Kemendagri Sambut Perluasan Akses NIK
Jadi Syarat Menggunakan Layanan Publik
JAKARTA – Fungsi nomor induk kependudukan (NIK) bakal makin krusial. Melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 Tahun 2021, Presiden Joko Widodo mendorong semua pelayanan publik untuk menggunakan NIK sebagai persyaratan administrasi.
Selain NIK, perpres itu mengatur perluasan akses nomor pokok wajib pajak (NPWP). Semua lembaga diwajibkan menjamin kerahasiaan data pribadi penggunaan NIK maupun NPWP.
Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh menyambut positif perpres tersebut. Dia menilai regulasi yang baru diterbitkan itu menjadi bagian dari upaya membangun tradisi baru. ”Memang ada proses membiasakan mengingat NIK dan nama. Kalau dulu kan hanya mengingat nama,” ujarnya kemarin (30/9).
Dalam jangka panjang, lanjut dia, pengintegrasian dalam satu data akses layanan dapat terwujud. Di satu sisi, masyarakat yang belum punya NIK akan tergerak untuk mengurusnya. Berdasar data dukcapil, ada 3 jutaan warga yang belum memilikinya.
Mau tidak mau, warga tersebut segera mengurus NIK. Sebab, tanpa NIK, mereka akan sulit mengakses layanan publik. Dukcapil berupaya mengejar kekurangan itu melalui program jemput bola. Khususnya di wilayah Indonesia Timur dan kawasan adat.
Di sisi lain, kebijakan tersebut juga akan memaksa sejumlah lembaga untuk bekerja sama dengan dukcapil. Dengan begitu, ada validasi atas layanan yang melibatkan data kependudukan. ”Kalau gak ada validasi (database), orang nulis NIK-nya nanti ngawur. Bisa saja nulis NIK-nya ngasal,” imbuhnya. Sejauh ini, baru sekitar 3.000 lembaga yang sudah bekerja sama.
Disinggung soal kesiapan pengamanannya, Zudan menyebut secara sistem sudah ada. Nanti infrastruktur dan akses ke pusat data juga diperkuat. Dukcapil akan mendorong lembaga pengguna untuk memakai sistem pengamanan two factor authentication.
”Seperti sekarang model Bank Mandiri sudah menggunakan NIK dan foto wajah. BCA juga NIK dan foto wajah,” jelas pria asal Jogja itu. Pilihan lain, lembaga pengguna bisa menyiapkan card reader sebagai alternatif validasi NIK. Tidak perlu lagi menggunakan syarat fotokopi e-KTP yang memiliki celah kebocoran data pribadi.
Pengamat kebijakan publik Universitas Indonesia (UI) Lina Miftahul Jannah mengatakan, kebijakan mewajibkan NIK sah-sah saja. Namun, dia mengingatkan, pemerintah harus serius menyiapkan ekosistemnya.
Lina juga mendorong pemerintah proaktif mendata masyarakat yang belum memiliki NIK. Selain itu, penyediaan perangkat seperti card reader harus diperbanyak. Sebab, jika validasinya masih manual, syarat NIK bisa menyulitkan. ”Khususnya masyarakat yang sudah berusia lanjut,” ujarnya.