Kesehatan Mental Atlet
Pesenam Amerika Serikat (AS) Simone Biles memberikan pelajaran berharga buat kita semua. Biles yang merasa tak siap mental memilih mengundurkan diri pada final putri tim artistik Olimpiade 2020.
Sepekan sebelum Olimpiade 2020 bergulir, jurnalis The New York Times Juliet Macur mewawancarai Biles lewat telepon. Macur bertanya apa yang paling dirindukan Biles saat berada di Tokyo. ”Jujur saja, masa-masa istirahat,” kata Biles kepada Macur.
Berkaca pada sikap berani dan suara lantang Biles itu, kesehatan mental atlet pun menjadi atensi dunia. Meminjam dan menukil lagu band Seurieus, kita sangat bisa memahami bahwa atlet juga manusia. Punya rasa, punya hati.
Nah, tampil di ajang sekelas Olimpiade memang memberikan tekanan yang luar biasa kepada para atlet. Apalagi, Olimpiade ini jenis event yang berlangsung empat tahun sekali. Kemudian, Olimpiade 2020 berlangsung ketika seluruh dunia dikepung kabar kematian yang berseliweran akibat pandemi Covid-19 yang masih berlangsung.
Persoalan kesehatan mental atlet ini selayaknya mendapat perhatian besar dari berbagai pihak di tanah air. Sebut saja kementerian, induk organisasi olahraga, masyarakat Indonesia, bahkan hingga lingkaran paling mikro, keluarga atlet.
Selain berita kegemilangan lifter Merah Putih yang didapat Windy Cantika Aisah, Eko Yuli Irawan, dan Rahmat Erwin Abdullah di Olimpiade 2020, terdapat kisah-kisah perjuangan dari mereka yang gagal menaiki podium.
Ada Deni di angkat besi, lalu Gregoria Mariska Tunjung, Praveen Jordan/Melati Daeva Oktavianti, serta Marcus Fernaldi Gideon/ Kevin Sanjaya Sukamuljo di bulu tangkis, serta Aflah Fadlan Prawira dan Azzahra Permatahani di renang.
Mereka yang belum menyumbangkan medali buat Merah Putih butuh dukungan moril. Bukan malah perundungan. Bahkan, lebih bagus jika kementerian atau induk organisasi masing-masing menyediakan psikolog atau psikiater untuk mendampingi mereka sepulang dari Tokyo. Mereka yang belum berhasil di Olimpiade 2020 ini harus didukung terus untuk melanjutkan karier olahraganya.
Olahraga seharusnya memang tidak sekadar membangun raga yang sehat dan kuat. Tetapi juga jiwa maupun pikiran yang tangguh dan mumpuni.