Gap Kemakmuran yang Makin Lebar
Serial Squid Game yang tayang di Netflix sukses mendapatkan atensi dari seluruh dunia. Sejak tayang 17 September lalu, musim pertama Squid Game langsung menduduki ranking kesatu terbanyak disaksikan seluruh dunia.
Hingga kemarin (30/9), seperti diberitakan New York Times, sebanyak 14 miliar video dengan tagar #SquidGame muncul di TikTok sejak serial tersebut dirilis pertengahan bulan lalu. Kemudian, meme boneka raksasa anak perempuan dengan mata berputar bermunculan di banyak linimasa media sosial. Kita juga menemukan kutipan-kutipan kalimat para tokoh Squid Game yang lantas dijadikan status WhatsApp orang-orang di sekitar kita.
Squid Game berkisah tentang petualangan Seong Gi-hun (diperankan Lee Jung-jae) di sebuah pulau untuk melakoni sebuah permainan yang mempertaruhkan hidup dan mati. Enam jenis permainan yang dilakoni Gi-hun tersebut sangat familier dengannya. Sebab, semua permainan di Squid G am e itu jenis dolanan anak yang dimainkan padam asa kecilnya. Tema film permainan bertahan hidup dan alur Squid Game ini mengingatkan pada filmfilm terdahulu dengan pesan yang kurang lebih sama. Sebut saja trilogi Hunger Games ataupun Maze Runner.
Menurut Co-Chief Executive Netflix Ted Sarandos, kehadiran Squid Game yang menyihir jutaan penonton seluruh dunia terjadi di luar ekspektasinya.
Pakar film dan budaya Korea Macquarie University Australia Dr Lee Sung-ae mengatakan, ada beberapa hal yang membuat serial Squid Game meledak. Bukan sekadar film yang berdarah-darah. Tetapi juga merefleksikan kondisi moral manusia saat ini.
Dalam Squid Game, kata Dr Sung-ae, manusia-manusia modern dipotret sebagai homo economicus. Ya, manusia-manusia yang hanya berpikir tentang uang dan kemudian menempatkan kepentingan individu di atas segalanya. Hal lain yang menonjol, jelas Sung-ae, adalah gap kemakmuran antara si miskin dan si kaya di negara yang jadi setting film ini, yakni Korsel, makin lebar.
Gap itu bahkan sangat mungkin tidak cuma terjadi di Korsel. Tetapi juga menjadi potret di negara-negara makmur seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Inggris. Bagaimana dengan Indonesia? Kalau kata Rhoma Irama sih, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. (*)