Krisis Energi Kerek Harga Komoditas
CPO Jadi Bahan Bakar Nabati Alternatif yang Diburu
JAKARTA – Peningkatan harga komoditas dinilai berdampak positif bagi perekonomian nasional. Meski demikian, hargaharga tersebut diprediksi kembali ke kisaran normal. Faktor supply-demand bakal memengaruhi tren harga tersebut.
Pengamat energi Komaidi Notonegoro mengatakan, dampak kenaikan harga tersebut terbilang positif bagi ekonomi domestik. Sebab, sebagian besar batu bara diekspor. ’’Produksi kita 600 juta ton per tahun. Sebanyak 400 juta ton di antaranya adalah ekspor. Jadi, dengan kenaikan ini, pasti neraca dagang akan surplus dan perolehan devisa naik. Nilai tukar pun menguat,’’ jelasnya kepada Jawa Pos kemarin (7/10).
Kenaikan harga batu bara kali ini memang dipicu faktor seasonal. Sebab, lanjut Komaidi, kondisi global di akhir tahun dipicu iklim dingin di berbagai negara Eropa. Selain itu, beberapa negara produsen batu bara cenderung menahan produksi karena aktivitas yang berkurang. Mengingat, beberapa negara juga masih memberlakukan lockdown. ’’Hal itu pun turut menjadi pemicu,” ujarnya.
Setelah periode iklim dingin terlewati, pasokan akan kembali normal. Harga batu bara pun akan berangsur melandai. ”Kalau produksi sudah mulai normal, Covid-19 sudah terkendali, otomatis pasokan akan bertambah. Kalau pasokan bertambah, harga akan bisa terdorong ke titik normal,’’ jelasnya.
Dia menyebutkan, level normal harga batu bara acuan (HBA) biasanya berada di kisaran USD 100 per ton. Saat ini, HBA telah tembus USD 160 per ton.
Mengenai tren harga minyak kelapa sawit alias crude palm oil (CPO), kenaikan harga minyak bumi ikut mengerek harga CPO. Sampai Rabu (6/10), harga di bursa Malaysia tercatat MYR 4.869/ton atau melesat 2,76 persen dibandingkan posisi sehari sebelumnya dan menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah.
’’Saat harga minyak makin mahal, apalagi di tengah krisis energi yang dihadapi berbagai negara, maka insentif untuk beralih ke bahan bakar nabati atau biofuel kian tinggi. CPO adalah salah satu komoditas yang bisa digunakan sebagai bahan baku biofuel,” papar Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Mukti Sardjono.
Gapki juga mencatat bahwa nilai ekspor produk minyak sawit Juli 2021 mencapai USD 2,80 miliar, naik USD 684,5 juta dari Juni 2021. ”Harga yang terkerek naik tersebut didorong oleh kenaikan harga rata-rata CPO,” tuturnya.
Selain komoditas-komoditas tersebut, harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian crude price (ICP) pada September 2021 juga terkerek. ICP September tercatat USD 72,20 per barel, naik USD 4,40 per barel dari sebelumnya USD 67,80 per barel pada Agustus.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi mengatakan, lonjakan harga itu menyusul terganggunya pasokan minyak dunia sehingga memengaruhi peningkatan harga minyak di pasar internasional.
’’Berhentinya aktivitas produksi minyak mentah di kawasan Teluk Meksiko, AS, akibat badai Ida dan badai tropis Nicholas. Kondisi itu berdampak pada potensi kehilangan pasokan minyak mentah mencapai 30 juta barel,” ucapnya kemarin. Selain itu, terdapat gangguan pasokan minyak mentah dari Libya akibat adanya unjuk rasa.