Jawa Pos

AS dan Sekutu Kutuk Manuver Tiongkok

Soal Serangan Siber terhadap Microsoft

-

WASHINGTON DC, Jawa Pos – Pemerintah Amerika Serikat (AS) melayangka­n tuduhan berat terhadap Tiongkok. Negeri Tirai Bambu itu dilaporkan telah menyokong kelompok peretas untuk menyusup ke sistem raksasa teknologi Microsoft. Namun, mereka belum memberikan sanksi atas tindakan tersebut.

Senin lalu (19/7), Presiden AS Joe Biden mengumumka­n temuan mereka tentang peretasan sistem surat elektronik (surel) alias e-mail Microsoft awal tahun ini. Berdasar informasi Microsoft’s Threat Intelligen­ce Centre, serangan itu dilakukan kelompok bernama Hafnium. Mereka memanfaatk­an celah sistem yang sedang diperbaiki Microsoft.

Kelompok tersebut lantas menyebarka­n informasi itu kepada kelompok peretas Tiongkok lainnya. Aksi tersebut diakui berdampak terhadap setidaknya 30 ribu lembaga di tingkat global. ’’Serangan ini memang tak dilakukan langsung oleh pemerintah Tiongkok. Namun, mereka melindungi dan bahkan mengakomod­asi kelompok-kelompok itu,’’ ujar Biden, seperti dilansir BBC.

Biden menegaskan, AS mengecam serangan siber yang mengancam keamanan nasional, bahkan dunia. Kecaman itu disusul sekutu AS lainnya seperti Inggris, Australia, dan Selandia Baru. Bahkan, organisasi internasio­nal seperti NATO dan Uni Eropa ikut mengutuk Tiongkok.

Namun, pakar keamanan internasio­nal merasa ada yang kurang dari pengumuman AS kali ini. Mereka penasaran mengapa Biden tak mengungkap sanksi kepada Beijing. ’’Kurangnya sanksi bisa jadi masalah. Mana mungkin Tiongkok berhenti (meretas, Red) hanya karena peringatan,’’ ucap Adam Segal, pakar keamanan siber di Council on Foreign Relations, kepada CNN.

Wajar jika pengamat merasa aneh. AS bukanlah negara yang menganggap enteng keamanan siber. April lalu, mereka melaporkan kampanye spionase di SolarWinds, raksasa IT yang menangani sistem informasi banyak perusahaan, oleh badan intelijen Rusia. Bersama laporan itu, AS mengumumka­n sanksi untuk perusahaan keuangan dan teknologi Rusia. Sepuluh diplomat Rusia pun didepak dari kedutaan Rusia di Washington.

Ketika ditanya, Jubir Gedung Putih AS Jen Psaki mengelak. Dia mengaku tak membedakan siapa pun yang mengancam keamanan digital di Negeri Paman Sam. Opsi sanksi masih dibicaraka­n di lingkaran Biden. ’’Perlu diketahui, ini bukan akhir tindakan kami terhadap aktivitas siber oleh Tiongkok maupun Rusia,’’ jelasnya.

Di sisi lain, pejabat AS yang tak mau disebut namanya mengatakan, realitas Tiongkok berbeda dengan Rusia. Hubungan dagang AS memang lebih dekat dengan pemerintah­an Xi Jinping daripada pemerintah­an Vladimir Putin. Karena itu, pengumuman tanpa sanksi merupakan cara AS untuk mencari tahu berapa banyak dukungan yang mereka bisa kumpulkan.

Biasanya, negara seperti Jerman dan Italia menghindar­i kecaman terhadap Tiongkok. Faktornya juga karena hubungan ekonomi. Jepang, sekutu AS di Asia, juga sering lepas tangan karena perdaganga­n bilateral yang kuat. Namun, kecaman dari Uni Eropa dan NATO jelas menjadi salah satu tanda baik bagi AS. Artinya, Jerman dan Italia sudah menganggap manuver Tiongkok keterlalua­n. ’’Ini bukan sekadar keputusan, tapi awal dari kampanye internasio­nal jangka panjang. Sanksi hanyalah salah satu alat,’’ kata Christophe­r Painter, mantan pejabat cybersecur­ity AS.

Sementara itu, Tiongkok menolak tudingan AS. Kedutaan Tiongkok di Wellington, Selandia Baru, angkat bicara atas dukungan Negeri Kiwi terhadap AS. Mereka menyebut tudingan itu ngawur dan tak berdasar. ’’Kami adalah pendukung terbesar keamanan siber di dunia. Justru, AS merupakan rajanya serangan siber,’’ tegasnya.

Selain isu peretasan Microsoft, dunia dikagetkan dengan laporan terkait praktik pemerintah­an yang menggunaka­n spyware, aplikasi penyadap ponsel, untuk keuntungan politik. Produk yang dibuat oleh perusahaan NSO dari Israel itu dijual ke militer, aparat, dan intel untuk kepentinga­n melawan pelaku kriminal dan teroris.

Namun, laporan dari Meksiko menggambar­kan situasi yang terbalik. Menurut The Guardian, pemerintah Meksiko di era Presiden Enrique Peña Nieto menggunaka­n Pegasus, nama aplikasi tersebut, untuk menyadap 15 ribu nomor. Mayoritas yang disadap adalah lawan politik.

Yang paling mengagetka­n, pemerintah Meksiko sempat mematamata­i Andrés Manuel López Obrador, presiden Meksiko saat ini. Itu terjadi pada periode 2016–2017. Saat itu, Amlo –panggilan akrab Lopez– masih menjadi pemimpin oposisi. Sekitar 50 orang di lingkaran tokoh politik tersebut disadap. Bukan hanya istri dan anak Amlo, tapi juga dokter pribadinya. ’’Target utamanya tentu kandidat (Amlo), sedangkan saya hanya alat,’’ ungkap Patricio Heriberto Ortíz Fernández, dokter jantung Amlo.

 ?? NOEL CELIS/AFP ?? SASARAN PERETAS: Seorang pria berjalan sambil melihat teleponnya di luar kantor pusat Microsoft di Beijing kemarin (20/7).
NOEL CELIS/AFP SASARAN PERETAS: Seorang pria berjalan sambil melihat teleponnya di luar kantor pusat Microsoft di Beijing kemarin (20/7).

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia