Jawa Pos

Pajak Sana, Pajak Sini

- Oleh JOKO YULIYANTO *)

NEGARA butuh uang. Demikian juga rakyat. Untuk mendukung percepatan pemulihan ekonomi pascapande­mi, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengeluark­an Rp 2.750 triliun dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tahun 2021. Anggaran tersebut akan dialokasik­an ke sektor pendidikan, kesehatan, perlindung­an sosial, infrastruk­tur, ketahanan pangan, hingga pariwisata.

Tahun 2020, pendapatan negara dipatok 2.233,2 triliun yang berasal dari penerimaan perpajakan (1.865,7 triliun), penerimaan bukan pajak (367 triliun), dan penerimaan hibah (0,5 triliun). Setiap tahun, penerimaan pajak negara mengalami peningkata­n. Tahun 2020, penerimaan pajak meningkat 13,5 persen dari tahun sebelumnya. Namun, pengeluara­n (belanja) negara masih lebih besar daripada pendapatan negara, yakni mencapai 2.540,4 triliun (kemenkeu.go.id).

Pandemi menjadi alarm bagi pemerintah terus menekan pajak (penerimaan negara) untuk segera kembali memulihkan perekonomi­an nasional. Dampak pandemi menghantam hampir di semua sektor ekonomi. Tingkat konsumsi rumah tangga yang berkurang, menurunnya investasi, hingga jatuhnya harga komoditas. Laju pertumbuha­n ekonomi nasional kuartal I 2020 masih tumbuh 2,97 persen (YoY), tetapi mengalami kontraksi pada kuartal II hingga 5,32 persen (YoY).

Meskipun pertumbuha­n ekonomi bergerak positif seiring program vaksinasi, kelonggara­n PSBB, hingga proses adaptasi new normal, pemerintah masih perlu memacu pendapatan negara untuk keluar dari krisis ekonomi setahun ke belakang. Apalagi, banyak anggaran negara yang terkuras untuk penanganan pandemi Covid-19, termasuk mengambil jatah anggaran dari sektor lain.

Pajak Sembako Sebagai variabel penerimaan pendapatan terbesar negara, pajak menjadi harapan pemulihan ekonomi nasional. Akhir tahun 2020, penerimaan pajak telah mencapai Rp 1.019,56 triliun. Realisasi tersebut mencapai 85,65 persen dari target Perpres 72 Tahun 2020 sebesar Rp 1.198,8 triliun. Tak ayal, pajak begitu mendominas­i pengeluara­n masyarakat Indonesia.

Sektor industri pengolahan menjadi penyumbang pajak terbesar yang kemudian disusul berurutan dari sektor perdaganga­n, sektor konstruksi dan realestat, sektor transporta­si dan kegudangan, serta sektor pertambang­an. Pajak menjadi konsekuens­i wajib bagi warga negara yang berdomisil­i di wilayah Negara Indonesia.

Semua orang punya kewajiban membayar pajak, termasuk kalangan menengah ke bawah sekalipun. Pungutan negara terhadap masyarakat seperti dalam pajak penghasila­n, pajak pertambaha­n nilai, bea meterai, hingga pajak bumi dan bangunan. Masyarakat sudah mengalokas­ikan dana tersendiri untuk segala sesuatu yang berkaitan dengan pajak.

Namun, seiring pergantian pemerintah­an dan kebijakan mengelola negara, pajak menjadi hantu yang membayang-bayangi kehidupan masyarakat. Setelah muncul kontrovers­i dari Direktorat Jenderal Pajak yang memasukkan sepeda dalam daftar harta yang wajib diisi di SPT tahunan, belakangan muncul isu pemberlaku­an pajak sembako yang ada dalam revisi draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 116/PMK.010/2017, sembako yang dikenai PPN meliputi beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayursayur­an, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi. Sedangkan hasil pertambang­an dan pengeboran antara lain emas, batu bara, hasil mineral bumi lainnya, serta minyak dan gas bumi.

Setelah sebelumnya pajak hanya diberlakuk­an terhadap barangbara­ng

Pengendali­an harga sembako saja masih kerap mengalami kegagalan pada momen tertentu seperti Lebaran dan tahun baru. Pemungutan pajak atas bahan sembako hanya akan semakin menjauhkan sisi keadilan terhadap masyarakat bawah. Apalagi, sembako merupakan kebutuhan pokok yang mau tidak mau dibeli masyarakat.”

sekunder dan tersier, pemerintah ternyata juga menyasar barang-barang primer. Kebutuhan pokok pun harus dipajaki. Tidak ada yang boleh lepas dari pantauan pungutan pajak. Memaklumi negara yang membutuhka­n banyak anggaran untuk pemulihan ekonomi nasional bukan berarti mencekik masyarakat yang juga terdampak akibat pandemi.

Pembahasan RUU KUP di lembaga legislatif untuk memuluskan pajak sembako adalah langkah yang tidak etis diberlakuk­an terhadap masyarakat yang masih menderita akibat PHK massal, penguranga­n gaji, dan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Pemerintah harus melihat realitas di lapangan dengan menetapkan kebijakan yang berimbang. Butuh dialektika antara pemerintah dan masyarakat, tidak ujug-ujug menetapkan undang-undang mengenai pajak sembako.

Pengendali­an harga sembako saja masih kerap mengalami kegagalan pada momen tertentu seperti Lebaran dan tahun baru. Pemungutan pajak atas bahan sembako hanya akan semakin menjauhkan sisi keadilan terhadap masyarakat bawah. Apalagi, sembako merupakan kebutuhan pokok yang mau tidak mau dibeli masyarakat.

Banyak sektor yang butuh perhatian lebih untuk mencapai target penerimaan pajak nasional tanpa mengorbank­an nasib masyarakat miskin. Masih banyak korporasi asing yang tidak membayar pajak. Banyak pengusaha yang menunggak pajak. Target penerimaan pajak akan tercapai jika maksimal melakukan penagihan terhadap koloni perusahaan beserta tokoh-tokohnya.

Dengan demikan, target penerimaan pajak tidak perlu menyasar ke bahan sembako yang notabene menjadi kebutuhan pokok seluruh masyarakat kelas atas hingga bawah. Pemerintah cukup fokus pada penerimaan pajak barang industri sekunder dan tersier.

Masyarakat memahami negara butuh banyak uang (dari pajak), tetapi negara juga harus memahami bahwa masyarakat pun butuh uang untuk bertahan hidup di masa pandemi. (*)

*) Penggagas Komunitas Seniman NU, penulis buku dan naskah drama, aktif menulis opini di media daring dan luring

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia