Turbulensi Harga Pangan
TURBULENSI
harga pangan yang terjadi sepanjang tahun lalu, lebih-lebih di akhir tahun, masih jadi masalah ikutan yang dibawa ke tahun baru 2022. Minimnya langkah riil para pembuat kebijakan untuk menjinakkan harga membuat harga-harga pangan bergerak bagai roller coaster. Sialnya, gejolak harga ini tidak terjadi pada satudua komoditas, tapi banyak komoditas pengganjal perut warga. Mulai dari minyak goreng, cabai (rawit dan merah), bawang merah, telur ayam ras, daging ayam ras, ikan segar, hingga daging sapi.
Rutinitas ini seperti penyakit menahun: timbul-tenggelam mengikuti momentum dan dinamika kebijakan publik. Tidak terhitung sumber daya yang tergerus. Bangsa ini kehabisan waktu, tenaga, dan biaya yang amat besar untuk mengatasi hal-hal rutin yang semestinya bisa diselesaikan dengan cara-cara cerdas. Penyebab kenaikan harga pangan sebetulnya sudah dikenali dengan baik oleh pemerintah. Oleh karena itu, mestinya penanganannya jauh lebih mudah. Pertanyaannya, mengapa masalah ini selalu berulang?
Persoalan Berulang
Turbulensi harga pangan terus berulang karena pemerintah tak mau menyentuh akar persoalan. Solusi yang ditempuh hanya di level permukaan. Contohnya, pemerintah amat sibuk mengurusi pasokan. Pemerintah yakin, saat pasokan memadai, harga akan stabil. Tapi, pemerintah lupa pasokan yang memadai tak berarti apa-apa bila distribusi macet dan ada pelaku dominan dan pemburu rente yang nakal. Minyak goreng berbasis sawit contoh lainnya. Meskipun Indonesia produsen sawit nomor 1 dunia, harga minyak goreng tetap naik tinggi karena pabrik minyak goreng tak terintegrasi dengan kebun.
Penyebab instabilitas harga pangan bersifat struktural. Tanpa menyentuh masalah struktural itu, instabilitas selalu berulang.
Pertama, dominasi orientasi pasar kebijakan pangan. Tata niaga hampir semua komoditas pangan penting diserahkan kepada mekanisme pasar. Kalaupun diatur, hanya waktu dan kuota impor. Orientasi ini tak salah kalau infrastruktur sudah baik, petani sejahtera, dan pendapatan konsumen sudah pejal pada guncangan pasar. Kenyataannya, tiga persyaratan itu belum terpenuhi.
Kedua, konsentrasi distribusi sejumlah komoditas pangan di tangan segelintir pelaku. Orientasi pasar membuat swasta leluasa mengambil alih kendali tata niaga. Jalur distribusi yang konsentris dan oligopolis ini terjadi pada dua sumber pasokan pangan: produksi domestik dan impor. Ini terjadi hampir pada semua komoditas yang volume dan nilai impornya amat tinggi seperti gandum, gula, kedelai, beras, jagung, daging, tak terkecuali bawang (putih). Bisnis impor ini bahkan sudah menjadi political rent-seeking.
Ketiga, instrumen stabilisasi amat terbatas. Sejak Bulog mengalami ”setengah privatisasi” menjadi perum, praktis tidak ada badan penyangga yang memiliki kekuatan besar menstabilkan pasokan dan harga pangan. Bulog yang dulu amat perkasa, mengurus enam pangan pokok dan mendapatkan berbagai
privilege, kini semua itu telah dipereteli. Dengan status perum dengan anggaran bank berbunga komersial, Bulog harus bisa menyetorkan keuntungan ke negara. Jika tidak, direksi bisa dinilai tidak becus dan tiap saat kursi melayang. Dengan kondisi seperti itu, Bulog sulit diharapkan jadi stabilisator.
Keempat, absennya institusi pangan. Sejak Menteri Negara
KHUDORI *)
Urusan Pangan dibubarkan pada 1999, tidak ada lagi institusi yang bertugas merumuskan kebijakan, mengoordinasikan, dan mengarahkan pembangunan pangan. Otonomi daerah membuat produksi pangan domestik diurus daerah. Padahal, elite daerah tak menjadikan pertanian dan pangan sebagai driver pencitraan. Bahkan, peta jalan swasembada pangan dari pusat diterjemahkan beragam oleh daerah. Mustahil berharap inovasi pembangunan pertanianpangan lahir dari daerah. Ini semua memperparah kinerja produksi pangan domestik.
Hasil akhir jalinan empat faktor itu membuat kinerja produksi pangan domestik stagnan, bahkan merosot, diiringi melonjaknya pangan impor. Nilai impor paling besar disumbang gandum, kedelai, gula, susu, daging dan bakalan sapi, aneka buah-buahan, serta bawang putih. Saat ini Indonesia bergantung pada impor 100 persen untuk gandum, 80 persen kedelai, 72 persen susu, 68 persen gula, 30 persen daging sapi, dan 98 persen bawang putih. Sebagian besar diimpor dari negara maju. Belum ada tanda-tanda ketergantungan impor itu menurun.
Peran Badan Pangan Nasional
Untuk mengurai berbagai problem struktural itu, diperlukan sejumlah kebijakan. Pertama, meningkatkan produksi, produktivitas, dan efisiensi usaha tani dan tata niaga komoditas pangan di hulu. Untuk pangan tropis berbasis sumber daya lokal, tak ada alasan untuk tidak swasembada. Kebijakan ini harus ditopang perluasan lahan pangan, perbaikan infrastruktur (irigasi, jalan, jembatan), pembenahan sistem informasi harga, pasar, dan teknologi. Dalam batas tertentu, kinerja produksi pangan yang baik bisa menekan dampak buruk sistem perdagangan dan tata niaga yang tidak efisien, konsentris, dan oligopolis.
Kedua, segera menentukan jenis dan jumlah pangan yang jadi objek stabilisasi. Pemerintah sejauh ini belum menentukan komoditas pangan apa yang diatur dan jadi objek stabilisasi, baik pasokan maupun harga. Payung hukum dan aturan turunan sejatinya sudah cukup. Untuk level UU, ada UU No 7/2014 tentang Perdagangan dan UU No 18/2012 tentang Pangan. Aturan turunan sudah ada Perpres No 71/2015 (diubah jadi Perpres 59/2020) tentang Barang Kebutuhan Pokok dan Penting, PP No 17/2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi, dan Perpres 66/2021 tentang Badan Pangan Nasional.
Di Perpres 71/2015, pemerintah menetapkan 11 jenis barang kebutuhan pokok. Yakni beras, kedelai bahan baku tahu/tempe, cabai, bawang merah, gula, minyak goreng, tepung terigu, daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, dan ikan segar (bandeng, kembung dan tongkol/tuna/cakalang). Beleid ini tak mengatur jenis dan jumlah pangan objek stabilisasi. Pengaturan jenis dan jumlah pangan objek stabilisasi diatur di PP 17/2015. Dengan menimbang peran komoditas pangan terhadap perekonomian nasional, dampak pada inflasi, dan sejauh mana menguras belanja warga, jenis pangan tak akan jauh dari 11 itu.
Yang perlu dilakukan adalah, merujuk pasal 4 PP 17/2015, presiden menentukan jenis pangan pokok tertentu. Jenis pangan inilah yang akan jadi objek stabilisasi, salah satunya dengan menyiapkan jumlah cadangannya. Berikutnya, segera menunjuk kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas). Sejak terbit 29 Juli 2021, kepala badan ini belum ditunjuk. Merujuk pasal 5 (1) PP 17/2015, yang berhak menentukan jumlah cadangan pangan yang jadi objek stabilisasi adalah kepala Bapanas. Bulog bisa jadi tangan kanan Bapanas dalam pengelolaan cadangan dan stabilisasi harga, termasuk intervensi pasar.
Perpres 66/2021 mendesain Bapanas sebagai superbody: mengurus pangan hulu-hilir. Dari ketersediaan, stabilisasi pasokan dan harga, penganekaragaman konsumsi pangan, kerawanan pangan dan gizi, hingga keamanan pangan. Bapanas bertugas melakukan koordinasi, perumusan, dan penetapan kebijakan pangan; koordinasi pelaksanaan kebijakan pangan; dan pelaksanaan pengadaan, pengelolaan, dan penyaluran cadangan pangan pemerintah melalui BUMN di bidang pangan. Ditambah pengalihan wewenang dan kuasa sebagian urusan pangan di Kementan, Kemendag, dan Kementerian BUMN ke Bapanas, ada harapan urusan pangan diurus satu otoritas dan stabilisasi jadi powerful. (*)
*) Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP); penulis buku Ekonomi Politik Industri Gula Rafinasi: Kontestasi Pemerintah, Importir, Pabrik Gula, dan Petani (IPB Press, 2021) serta Ironi Negeri Beras (Yogyakarta: Insist Press, 2008)