RUU TPKS Punya Legitimasi Kuat
Hasil Survei SMRC, Publik Beri Dukungan
JAKARTA – Publik memberikan respons positif atas rencana pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Mayoritas publik menginginkan RUU TPKS bisa disahkan pada tahun ini.
Hal itu merupakan poin utama hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC). Peneliti SMRC Saidiman Ahmad mengatakan, dari aspek pengetahuan, jumlah publik yang mengetahui isu RUU TPKS terus meningkat. Pada survei terakhir yang dilakukan 5–7 Januari 2022, tingkat pengetahuan sudah 39 persen. Naik dibandingkan Maret 2021 di angka 24 persen dan Mei 2021 dengan 36 persen.
Nah, dari 39 persen publik yang tahu, lanjut Saidiman, mayoritas sepakat dengan adanya RUU TPKS. ”(Sebanyak, Red) 60 persen dari yang tahu menyatakan setuju,” ujarnya dalam paparan survei secara virtual kemarin (10/1).
Angka tersebut relatif stabil dibanding dua survei terdahulu yang berada di atas 55 persen. Kemudian, terkait keinginan Presiden Joko Widodo agar RUU itu bisa disahkan dan diundang-undangkan tahun ini, publik juga sepakat. Data SMRC mencatat, ada 65 persen yang menyatakan setuju dengan presiden.
Angka tersebut dinilai Saidiman sebagai data yang positif dalam upaya pemerintah dan DPR melakukan percepatan. ”DPR dan pemerintah memiliki legitimasi yang kuat dari publik agar RUU segera disahkan,” imbuhnya.
Anggota DPR Fraksi Nasdem Taufik Basari menjelaskan, hasil survei itu menjadi tambahan data dalam melanjutkan pembahasan. Pihaknya menilai hal tersebut menjadi sentimen positif. Sebab, apa yang dikerjakan DPR dan pemerintah sejalan dengan keinginan masyarakat.
Terkait keinginan percepatan, pria yang akrab disapa Tobas itu juga setuju. Sebab, pihaknya juga menilai ada kebutuhan mendesak untuk mengundangundangkan RUU tersebut. ”Mudah-mudahan di persidangan berikutnya bisa dibawa ke paripurna,” ujarnya.
Anggota DPR Fraksi PKS Ledia Hanifa berpendapat berbeda. Dia menilai pengesahan RUU TPKS tidak perlu terburu-buru. Sebab, Fraksi PKS menilai masih ada persoalan dalam draf RUU saat ini. Persoalan yang dimaksud adalah konstruksi regulasi yang hanya fokus pada kekerasan.
”Kalau tanpa kekerasan, berarti tidak ada pidana,” ujarnya. Konstruksi tersebut, lanjut Ledia, bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan yang dianut Indonesia. Karena bisa menjadi dalil legalisasi seks bebas yang didasarkan kemauan tanpa kekerasan.
Aktivis perempuan Yuni Chuzaifah berharap pengesahan RUU TPKS bisa dipercepat. Meski cepat, dia mengingatkan agar RUU tersebut disiapkan secara baik. ”Tidak mau juga disahkan asal-asalan,” tutur mantan ketua Komnas Perempuan (2010–2014) itu.
Yuni mengingatkan agar halhal yang menjadi persoalan selama ini harus diakomodasi. Seperti memperluas definisi pemerkosaan, perbudakan seksual, kontrasepsi paksa, larangan/paksaan kehamilan, hingga eksploitasi seksual. RUU juga harus memastikan terciptanya keadilan dan penghukuman yang setimpal serta menjamin hak pemulihan korban dan pencegahan.
Terakhir, Yuni juga mengingatkan semua partai untuk tidak menggunakan RUU TPKS sebagai alat politik meraih simpati masyarakat. Baik bagi yang mendukung maupun yang menolak.