik dengan masker temannya, lantas penasaran dan menyentuhnya?
Begitu banyak ’’bagaimana jika’’ yang membuat saya raguragu untuk mengikutkan anakanak PTM. Mungkin pilihan terbaik bagi saya saat ini adalah tetap pembelajaran jarak jauh. Pendapat ini bisa jadi berubah setelah melihat situasi pascaLebaran nanti. Atau melihat evaluasi PTM yang dilaksanakan di sekolah.
Tapi, saya juga tak menyalahkan orang tua yang ingin segera PTM. Menemani anak mengerjakan tugas atau menjelaskan pelajaran yang tak dimengerti sembari menyelesaikan pekerjaan rumah itu sangat melelahkan. Tidak hanya fisik, tapi juga mental.
Belum lagi jika anaknya lebih dari dua. Belum lagi jika sang ibu juga harus bekerja. Saya saja mendadak lebih religius daripada biasanya. Bisa mengucap istigfar ratusan kali dalam sehari karena menemani anak-anak belajar.
Dalam menghadapi banyak sekali ketidakpastian seperti ini, kuncinya memang cuma satu. Mendisiplinkan diri dan lingkungan sekitar kita untuk terus menerapkan 5M. Yakni, mengenakan masker, menjaga jarak, selalu mencuci tangan dengan sabun atau hand sanitizer, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas. (*)