AS-Rusia Gagal Capai Kata Sepakat
Bertemu Membahas Ukraina
JENEWA – Pertemuan Rusia dan Amerika Serikat (AS) untuk membahas masalah Ukraina berakhir antiklimaks. Kedua negara memang sepakat untuk mengurangi ketegangan di perbatasan Ukraina. Namun, tidak ada terobosan baru dalam dialog yang berlangsung di Jenewa, Swiss, pada Senin (10/1) waktu setempat itu.
”AS dan Rusia dalam beberapa hal memiliki pandangan yang berbeda tentang apa yang perlu dilakukan,” ujar Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Ryabkov, seperti dikutip Al Jazeera.
Salah satu hal yang tidak mencapai kata sepakat dalam pembicaraan selama lebih dari 7 jam itu adalah keinginan Rusia agar Ukraina tidak dimasukkan sebagai anggota NATO. Ukraina memang mengajukan diri, tapi NATO belum memberikan keputusan. AS juga enggan menjanjikan apa pun terkait hal itu.
Jika Ukraina menjadi anggota NATO, aliansi militer antar pemerintah itu wajib membantu jika Kiev sampai diserang. Ukraina memang tengah ”senam jantung”. Sebab, disinyalir ada 100 ribu tentara Rusia di perbatasan dua negara. Itu belum termasuk alat tempur lengkap yang tersedia di sana. Ibaratnya, jika ingin menyerang, Rusia bisa melakukannya kapan saja.
Invasi itu bukanlah hal yang tidak mungkin. Sebab, pada 2014, Rusia sudah mencaplok wilayah Ukraina, yaitu Krimea. ”Jika Rusia sampai menginvasi (Ukraina lagi), harga dan konsekuensi yang harus mereka bayar bakal lebih dari 2014 lalu,” tegas Wakil Menteri Luar Negeri AS Wendy Sherman.
Dia memaparkan bahwa AS menawarkan beberapa ide. Hal itu agar kedua negara bisa memberikan timbal balik untuk kepentingan keamanan dan meningkatkan stabilitas strategis. Namun, dia tidak memerinci apa saja tawarannya. AS maupun Rusia sepakat bahwa situasi saat ini bukanlah tanpa harapan sama sekali. Setidaknya, arah kebijakan mulai mengerucut.
Sementara itu, Petro Burkovskiy dari Yayasan Inisiatif Demokratik menyatakan, Rusia punya tujuan dalam negosiasi tersebut. Yakni, merusak kepercayaan terhadap AS di antara negara-negara Eropa dan menunjukkan bahwa Rusia akan membalas secara selektif jika sanksi diterapkan. Misalnya, dengan menghentikan pasokan gas ke Jerman atau Italia. ”Tapi, tujuan terpenting Rusia saat ini adalah menghalangi AS untuk mempersenjatai negaranegara Eropa Tengah yang bergabung dengan NATO,” jelas Burkovskiy.
Di sisi lain, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky kemarin (11/1) menyerukan agar digelar KTT internasional yang melibatkan Prancis, Jerman, dan Rusia. Menurut dia, ini adalah saatnya mencapai kata sepakat untuk mengakhiri konflik di negaranya. ”Kami siap mengambil keputusan yang diperlukan selama pertemuan baru dengan para pemimpin empat negara,” terang Zelensky.
Berbeda dengan Ukraina, Kazakhstan justru mendekat ke Rusia. Keduanya sama-sama negara bekas pecahan Uni Soviet. Presiden Kazakhstan Kassym-Jomart Tokayev memaparkan, kontingen Organisasi Perjanjian Keamanan Kolektif (CSTO) yang dipimpin Rusia akan mulai meninggalkan negaranya dalam dua hari ini. Penarikan pasukan akan berlangsung maksimal 10 hari.
Pasukan Rusia terjun ke Kazakhstan untuk mengatasi kerusuhan di Almaty. Tokayev menegaskan bahwa misi pasukan CSTO di negaranya sukses.
Namun, tentu saja banyak pihak yang tidak berpendapat demikian. Sebab, 164 orang tewas dan lebih dari 9.900 lainnya ditangkap. Salah seorang yang ditahan adalah mantan Ketua Komite Keamanan Nasional Karim Masimov. Dia dituduh makar.
Masimov adalah orang dekat pendiri Kazakhstan Nursultan Nazarbayev. Hingga kini, Nazarbayev belum memberikan komentar apa pun terkait insiden di negaranya. Dia dikabarkan berada di Nur-Sultan, ibu kota negara, untuk berdialog dengan Tokayev.
Hubungan Tokayev dengan Nazarbayev tengah memanas. Tokayev mengkritik kebijakan lama pendahulunya yang menciptakan lapisan orang-orang kaya. Beberapa jabatan penting di negara itu dipegang oleh anak-anak Nazarbayev.
”Sistem saat ini berorientasi pada struktur utama dan didasarkan pada prinsip yaitu segalanya untuk teman, sedangkan hukum untuk orang lain,” kritik Tokayev, seperti dikutip Agence France-Presse.