Periset Khawatir Terjebak Budaya Birokrasi
JAKARTA – Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko akhirnya buka suara terkait polemik periset honorer di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (LBME). Dia mengatakan, memang ada peneliti honorer Eijkman yang keberatan, bahkan tidak mau bergabung dengan BRIN.
Dia lantas menyebutkan salah satu pemicunya. ”(Khawatir, Red) ternyata nanti ada (urusan) birokrasi,” katanya dalam pertemuan dengan sejumlah pemimpin redaksi media massa di Jakarta kemarin (4/1) malam. Merespons itu, dia menegaskan budaya kerja di BRIN tidak seperti birokrasi di lembaga pemerintah lainnya.
”Di BRIN tidak ada birokrasi (untuk para periset). Orang boleh kerja jam berapa saja,” katanya. Yang penting adalah hasil penelitiannya sesuai target. Jadi, BRIN secara kelembagaan hanya akan menanyakan proyek penelitian pada awal tahun, kemudian menagih capaiannya pada akhir tahun seperti apa.
Selain itu, Handoko menyampaikan, di LBME ada kegiatankegiatan penelitian di luar ketentuan. Sehingga menguntungkan periset honorer Eijkman. Padahal, ketika Eijkman selama ini menggunakan anggaran dari APBN, seluruh kegiatannya harus sesuai dengan ketentuan keuangan negara.
Namun, Handoko menegaskan tidak mau berpikir ke belakang. Dia menyebut BRIN sudah memberikan kesempatan kepada para periset honorer Eijkman untuk masuk ke BRIN. Syaratnya harus memiliki kualifikasi S-3, sesuai dengan ketentuan riset dunia. Yang belum S-3 bisa diberi kesempatan untuk kuliah dahulu.
Handoko mengatakan, sejatinya penggabungan Eijkman ke BRIN membawa dampak positif. Di antaranya adalah membuat lembaga itu menjadi resmi. Sebab, selama ini LBME menjadi unit proyek dari Kemenristek. Akibatnya, pegawai-pegawai di Eijkman tidak bisa menjadi ASN. Begitu pun dengan periset yang sudah ASN, tidak bisa menjadi ASN periset penuh.
”Saat saya kepala LIPI, ada yang menghadap ke saya,” katanya. Periset itu meminta supaya bisa menjadi ASN penuh. Sebab, dengan status ASN penuh, para peneliti tersebut bisa mendapatkan tunjangan seorang peneliti yang besar. Handoko mengatakan, sebagai ASN peneliti penuh, mereka bisa mendapatkan gaji sekitar Rp 25 juta setiap bulan.