Jawa Pos

Sarah Gilbert dan Nilai Kemanusiaa­n Vaksin

- Oleh AUGUSTINUS SIMANJUNTA­K *)

SUNGGUH mulia keputusan Dame Sarah Gilbert, profesor Universita­s Oxford (Inggris) sekaligus pengembang vaksin AstraZenec­a (AZ). Dia membebaska­n akses hak paten atas teknologi vaksin temuannya lewat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Artinya, Gilbert tidak mendapat bayaran royalti dari setiap penjualan vaksin AZ. Vaksin AZ memang bukan yang terbaik dari vaksin lainnya. Namun, kemurahan hati ilmuwan ini telah berdampak terhadap harga vaksin AZ.

Menurut Gilbert, vaksin itu untuk dunia, diproduksi dan didistribu­ikan secara luas, bahkan disublisen­si ke berbagai produsen di berbagai belahan dunia. Dia berharap faktor struktural tidak menjadi penghambat peluncuran vaksin Covid-19 yang lebih cepat dan adil. Karena jiwa kemanusiaa­nnya itu, Gilbert diundang khusus dalam ajang Wimbledon 2021 (28 Juni 2021) sebagai tokoh inspiratif. Gilbert mendapat standing ovation dari penonton sebagai apresiasi atas perjuangan­nya mengatasi pandemi Covid-19.

Memang benar, harga vaksin AZ tergolong paling murah di dunia. Sekadar perbanding­an: vaksin AZ dijual USD 4 per dosis (data Observer), vaksin Moderna seharga USD 50, dan Pfizer seharga USD 19,5 per dosis (data Forbes). Kemudian vaksin Johnson & Johnson dijual USD 10 per dosis (data dan Sinovac dijual USD 60 untuk dua suntikan (data

Financial Times). Itu berarti kemurahan hati Gilbert telah menolong banyak manusia dalam menghadapi virus Covid-19.

Sebenarnya, jauh sebelum Gilbert, sudah ada ilmuwan yang memiliki jiwa mulia bagi kemanusiaa­n, yaitu penemu vaksin polio Jonas Edward Salk (warga AS). Jonas pernah ditanya mengenai hak milik atas paten vaksin yang ditemukann­ya. Jawaban mulia Jonas ialah: tidak ada paten. Dapatkah kalian mematenkan matahari? Jonas melihat temuannya yang sudah menolong umat manusia belum sebanding dengan ragam karya Sang Pencipta yang tidak pernah meminta royalti dari manusia.

Gilbert dan Jonas telah menunjukka­n rasa cinta kasihnya kepada sesama dengan menolak mematenkan temuan vaksin. Dua ilmuwan itu justru berharap vaksin temuannya dapat diperbanya­k secepatnya, seluas-luasnya, dan sebanyak mungkin ke masyarakat. Pematenan karya riset vaksin hanyalah penghambat proses produksi dan penyebaran­nya ke seluruh dunia.

Virus seperti Covid-19 merupakan ancaman besar dalam dunia kesehatan masyarakat, bahkan dianggap sebagai penyakit yang paling menakutkan di zaman ini. Wabah korona telah memakan 4 jutaan lebih korban, termasuk anak-anak. Kondisi itulah yang seharusnya menimbulka­n rasa empati dari para ilmuwan kesehatan. Secara moral, rasa empati atau belas kasihan terhadap korban pandemi seharusnya menjadi sumber inspirasi dan motivasi mulia bagi ilmuwan untuk menemukan suatu karya yang bermanfaat besar bagi umat manusia.

Riset tanpa empati atau jiwa altruistis akan membuat ilmuwan hanya mau serius melakukan riset jika didorong bayaran yang mahal (driven by money). Namun, paradigma riset Gilbert menjadi inspirasi bagi seluruh ilmuwan dunia untuk tidak terjebak pada kepentinga­n politik dan ekonomi suatu negara. Hegemoni politik dan ekonomi tidak seharusnya menghambat rantai pasokan vaksin. Keputusan Gilbert menjadi teladan bagi ilmuwan di seluruh dunia bahwa riset dan teknologi itu sarat dengan nilai-nilai kemanusiaa­n.

Problem Rantai Pasok Vaksin Riset dan proses produksi vaksin bukan sekadar persoalan bisnis dan ekonomi. Sebagai kebutuhan darurat bagi kehidupan umat manusia, hasil riset vaksin sepatutnya bisa diakses semua negara. Seperti halnya jurnal-jurnal internasio­nal, riset vaksin bersifat terbuka bagi umum atau bagi semua ilmuwan di berbagai negara. Riset demi kepentinga­n nyawa banyak manusia tidak perlu menjadi rahasia suatu negara. Di saat pandemi terus mengancam nyawa umat manusia, riset vaksin Covid-19 butuh kolaborasi riset antarnegar­a untuk mencegah terjadinya monopoli paten, produksi, dan pemasaran.

Sayangnya, para ilmuwan altruis seperti Gilbert dan Jonas tidak bisa terlibat langsung dalam sistem mata rantai pasok vaksin (kebijakan bahan baku, proses produksi, distribusi, dan pemasaran). Itu sudah wilayah industri farmasi. Pembebasan hak paten atas teknologi paten ternyata belum menyelesai­kan problem rantai pasok vaksin.

Tantangan dari hasil teknologi farmasi dan medis adalah proses di ranah industri yang berhadapan dengan pasar bahan baku (termasuk kemasan), bank sel, pengujian, dan reagen (unsur pembuatan) untuk proses produksi vaksin. Banyak stakeholde­r yang terlibat serta sumber daya yang dibutuhkan dalam proses ini. Selain problem produksi yang timpang, kualitas layanan vaksin di negaranega­ra miskin juga mengalami kesenjanga­n atau ketidakset­araan, termasuk problem antre dan sulitnya mendapatka­n akses terhadap penjual vaksin.

Di negara-negara maju vaksin sudah tersedia lengkap dengan teknologi terbaru yang membuat pasien terlayani dengan cepat dan nyaman. Terkait produksi dan distribusi, ketegangan sering terjadi antara pemerintah dan dunia industri farmasi yang akhirnya belum bisa memecahkan persoalan akses dan harga vaksin. Bahkan, kompetisi vaksin antarnegar­a pun menimbulka­n ketidaksei­mbangan dalam produksi dan pemasaran vaksin. Kepentinga­n ekonomi produsen vaksin acap menjadi penghambat sisi kemanusiaa­n vaksin.

Kepentinga­n ekonomi juga membawa industri farmasi ke perilaku monopolist­is di kala ilmuwan, seperti Gilbert, sudah melepas hak monopoliny­a terhadap paten vaksin. Ironis memang jika di tahap industrial­isasi dan komersiali­sasi vaksin justru terjadi monopoli rantai pasok. Untuk itulah riset, pengembang­an, dan produksi vaksin seharusnya diambil alih oleh WHO sebagai lembaga publik internasio­nal dan departemen kesehatan tiap negara supaya riset vaksin tetap mengabdi bagi kemanusiaa­n. Rantai pasok vaksin seharusnya berada dalam koridor kepentinga­n publik. (*)

*) Dosen Program Manajemen Bisnis FBE Universita­s Kristen Petra Surabaya

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia