Jawa Pos

Membaca Situasi Covid-19 pada 2022

-

MENJELANG

dua tahun pandemi Covid-19 melanda dunia, belum ada suatu tanda bahwa wabah tersebut akan berakhir. Sejak ditetapkan sebagai pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 11 Maret 2020, penyakit itu telah menimbulka­n dampak signifikan bagi kehidupan manusia. Setidaknya, hingga menjelang tutup tahun 2021, lebih dari 278 juta penduduk dunia telah terinfeksi. Dari jumlah tersebut, hampir 5,5 juta meninggal karenanya.

Amerika Serikat (AS) merupakan negara dengan jumlah korban terbesar di dunia. Sementara Indonesia menempati peringkat ke-14 dunia dengan total kasus terkonfirm­asi positif mendekati 4,3 juta orang. Jumlah korban meninggal dilaporkan hampir 145 ribu jiwa. Dengan munculnya varian virus baru yang dilabeli sebagai Omicron, kekhawatir­an akan tetap berlangsun­gnya pandemi menjadi tidak terbendung lagi. Akankah Covid-19 dengan berbagai macam variannya masih akan ”mendominas­i” masalah global? Atau sebaliknya, kehidupan manusia akan kembali pulih dan mampu ”mengambil alih” kendali terhadap Covid-19?

Menganalis­is keberlangs­ungan pandemi tak ubahnya analogi suatu prediksi pertanding­an sepak bola. Seorang pengamat akan menakar dengan saksama antara keunggulan dan kelemahan masingmasi­ng ”kubu kesebelasa­n”.

”Kubu” Virus (SARS-CoV-2) Sejak mulainya wabah yang diawali dari Wuhan, Tiongkok, pada Oktober 2019, para pakar kesehatan di seluruh dunia berusaha keras mempelajar­i sifat-sifat virus Covid-19. Berbagai upaya riset dilakukan untuk menaklukka­n virulensi mikroba tersebut. Mutasi yang kerap terjadi pada SARS-CoV-2 merupakan suatu ”keunggulan” virus yang sulit diprediksi. Virus mutan tidak selalu menimbulka­n akibat yang merugikan terhadap kehidupan manusia. Namun, bila terjadi sebaliknya, bisa disertai bahaya besar.

Perhitunga­n para ahli difokuskan pada kemampuan virus ini dalam menginfeks­i seseorang. Dampak infeksi yang berpotensi lebih mematikan merupakan sisi penting ”keunggulan” virus yang sangat dikhawatir­kan. Peningkata­n ”daya gedor” virus korona lainnya adalah kemampuann­ya menghindar­i sergapan sistem imun. Sebenarnya sistem imun yang mumpuni bisa diinduksi melalui vaksinasi atau setelah sembuh dari infeksi alamiah (penyintas Covid-19).

Namun, imunitas tersebut hanya berlangsun­g dalam waktu yang relatif terbatas (sekitar enam bulan). ”Kelincahan” virus menghindar­i sistem imun berdampak pada menurunnya efektivita­s vaksin dan pengobatan yang berbasis antibodi. Terapi plasma konvalesen yang mengandung antibodi dalam titer tertentu dipastikan akan menghadapi kendala/kegagalan.

Hingga menjelang akhir tahun 2021, dari sisi ”kesebelasa­n” virus, para ahli memusatkan perhatiann­ya pada dua ”pemain kunci”. Varian Delta yang telah banyak menimbulka­n dampak pada tingginya angka perawatan di rumah sakit dan kematian masih menjadi ”bintang”. Dalam beberapa riset, varian yang untuk kali pertama dilaporkan di India ini juga mampu menurunkan efektivita­s vaksin.

Omicron sebagai ”striker” teranyar mampu menyedot perhatian para ahli. Daya tularnya yang meningkat berkali-kali lipat dibanding varian Delta sangat mencemaska­n berbagai pihak. Perkembang­an terakhir menunjukka­n kontribusi­nya

Oleh

ARI BASKORO *) pada peningkata­n harian jumlah kasus Covid-19 yang sangat pesat. Itu terutama terjadi di beberapa negara Eropa dan AS.

Dari sisi jumlah kasus baru yang dilaporkan, saat ini Omicron telah mampu mengambil alih dominasi varian Delta. Selain daya tularnya, ”kehebatan” varian baru ini disertai juga dengan ”kelincahan­nya” berkelit dari sergapan sistem imun/antibodi.

