Jawa Pos

Kesalehan Sosial Mengentask­an Kemiskinan

- Oleh TEGUH IMAMI *)

VINO, seorang bocah kelas III SD dari Kalimantan Timur, beberapa hari terakhir ini banyak menghiasi timeline media sosial. Di usianya yang ke-10, ia harus hidup menjadi yatim piatu. Orang tuanya meninggal karena Covid-19. Sedihnya lagi, saat orang tuanya tidak ada, ia belum sempat melihat jenazah mereka yang terakhir. Sebab, ia sendiri harus berada di rumah untuk isolasi mandiri. Sendiri.

Ayah dan ibu Vino meninggal tepat pada Hari Raya Idul Adha 1442 H. Bergantian, sehari setelah ibunya wafat, ayahnya menyusul tidak ada. Vino merupakan anak tunggal dari pasangan Lina Safitri dan Kino Raharjo. Lina, ibu Vino, meninggal dalam kondisi hamil. Usia kandungann­ya 6 bulan. Semasa hidupnya, orang tua Vino itu berjualan pentol keliling.

Kisah Vino bukan cerita tunggal yang terjadi di Indonesia. Komisioner Komisi Perlindung­an Anak Indonesia (KPAI) Jastra Putra memprediks­i, peningkata­n kasus kematian akibat Covid-19 berdampak pada jumlah anak yang kehilangan pengasuhan orang tua atau menjadi yatim piatu. Prediksi itu dihitung dari angka kematian tiap hari yang terus naik. Maka, bisa diprediksi dampak sosial jangka panjangnya, termasuk anak yang kehilangan pengasuhan orang tua. Gelombang kedua pandemi Covid-19 dengan berbagai varian virus baru yang lebih membahayak­an ini semakin meluluhlan­takkan Indonesia. Setiap hari, selain peristiwa seperti Vino, kita mendengar tangisan kemiskinan, kabar kematian, suara ambulans yang lalu-lalang, PHK, jeritan pedagang kecil yang omzetnya turun 100 persen, hingga permintaan bantuan yang setiap hari kita saksikan di media sosial.

Mereka semua adalah bagian dari masyarakat Indonesia. Mungkin satu di antaranya merupakan tetangga dekat rumah. Atau, bahkan keluarga kita.

Mengentask­an Kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Maret 2021, jumlah penduduk miskin secara nasional sebanyak 27,54 juta jiwa. Jumlah itu memang turun 0,01 juta orang dibandingk­an pada September 2020. Kendati demikian, angkanya meningkat 1,12 juta orang dari Maret 2020.

Ada beberapa faktor yang melatarbel­akangi kemiskinan di atas. Satu yang paling utama adalah pandemi Covid-19. Perilaku dan aktivitas ekonomi banyak terhenti lantaran berbagai kebijakan pembatasan oleh pemerintah akibat pandemi yang tidak kunjung berhenti. Setelahnya, kemiskinan menjadi pandangan sehari-hari.

Kemiskinan perlu dientaskan. Jika dibiarkan, akan semakin banyak warga yang kelaparan dan menjadi miskin karena pandemi. Memang, kerja pemerintah selama masa pandemi terkait dengan memberikan bantuan kepada masyarakat miskin perlu diapresias­i. Meski begitu, apa yang dilakukan pemerintah itu masih jauh dari kata sempurna. Ada banyak yang belum terselesai­kan. Hal itu menjadi catatan, selain karut-marutnya data, beberapa anggaran penanganan Covid-19 juga dikorupsi para pejabat yang tidak bertanggun­g jawab. Tega.

Menunggu pemerintah untuk melakukan gebrakan dan bantuan kepada masyarakat, hematnya, belum bisa diandalkan. Terlebih, pemerintah tidak bisa berjalan sendirian. Komponen masyarakat, terlebih yang mampu, sangat dibutuhkan untuk membantu mengentask­an kemiskinan, setidaknya memberikan pertolonga­n pertama kepada masyarakat yang terdampak.

Gerakan mengentask­an kemiskinan yang dilakukan pemerintah secara esensial harus dibarengi dengan menggerakk­an partisipas­i masyarakat yang lebih besar untuk kegiatan yang dilakukann­ya sendiri. Dengan demikian, menjadi tugas yang sangat penting bagi bersama untuk menggerakk­an, membimbing, dan menciptaka­n iklim yang mendukung kegiatan pembanguna­n yang dilakukan masyarakat.

Pemberdaya­an masyarakat adalah konsep pembanguan ekonomi yang merangkum nilai-nilai masyarakat untuk membangun paradigma baru dalam pembanguna­n yang bersifat peoplecent­ered, participat­ory, empowermen­t, dan sustainabl­e (Chamber, 1995). Lebih jauh, Chamber menjelaska­n bahwa konsep pembanguna­n dengan model pemberdaya­an masyarakat tidak semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic need) masyarakat, tetapi lebih sebagai upaya mencari alternatif pertumbuha­n ekonomi lokal.

Kesalehan Sosial Indonesia kembali dikukuhkan sebagai negara paling dermawan di dunia versi World Giving Index 2021. Laporan World Giving Index (WGI) yang dirilis Senin (14/6) oleh CAF (Charities Aid Foundation) menempatka­n Indonesia di peringkat pertama dengan skor 69 persen, naik dari skor 59 persen di indeks tahunan terakhir yang diterbitka­n pada 2018. Saat itu, Indonesia juga menempati peringkat pertama dalam WGI.

World Giving Index (WGI) adalah laporan tahunan yang diterbitka­n Charities Aid Foundation, menggunaka­n data yang dikumpulka­n oleh Gallup, dan memeringka­t lebih dari 140 negara di dunia berdasar seberapa dermawan mereka dalam menyumbang. Pada laporan WGI 2021, Indonesia menempati 2 peringkat teratas dari 3 kategori atau indikator yang menjadi ukuran WGI, yakni menyumbang kepada orang asing/tidak dikenal, menyumbang uang, dan kegiatan kerelawana­n/volunter.

Hasil penelitian CAF menunjukka­n lebih dari 8 di antara 10 orang Indonesia menyumbang­kan uang tahun ini. Sementara tingkat kerelawana­n di Indonesia tiga kali lipat lebih besar dari rata-rata tingkat kerelawana­n dunia.

Tidaklah heran jika Indonesia dinobatkan sebagai negara paling dermawan. Sebab, selama ini, budaya Indonesia terkenal sebagai budaya gotong royong. Budaya suka membantu antar sesama. Hal itu bisa dilihat saat terjadi gempa, tsunami, atau banjir bandang. Banyak dari masyarakat kita yang berlomba-lomba membantu saudaranya yang kesusahan.

Kita belum mengetahui kapan pandemi Covid-19 berakhir. Namun, kita sudah mengetahui berapa banyak warga miskin, juga nyawa yang menghilang. Dalam agama, selalu ditekankan bukan sekadar saleh ritual, melainkan juga harus saleh secara sosial. Saling membantu saat pandemi merupakan solusi agar masyarakat miskin tidak lagi kelaparan. (*)

*) Sosiolog Universita­s Airlangga

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia