Diskusi Boleh asal Jangan Memaksa
Duh, pusing! Anak mulai dihadapkan dengan pilihan jurusan di sekolahnya. Biasanya, opsi jurusan tersedia di level sekolah menengah atas (SMA) atau kejuruan (SMK). Yang SMA, pilihannya ada IPA, IPS, atau bahasa. Nah, kalau SMK, makin variatif lagi. Saat memilih jurusan, parents harus menghindari sikap memaksa. Misalnya, anak harus ikut kemauan orang tua. Saklek. Tidak ada ruang untuk mendengarkan alasan anak.
orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk masa depan buah hatinya. Itu naluri orang tua. Termasuk urusan pendidikan. Namun, parents juga wajib mempertimbangkan faktor minat dan bakat anak. Konselor anak dan remaja Laurencia Ika Wahyuningrum menyatakan, selain mengenali, orang tua wajib memahami bakat dan minat anaknya.
Memaparkan banyak kegiatan bisa menjadi alat bagi orang tua untuk mengenali minat atau bakat. Menurut Ika, orang tua boleh ikut memberikan masukan kepada anak saat menentukan jurusan. Baik itu jurusan di SMA ataupun di bangku kuliah. ’’Selama orang tua tidak mengintervensi atau satu-satunya pilihan ada di tangan orang tua,’’ terangnya.
Ika menambahkan, dunia karier zaman orang tua dengan anak yang sekarang jelas berbeda. Kini dunia kerja semakin terbuka. Namun, jika orang tua sekadar memberikan nasihat, misalnya bagaimana membangun jaringan dan luwes dalam berkomunikasi kepada lawan bicara, sah-sah saja kok. Jangan lupa Mom, anak perlu diberikan pertimbanganpertimbangan juga, ya.
Lantas, bagaimana jika ternyata pilihan yang dijatuhkan tidak sesuai dengan kemampuan anak? Tenang. Coba cari tahu dulu, anak pasti punya alasan mengapa memilih jurusan tersebut. ’’Atau, Mom bisa pakai jasa psikolog dan melakukan tes minat serta bakat,’’ ujar Ika.
Ika menyampaikan, saat anak melakukan sesuatu, orang tua bisa berpaku terhadap pedoman 4E. Yakni, enjoy (anak menikmati kegiatannya), easy (anak mudah mengerjakannya), excellent (hasil yang dikerjakan anak memuaskan), dan
earn (menghasilkan uang). Terpisah, Audre Gracia, 43, mengungkapkan pernah berdebat sengit dengan buah hatinya saat menentukan jurusan di bangku SMA. Anak bungsunya, Lili, menyerahkan pilihan kepada sang mama. Itu justru membuat Audre kelimpungan. Ibu tiga anak tersebut tak ingin putrinya tidak punya pilihan sendiri. ’’Akhirnya, saya memutuskan oke kamu ambil jurusan IPA seperti koko (kakak, Red),’’ kenangnya.
Namun, pilihan Audre ditolak mentah-mentah. ’’Katanya terserah mama, sekarang dikasih pilihan nggak mau. Kamu mau pilih apa,’’ ucapnya balik ke Lili. Audre menyadari jika kemampuan anak bungsunya tak sama dengan si sulung dan anak keduanya. Lili lebih berbakat dalam diplomasi, cenderung lemah dalam angka.
Ternyata, Lili mengungkapkan, dia takut ortunya kecewa jika dirinya memilih IPS sejak awal. Dari situ, Audre mulai berubah dan mengevaluasi diri. ’’Sejak Lili SMP itu, saya merasa terlalu menekan. Kalau SMA, harus IPA dan kuliah jurusan sains, eh malah membuat
Lili tak percaya diri,’’ ujarnya.
Lain halnya dengan Audre, Heni Kuswati memberikan kebebasan kepada anaknya untuk mengambil jurusan IPA atau IPS. Sebab, menurut dia, anaklah yang memahami kemampuan dirinya sendiri.
Bukan hanya soal jurusan, menentukan aktivitas lain juga diserahkan kepada anak. Misalnya, wushu atau
kickboxing. ’’Dengan begitu, mereka enjoy dan bisa berprestasi di bidang yang mereka pilih. Saya bersyukur,’’ ujarnya.