Biarkan Lembaga Eijkman seperti Selama Ini
Ketua AIPI: BRIN Cukup Koordinator, Tak Perlu Lakukan Peleburan
JAKARTA – Kritik terhadap peleburan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) terus mengalir. Salah satunya menyoal status dari lembaga swasta yang kemudian digabungkan ke dalam lembaga pemerintah.
”Mereka (Lembaga Eijkman) lembaga riset mandiri. Kenapa harus dimasukkan ke BRIN,” kata Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Prof Satryo Soemantri Brodjonegoro kepada Jawa Pos kemarin (3/1).
Satryo menjelaskan, seharusnya Lembaga Eijkman tetap dengan keberadaannya seperti selama ini. Apalagi, ketika dia membaca peraturan presiden (perpres) tentang BRIN, tidak ada yang mengharuskan Lembaga Eijkman masuk atau dilebur ke BRIN. ”Biarkan seperti selama ini. Prestasi Lembaga Eijkman sudah bagus,” jelas dia.
Selain itu, dukungan kegiatan penelitian Lembaga Eijkman oleh lembaga internasional selama ini cukup banyak. Dikhawatirkan, ketika masuk sebagai lembaga pemerintah di dalam struktur BRIN, mereka justru tidak leluasa seperti sebelumnya.
Jika dipaksa menjalankan peleburan seperti sekarang, dia khawatir terjadi kemunduran kegiatan riset di Indonesia. ”Macam-macam penyebabnya,” katanya.
Misalnya, penelitinya pergi ke lembaga lain atau bahkan memilih berkarier di luar negeri. Dia tidak ingin penelitian berkurang atau bahkan berhenti ketika Lembaga Eijkman menjadi unit yang kecil di dalam struktur BRIN. ”Solusinya apa? Ya, Lembaga Eijkman jangan dilebur ke BRIN,” tegasnya.
Menurut Satryo, penelitian di Lembaga Eijkman selama ini saling berkaitan. Tidak bisa dicopot-copot atau dipreteli begitu saja komposisi penelitinya.
Sementara itu, kata dia, sesuai dengan landasan hukum berdirinya, tugas BRIN adalah mengoordinasikan kegiatan penelitian di Indonesia. Karena itu, BRIN sejatinya tidak perlu melebur-leburkan sejumlah lembaga penelitian seperti LIPI, Batan, BPPT, dan Lapan.
Sementara itu, menanggapi alasan Lembaga Eijkman lebur, padahal bukan lembaga resmi pemerintah, Kepala BRIN Laksana Tri Handoko menyebut mereka selama ini memakai APBN. ”Sebagian besar pendanaannya dari APBN,” ungkap mantan kepala LIPI itu.
Dia mengatakan, setiap tahun kucuran APBN untuk Lembaga Eijkman mencapai Rp 30 miliar–Rp 50 miliar. Handoko membenarkan bahwa Lembaga Eijkman juga menjalankan proyek penelitian yang didanai eksternal. Namun, jumlahnya tidak banyak. ”Pendanaan eksternal tidak mungkin bisa membiayai operasional Lembaga Eijkman selama ini,” katanya.
Soal potensi para peneliti Lembaga Eijkman hijrah ke luar negeri, Handoko tidak mempersoalkannya. Bahkan, Handoko mengatakan bahwa BRIN mendorong mereka untuk studi lanjut, bahkan ke luar negeri. Dia menambahkan, semua periset Lembaga Eijkman yang sudah S-3 telah bergabung ke BRIN.
Dia menyatakan, secara umum kualifikasi S-3 adalah standar minimal untuk menjadi periset di belahan dunia mana pun. Karena itu, BRIN mendorong periset Lembaga Eijkman yang belum S-3 untuk mengambil opsi studi lanjut dengan skema by research.