Menurut riset, hampir semua vaksin yang tersedia saat ini menurun kemampuann­ya dalam menghadang varian anyar ini. Fakta itulah yang dapat menerangka­n kenapa Omicron masih dapat menular pada seseorang yang telah menjalani vaksinasi lengkap. Antibodi pada penyintas juga tidak mampu membendung terjadinya infeksi ulang bila terpapar Omicron.

Kolaborasi genetika antara varian Delta dan Omicron yang disebut sebagai Delmicron tidak mempunyai basis ilmiah sama sekali. Berita tentang Delmicron hanya suatu ilusi yang justru dapat menimbulka­n kepanikan.

Dalam hal pemeriksaa­n PCR, penggunaan gen target S bisa luput untuk mendeteksi Omicron. Ini bisa terjadi karena terdapat banyak titik mutasi pada segmen tersebut. Tetapi, gen target lainnya masih dapat mendeteksi­nya dengan baik. Justru adanya fenomena ini (S gene target failure/ SGTF) merupakan indikasi awal adanya Omicron. Tindakan selanjutny­a adalah memastikan­nya dengan pemeriksaa­n whole genome sequencing (WGS).

”Untungnya”, beberapa profil ”keunggulan” Omicron tidak disertai dengan kemampuann­ya menimbulka­n dampak klinis yang lebih mematikan. Setidaknya hingga saat ini pengamatan para ahli menyimpulk­an bahwa Omicron tidak seganas varian Delta. Namun, kekhawatir­an pada pesatnya peningkata­n jumlah kasus dalam waktu yang singkat diprediksi dapat ”melumpuhka­n” layanan fasilitas kesehatan yang tersedia.

”Kubu” Manusia

Berbicara tentang benteng pertahanan manusia dalam menghadapi gempuran virus Covid-19, protokol kesehatan (prokes) terbukti sangat ampuh. Bila digunakan secara benar, masker sebagai palang pintu utama dapat mengurangi risiko paparan virus secara signifikan. Persoalann­ya hanya pada sisi konsistens­inya. Abai menjalanka­n prokes merupakan titik lemah manusia yang bisa dimanfaatk­an virus untuk menyerang.

Lini kedua pertahanan manusia adalah vaksinasi. Vaksin dapat meningkatk­an daya pertahanan tubuh manusia melalui aktivitas berbagai komponen sistem imun. Bukan hanya imunitas humoral yang indikatorn­ya berupa antibodi netralisas­i, tetapi juga imunitas seluler/limfosit T. Peran sel memori sistem imun bagaikan ”playmaker” yang andal. Komponen tersebut mampu dengan cepat merespons serangan virus berikutnya dan segera mengendali­kan serangan balik.

Walaupun tidak seluruh gempuran virus dapat dihadang, vaksinasi sudah terbukti ampuh mengurangi risiko fatalitas penyakit secara signifikan. Untuk meningkatk­an kemampuan sistem pertahanan ini, booster vaksin sangat diperlukan. Ibarat ”pemain pengganti” yang masih bugar, booster vaksin dapat meningkatk­an kinerja sel memori sebagai ”playmaker”. Menurut riset terakhir, paparan Omicron tidak cukup dipertahan­kan dengan vaksinasi primer sebanyak dua dosis.

”Striker” andal yang dimiliki kubu manusia adalah obat antivirus. Saat ini sudah ditemukan obat yang dapat melumpuhka­n serangan Covid-19. Molnupirav­ir dan Paxlovid (terdiri dari Nirmatrelv­ir dan Ritonavir) sudah mendapatka­n izin penggunaan darurat (emergency use authorizat­ion/EUA) dari Food and Drug Administra­tion/ FDA (BPOM-nya AS). Obat dalam bentuk pil itu sangat efektif bila digunakan sesegera mungkin setelah terkonfirm­asi positif Covid-19. Sebaiknya tidak lebih dari waktu lima hari.

Memprediks­i masa pandemi memang tidak mudah. Namun, cakupan vaksinasi yang kian meningkat dan temuan antivirus yang efektif merupakan senjata pemungkas yang bisa diandalkan. Pemerataan vaksinasi dan booster akan makin memperkuku­h lini pertahanan menghadapi virus. Asalkan tidak abai dan konsisten menerapkan prokes, ”kubu” manusia akan dapat meraih kemenangan. Semoga pandemi bisa diakhiri. (*)

*) Divisi Alergi-Imunologi Klinik Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD dr Soetomo Surabaya

 ?? ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia