Terbukti Terima Suap, Edhy Prabowo Divonis 5 Tahun
Satu Hakim Nyatakan Dissenting Opinion
JAKARTA, Jawa Pos – Sidang perkara suap ekspor benih lobster (benur) di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2020 di Pengadilan Tipikor Jakarta tuntas kemarin (15/7). Hakim memvonis eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo 5 tahun penjara dan denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan.
Dalam putusan hakim, politikus Partai Gerindra itu terbukti bersama bawahannya menerima suap senilai USD 77 ribu (Rp 1,1 miliar) dan Rp 24,6 miliar dari pengusaha ekspor lobster. Selain itu, hakim memberikan hukuman tambahan membayar uang pengganti sebesar Rp 9,6 miliar dan USD 77 ribu subsider 2 tahun penjara. Edhy juga divonis hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik selama 3 tahun yang dijalani setelah masa pidana pokok selesai. Putusan yang dibacakan hakim ketua Albertus Usada itu menyebutkan, Edhy terbukti melanggar pasal 12 huruf a UU Pemberantasan Tipikor juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto pasal 65 ayat 1 KUHP. Secara umum, putusan tersebut nyaris sama dengan tuntutan jaksa KPK.
Menariknya, dalam putusan yang dibacakan selama kurang lebih tiga jam secara daring itu, satu hakim anggota, yakni Suparman Nyompa, menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Menurut dia, Edhy terbukti melanggar pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto pasal 65 ayat 1 KUHP.
Suparman berpendapat bahwa suami Iis Rosita Dewi tersebut tidak mengarahkan bawahannya meminta atau menerima sejumlah uang dari eksportir benur. Edhy, kata dia, hanya menekankan agar setiap permohonan budi daya dan eskpor benur yang masuk ke KKP tidak boleh dipersulit. Meski begitu, Suparman menyebut Edhy tetap harus bertanggung jawab atas perbuatan bawahannya yang mengurus uang dari sejumlah eksportir benur. Khususnya dari Suharjito, bos PT Dua Putera Perkasa Pratama (DPPP).
”Walau tidak tahu uang dari Suharjito dan pengusaha (ekspor benur, Red) lain, terdakwa (Edhy Prabowo) tidak pernah mengurus uang yang dipegang Amiril (bawahan Edhy), hanya tahu ada uang atau tidak. Maka terdakwa harus tetap bertanggung jawab sehingga dakwaan kedua tetap terpenuhi,” jelas Suparman.
Selain Edhy, hakim membacakan putusan untuk lima terdakwa lain. Yakni Andreau Misanta dan Safri (staf khusus Edhy), Amiril Mukminin (sekretaris pribadi Edhy), Ainul Faqih (sekretaris pribadi Iis Rosita Dewi), dan Siswadhi Pranoto Loe (pemilik PT Aero Cipta Kargo/ACK). Lima terdakwa itu juga terbukti menerima suap dari Suharjito dan beberapa pengusaha ekspor benur.
Andreau, Safri, dan Amiril divonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 6 bulan kurungan. Sedangkan Siswadhi dan Ainul divonis 4 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 4 bulan kurungan. Selain Siswadhi, para terdakwa menyatakan pikir-pikir atas putusan hakim. Jaksa bersikap sama.
Sementara itu, Edhy menilai vonis majelis hakim tidak sesuai dengan fakta persidangan. ”Saya sedih hasil ini tidak sesuai dengan fakta persidangan. Tapi, ya inilah proses peradilan di kita. Saya akan terus melakukan proses, tapi kasih saya waktu berpikir,” katanya.
Soesilo Ariwibowo, kuasa hukum Edhy Prabowo, menambahkan, hal yang paling esensial adalah mengenai penerimaan uang. Menurut dia, Edhy sama sekali tidak tahu soal penerimaan uang USD 77 ribu. Uang Rp 24,6 miliar yang berasal dari PT ACK juga tidak jelas kapan masuk ke kliennya. ”Sehingga hal-hal penerimaan uang itu sangat tidak cukup alasan,” tegasnya.