Jasad Abadi
SUSAN POTTER MENYUMBANGKAN TUBUHNYA UNTUK ILMU PENGETAHUAN. JASADNYA DIBEKUKAN, DIPOTONG 27.000 KALI, DAN DIPOTRET. HASILNYA: KADAVER DIGITAL YANG AKAN BERBICARA KEPADA MAHASISWA KEDOKTERAN DARI DALAM KUBUR.
Susan Potter menyumbangkan tubuhnya untuk ilmu pengetahuan. Jasadnya dibekukan, dipotong 27.000 kali, dan dipotret. Ia akan “hidup kembali” dalam bentuk kadaver digital yang amat membantu pemahaman dalam dunia kedokteran.
Susan Potter bersikeras untuk mengunjungi kamar pendingin atau ‘the meat locker’ sebelum menyumbangkan tubuhnya. Ia pun melihat ruangan itu— dan mesin yang akan memotong jaringan tubuhnya menjadi irisan setebal kertas tiap potongnya.
Selama 15 tahun terakhir hidupnya, Potter membawa-bawa sebuah kartu bertuliskan kata-kata ini: “Telah menjadi kehendak saya agar tubuh saya dipergunakan bagi tujuan yang serupa dengan tubuh lain yang digunakan dalam Visible Human Project, yakni berupa citra fotografik yang dapat digunakan di internet untuk pendidikan medis … Saat saya meninggal … hubungi pager Dr. Victor M. Spitzer, PH.D. … Ada tenggang waktu empat jam sampai tubuh saya dapat diterima.”
Potter tahu sebab ia telah mengunjungi ruangan tempat tubuhnya akan dibawa, melihat mesin yang akan memotong jaringannya setipis kertas untuk setiap irisannya demi dibuat citranya, dan mendengarkan Spitzer, direktur Center for Human Simulation di University of Colorado Anschutz Medical Campus, menjelaskan prosesnya satu dasawarsa sebelum ia meninggal. Spitzer tidak berinisiatif untuk menunjukkan ruangan tadi; Potter yang memintanya.
Saya mau melihat meat locker, begitu ujarnya kepada Spitzer, maksudnya Ruang NG 004 di Fitzsimons, sebuah bekas rumah sakit School
of Medicine, University of Colorado. “Saya hanya akan menyumbangkan tubuh saya kalau sudah tur dari atas sampai bawah.”
“Cerita ini tentang kematian,” Vic Spitzer menuturkan kepada saya pada Maret 2004, saat saya pertama kali bertemu dengannya untuk membicarakan kolaborasinya dengan Potter. “Tetapi, dalam hal ini kita bicara tentang kematian di masa depan.” Sebenarnya, ini sungguhsungguh sebuah kisah tentang hubungan antara dua orang yang hidup: seorang ilmuwan dengan sebuah visi untuk menciptakan versi buku Gray’s Anatomy abad ke-21 yang memberi batasan baru dan seorang wanita yang menyumbangkan diri untuk sebuah proyek yang akan terealisasi hanya saat ia meninggal. Kita bisa mengatakan bahwa selama 15 tahun terakhir kehidupannya, Susan Potter hidup untuk Vic Spitzer.
Ketika Potter meninggal akibat radang paru-paru pada pukul 5:15 pagi tanggal 16 Februari 2015 di usia 87 tahun, tubuhnya diambil dari tempat perawatan Denver Hospice, tempat ia masuk seminggu sebelumnya. Kadaver ini, berukuran 1,55 meter dari ujung kepala sampai ujung kaki,
25 centimeter dari depan ke belakang, dan 48 centimeter dari siku ke siku, ditempatkan di dalam sebuah lemari pendingin dan dibekukan pada suhu -26 derajat Celcius.
Sekitar dua tahun kemudian Spitzer dan seorang asisten menggunakan gergaji potong yang dioperasikan dua orang untuk memotong jasad beku Potter menjadi empat bagian, sebuah langkah pendahuluan dalam proses berkelanjutan yang akan berlangsung bertahun-tahun. Pada akhirnya, Spitzer akan menghidupkan dan menyusun kembali tubuh Potter dalam bentuk semacam avatar digital yang dapat berbicara kepada mahasiswa kedokteran dan membantu mereka memahami bagaimana, dalam kehidupan sebenarnya, rupa Potter tersusun.
Anatomi merupakan batu pondasi dalam kedokteran. Tubuh adalah hal yang kita bawa dan tunjukkan ke dokter kita, demikian ujar Robert Joy, profesor emeritus sejarah kedokteran di Uniformed Services University of the Health Sciences. “Dokter bertanya, ‘Ada apa, dan di sebelah mana terjadinya?’ Untuk merawat pasien, dokter harus pertama-tama belajar arsitektur tubuh.”
Untuk belajar bagian mana tadi, mahasiswa kedokteran menghabiskan tahun pertama mereka membedah kadaver. “Orang mati mengajari orang hidup” merupakan sebuah prinsip dalam ilmu kedokteran.
Sebagian lantaran adanya tabu jika menodai jenazah, kadaver dari jasad manusia tidak dipergunakan untuk pendidikan sampai abad ke-14. Pembelajaran dengan bedah mayat sering kali dilakukan di depan umum, tetapi para mahasiswanya sendiri tidak membedahnya. Seorang anggota senior fakultas duduk di sebuah kursi dan membacakan hasil kerja dokter Italia bernama Mondino de Luzzi. Seorang mahasiswa junior menunjuk stuktur yang dimaksud. Seorang tukang cukur atau ahli bedah melakukan pembedahannya. Adalah Andreas Vesalius, profesor di University of Padua, yang membawa mahasiswa ke meja bedah pada tahun 1500-an.
“Pembedahan menjadi bagian dari sekolah kedokteran bersama Vesalius,” tutur Mary Fissell, seorang profesor di Department of the History of Medicine atau Jurusan Sejarah Kedokteran di Johns Hopkins University. Seorang tabib Yunani bernama Galen telah membedah babi, anjing, dan kera. Pada tahun 1500-an, demikian Fissell menjelaskan, Vesalius memperjuangkan pandangan dirinya yang inovatif untuk masa itu bahwa kadaver manusia adalah yang terbaik untuk mengajari dokter tentang anatomi manusia dan, lebih jauh lagi, bahwa mahasiswa harus melakukan pembedahan.
Pembedahan kadaver itu seperti ekskavasi arkeologi. Untuk menuju lapisan terdalam, kita harus bekerja dari lapisan teratas lalu ke bawah. Prosesnya membangkitkan keresahan sekaligus memikat perhatian— sebuah ritus inisiasi sekolah kedokteran dengan nada nyaris religius.
“Saya ingat pertama kalinya saya menggenggam sebuah jantung,” tutur Donald Jenkins (yang meninggal pada tahun 2017), mantan anatomis di National Library of Medicine, di Bethesda, Maryland, sambil berkacakaca, saat bercerita tentang kadaver perempuan yang ia tangani. “Ini jantung waktu dia menikah,” ujarnya. “Saya tersedak saat memikirkannya. Kesannya sangat mendalam.”
Mahasiswa masa kini menghabiskan lebih sedikit waktu di lab anatomi karena ada banyak sekali ilmu pengetahuan baru—bidang genetika molekuler, misalnya—yang berebut perhatian mereka. Pada awal abad ke-20, menurut almarhum David Whitlock, mantan kepala departemen anatomi University of Colorado, para mahasiswa kedokteran
Ini momen eureka. Andai ada sebuah kadaver virtual, kadaver yang bisa dibedah terus-menerus dan tak habishabis, lalu disimpan secara utuh seperti Lazarus dengan sekali tekan tombol keyboard?
menghabiskan waktu seribu jam dalam mempelajari anatomi. Sekarang, ujar Wendy Macklin, kepala Departemen Sel dan Biologi Perkembangan, tidak lebih dari 150 jam. Kadaver itu mahal, merupakan sumber daya yang tak terbarukan. Sekolah kedokteran tidak membiayai kadaver, tetapi membiayai transportasi, pembalseman, dan penyimpanannya. Harga setiap jasad dari 24 jasad yang dipakai di lab anatomi University of Colorado School of Medicine adalah sekitar 27 juta rupiah. (Setiap tahunnya sekitar 180 orang di Colorado menyumbangkan tubuhnya untuk penggunaan potensial di kelas anatomi.)
MICHAEL J. ACKERMAN, saat itu asisten direktur untuk komputer berdaya kerja tinggi dan komunikasi di National Library of Medicine, memiliki suatu momen pencerahan. Pada 1987, ia berbicara di University of Washington tentang pengajaran berbasis komputer di sekolah kedokteran. “Setelah memberi kuliah, kepala departemen anatominya berkata, ‘Kalau Anda mau pakai komputer untuk mengajar, gunakan juga untuk anatomi,’” kenang Ackerman di dalam kantornya saat saya mewawancaranya pada 2005. Pembedahan anatomi itu rumit, begitu ia diberi tahu. Kalau kita melakukan pembedahan dari atas, kita tidak dapat melihat bagaimana struktur anatominya saling berhubungan dari sisi yang berlawanan.
Itulah momen eureka Ackerman. Andai ada sebuah kadaver virtual, yang bisa dibedah terus-menerus dan tak habis-habis, lalu disimpan secara utuh seperti Lazarus dengan sekali tekan tombol keyboard?
Itulah awal mula dari Visible Human Project di National Library of Medicine. Pada 1991, sebuah tim yang dipimpin oleh Vic Spitzer dan David Whitlock di University of Colorado mendapatkan dana kontrak pemerintah senilai sekitar 10,5 miliar rupiah untuk memperoleh citra digital “data yang menunjukkan tubuh manusia laki-laki dan perempuan dewasa normal yang lengkap … dari cryo-sectioning atau pemotongan beku … kadaver.” (Proyek ini, yang dibiayai oleh National Institute of Health [NIH], pada akhirnya menelan biaya sekitar 20 miliar rupiah.) Singkatnya, tim Spitzer diminta untuk memotong kadaver laki-laki dan perempuan dalam ketebalan millimeter dan memotret tiap irisannya, sehingga gambarnya dapat disusun menjadi kumpulan lengkap anatomi manusia dalam bentuk digital.
Spitzer, dengan tubuh setinggi 1,93 meter, berjalan agak membungkuk dan berjinjit di ujung kakinya, sering kali terbungkus sandal kulit, bahkan di puncak musim dingin. Cara bicaranya amat cepat.
Spesialisasinya adalah pembuatan citra anatomis—penggunaan pemindaian MRI dan CT untuk ibaratnya membalik tubuh dari dalam ke luar. Keterampilannya, yang barangkali hanya dimiliki sedikit orang di seluruh dunia, adalah pembuatan citra seluruh badan sebuah kadaver sebagai alat untuk pendidikan medis. Geografi internal manusia merupakan hasratnya. Saat kanak-kanak, ia terpukau dengan alat rontgen fluoroskop untuk mengepas sepatu yang ditemukan di toko-toko pada tahun 1950-an. Ia akan memasukkan kakinya ke kotak kayu besar alat tersebut dan mengamati lewat salurannya ke susunan tulang rumit yang membuat manusia mampu berjalan tegak. Ibunya harus menariknya keluar dari alat itu.
Bertahun-tahun kemudian, setelah belajar kimia fisik di University of Southern Colorado, ia mengambil kuliah pascasarjana teknik nuklir
dan kimia fisik di University of Illinois, tempat ia bertemu istrinya, Ann Scherzinger, yang sekarang juga menjadi seorang profesor di University of Colorado Anschutz Medical Campus. Kemudian, ia menemukan jalannya menuju fisika medis—sebuah bidang yang mencakup ilmu pembuatan citra tubuh. Ini amat klop dengan dirinya.
Butuh waktu dua tahun bagi Spitzer untuk menemukan tubuh pria yang cocok untuk dipotong bagi Visible Human Project. “Kami mencari tubuh yang normal, tingginya kurang dari 1,83, tanpa luka trauma dan tidak pernah dibedah sebelumnya. Tubuh itu haruslah masih segar. Dan apa,” demikian ia beritahu saya, “yang lebih segar dibanding orang yang meninggalnya sudah terjadwal? Untuk itu kami butuh sumber. Yang kebetulan berupa sel penjara calon terhukum mati.”
Kadaver seharusnya anonim, tetapi saat pers tahu bahwa Visible Human yang pertama adalah seorang terpidana hukuman mati di Texas, sangatlah mudah untuk mendapatkan nama Joseph Paul Jernigan.
Terpidana akibat pembunuhan yang berusia 39 tahun itu mengembuskan napas terakhirnya setelah disuntik mati pada pukul 12:31 pagi tanggal 5 Agustus 1993. Spitzer terbang ke Texas untuk mengambil
jasadnya, yang lalu dibekukan, diiris-iris menjadi hampir 2.000 potongan dengan ketebalan milimeter, dan digitalkan. Gambarnya ada di situs National Library of Medicine, tempat semua orang dapat mengajukan permintaan untuk mengakses datanya.
Kadaver wanitanya, berusia 59 tahun dari Maryland dan meninggal karena penyakit jantung, diiris setahun kemudian. Kelompok Spitzer, yang telah membuktikan tekniknya kepada National Library of Medicine, memotongnya menjadi lebih dari 5.000 irisan setebal hanya 0,33 milimeter. Pada saat tulisan ini dibuat, lebih dari 4.000 lisensi bagi data Visible Human telah dikeluarkan untuk berbagai permintaan mulai dari untuk membuat sendi pinggul yang lebih baik sampai menciptakan boneka percobaan tabrakan virtual.
Pada suatu hari di ruang kuliah di kampus, saya menyaksikan Spitzer mendemonstrasikan program pembedahan yang ia buat dengan memakai data tadi. Dengan satu gerakan menggeser mouse, ia membuka otot-otot untuk mengungkap tulangnya, lalu memperlihatkan penampang melintang dari paha atas yang tampak tak ubahnya sekerat daging mentah. Ia pun memisahkan sistem peredaran darahnya, melihat jantungnya dari atas, memperlihatkannya dari sudut pandang yang berbeda, lalu menyatukan kadavernya menjadi utuh kembali.
Meskipun Spitzer meneruskan pengembangan perangkat lunak pendidikan medis dan simulator prosedur bedah di perusahaannya sendiri, Touch of Life Technologies, Visible Human Project yang dibiayai oleh NIH secara resmi berakhir dengan Jernigan dan rekan wanitanya.
Lalu, masuklah Susan Potter dalam kehidupannya.
TERLAHIR SEBAGAI SUSAN CHRISTINA WITSCHEL pada 25 Desember 1927 di Leipzig, Jerman, ia berimigrasi ke New York setelah Perang Dunia II. Pada tahun 1956 ia menikah dengan Harry Potter, seorang akuntan sebuah lapangan golf di Long Island, tempat mereka membesarkan kedua putrinya. Ketika suaminya pensiun, pasangan ini pun pindah ke Denver. Wanita ini bertubuh langsing, dengan wajah serupa burung pemangsa dan mata berwarna biru muda yang menyempit saat ia sedang tidak suka sesuatu. Ia berbicara dengan aksen Jerman tempat ia lahir. Karena cedera dari kecelakaan mobil membuatnya sulit berjalan, ia menggunakan kursi roda listrik—yang ia gerakkan sepenuh tenaga dengan kesan seperti mengalami keadaan darurat yang memaksa orang menepi, secepat kursi itu berjalan dengan baterainya.
Apa Anda tertarik bekerja dengan kami sebelum meninggal? Akhirnya Spitzer bertanya kepada Potter. Apa Anda tertarik memberi kami lebih dari sekadar tubuh Anda— memberi kami kepribadian dan pengetahuan Anda?
Pada waktu ia bertemu Spitzer, Potter, yang waktu itu berusia 73 tahun, telah sering datang ke area rumah sakit University of Colorado selama bertahun-tahun. Sebagai aktivis hak kaum disabilitas, ia pernah meluncurkan kursi rodanya ke rapat dewan yang dipimpin oleh kanselir universitas tersebut tanpa undangan sambil membawa daftar tuntutan. (“Jika ada tangga menuju surga, di situ ada akses untuk kursi roda, berkat Susan,” salah seorang pembicara saat pemakaman Potter menuturkan pengamatannya secara datar.)
Suatu hari pada tahun 2000, Potter menelepon kantor Spitzer dan berbicara dengan Jim Heath, asisten penelitian Spitzer.
“Saya Sue Potter,” ujarnya. “Saya baca tentang Visible Human di koran, dan saya ingin menyumbangkan tubuh saya. “Saya ingin dipotong-potong.” “Dia mengejutkan saya,” kenang Spitzer. “Dia meluncur masuk dan mulai bicara tentang menjadi seorang Visible Human.”
Pada awalnya Spitzer tidak tertarik. Anda tidak cocok, begitu katanya kepada Potter. Visible Human Project adalah tentang pembedahan tubuh normal dan sehat. Tubuh Potter telah rusak karena sakit berpuluh-puluh tahun, termasuk mastektomi (pengangkatan payudara) ganda, melanoma, bedah tulang belakang, diabetes, penggantian pinggul, dan sakit lambung. “Tapi, saya tahu kalau saya bohong,” tutur Spitzer. “Saya tahu kalau suatu hari nanti kami akan perlu mulai mempertimbangkan tubuh yang berpenyakit,” jenis yang rutin dihadapi oleh dokter.
Spitzer membayangkan versi yang lebih maju dari Visible Human Project. Apa Anda tertarik bekerja dengan kami sebelum meninggal? begitu akhirnya ia bertanya. Apa Anda tertarik memberi kami lebih dari sekadar tubuh Anda—memberi kami kepribadian dan pengetahuan Anda?
Spitzer ingin memvideokan Potter saat ia masih hidup dan merekamnya berbicara tentang kehidupannya, kesehatannya, sejarah medisnya. Keadaan medis Anda tidak terlalu menarik untuk proyek ini, begitu ujar Spitzer kepada Potter. Tetapi, kalau saya bisa merekam Anda berbicara kepada mahasiswa kedokteran, waktu mereka mengamati irisan tubuh Anda, Anda bisa memberi tahu mereka tentang tulang belakang Anda —mengapa Anda tidak mau dioperasi, sakit seperti apa yang dirasakan akibat operasi, dan hidup seperti apa yang Anda jalani setelah operasi. Itu akan menarik.
“Mereka akan melihat tubuhnya sementara mendengar ceritanya,” jelas Spitzer, menambahkan bahwa video dan audio Potter akan membuatnya lebih nyata dan memperkenalkan unsur emosi kepada mahasiswa. Alihalih kadaver yang anonim, “visible human” ini akan dapat memberikan narasi medis berikut ingatan akan rasa frustrasi, sakit, dan kecewa.
Gambaran Potter, seperti gambar dari Visible Human, akan ada di internet, tersedia di mana pun, kapan pun.
Susan Potter pun sepakat untuk menjadi jasad abadi.
Pertemuan pertama saya dengan Potter, pada 2004, terjadi di sebuah fasilitas perawatan tempat ia dalam proses pemulihan dari infeksi di kaki akibat jatuh di apartemennya tempat ia tinggal sendiri.
Fotografer Lynn Johnson telah mengikutinya selama beberapa tahun, tetapi Potter dengan kukuh menolak untuk bertemu “si penulis,” demikian ia menyebut saya. Ia pun melunak saat Spitzer menjelaskan bahwa proyek majalah ini memerlukan partisipasi seseorang untuk menulis kisahnya.
SAAT JOHNSON, Spitzer, dan saya berjalan masuk ke ruangannya, Potter tengah duduk di sebuah sofa. Potter hendak memulai interogasinya. “Kau tidak menelepon,” sembur Potter kepada Spitzer sebelum salah seorang dari kami sempat berkata sesuatu. “Kau minta aku menelepon lebih sering daripada aku menelepon ibuku,” jawab Spitzer.
Potter tetap dingin. “Kalau begitu kau harus lebih sering menelepon ibumu.”
Selama satu setengah dasawarsa berurusan dengan Potter, Spitzer bertemu dengannya lebih sering pada permulaan—biasanya sambil makan siang di kafetaria rumah sakit. “Semakin sering Anda merespon dia, semakin banyak yang ia mau,” suatu kali Spitzer memberi tahu saya. “Saya rasa dia ingin saya mengunjunginya setiap hari. Dia jadi kesal dengan saya kalau saya tidak menjawab telepon atau saya keluar kota.” Spitzer terdengar jengkel tetapi anehnya juga lembut.
Potter juga berperilaku seperti itu dengan dokter-dokternya. Ia selalu berganti-ganti dokter.
“Berapa lama kau mau seorang dokter memberi waktunya buatmu?” suatu ketika Spitzer menanyakan Potter, saat ia mengeluhkan seorang dokter bedah. “Bagaimana kalau ada orang lain yang sedang sekarat?”
Dia minta perhatian terus, ya? Begitu kata saya saat Spitzer menceritakannya. “Ya, tentu,” jawabnya. “Kebanyakan dari kita begitu. Kebanyakan dari kita ingin tangan kita digenggam.”
Spitzer mengatakan dengan jelas bahwa Potter bisa membatalkan keputusannya kapan saja.
“Saya tidak pernah melanggar batasan dan ingin dia meninggal,” tutur Spitzer. “Dia tahu yang dia lakukan. Saya menganggap saya ini memenuhi permintaannya. Dalam tahun-tahun yang berjalan dia tidak pernah ragu.”
Kalau ada yang ragu, ia adalah Spitzer. Ia perlu untuk tetap yakin, demikian ia memberi tahu saya, bahwa proyek ini akan memiliki dampak positif bagi pendidikan kesehatan.
BIASANYA, tubuh yang disumbangkan tetap anonim. Dalam laboratorium bedah, daftar donor mengungkap usia dan sebab kematian, tetapi tidak pernah namanya. Kepala dan wajah—bagian yang paling mungkin menggugah reaksi emosi—dibedah terakhir dan tetap terbungkus sampai selesai. Namun, sumbangan Potter diketahui umum. Ia muncul di konferensi Visible Human Project bersama Spitzer dan di depan sejumlah kelompok tak resmi mahasiswa kedokteran. Pernah suatu ketika seorang staf di klinik lansianya menuduh Potter hanya mencari ketenaran. “Kau hanya ingin namamu ada di tembok,” ujar pria itu.
Potter pun berang. “Kalau aku bisa bantu orang-orang muda jadi dokter yang lebih baik, itu tujuanku,” tukasnya.
Potter adalah wanita yang tak ramah, narsistik, kadang kala kejam, tetapi juga murah hati dan perhatian. Ia merajut selimut dan topi untuk bayi-bayi prematur di rumah sakit, menjadi relawan di toko hadiah rumah sakit—sampai ia dikeluarkan karena ceroboh melindas kaki seorang pria dengan kursi rodanya—dan “mengadopsi” sekelompok mahasiswa kedokteran tahun pertama (mereka menyebutnya Tim Susan) yang ia undang untuk makan siang, diberi bingkisan, dan diberi ceramah tentang perlunya belas kasih—sesuatu yang, ia beri tahu dengan jelas, seharusnya bisa diberikan lebih oleh banyak dokternya.
Ketika kunjungan dari “anak-anaknya,” begitu ia sebut para mahasiswa itu, berkurang saat mereka menjadi disibukkan oleh tuntutan kuliah kedokteran, ia mendesak Norma Wagoner, instruktur anatomi yang membentuk kelompok tersebut, untuk membentuk kelompok baru lagi.
“Tentu saja saya mengecewakan dia karena tidak melakukannya lagi,”
tutur Wagoner kepada saya, “tapi dia tidak mengerti betapa sulitnya buat anak-anak itu. Dia tidak tahu kalau orang lain punya kehidupan juga. Dia menghisapmu. Semuanya dramatis buat dia.”
“Apa yang kaupelajari dari Sue?” tanya saya kepada Josina Romero O’connell, salah satu mahasiswa Wagoner yang paling berempati, bertahun-tahun setelah ia lulus dari kuliah kedokteran dan telah praktik menjadi dokter.
Ia diam sejenak. “Kesabaran,” akhirnya terlontar dari mulutnya.
Ada alasan di balik rasa haus akan perhatian yang tak kunjung terpuaskan. Potter menjalani hidup penuh ketelantaran yang meremukkan hatinya. Kedua orang tuanya pergi ke Amerika Serikat tanpa dirinya, meninggalkannya sebagai seorang anak perempuan kecil di Jerman masa Hitler dengan kakek neneknya, di sebuah kota yang dibombardir dahsyat saat Perang Dunia II. Ketika ia berusia empat tahun, kakeknya yang tersayang tiba-tiba meninggal karena serangan jantung berat. Sepuluh tahun kemudian neneknya juga tiada. Ia pun berada di sebuah rumah yatim piatu sebelum lalu tinggal bersama seorang bibi. Ketika akhirnya ia tiba di New York setelah masa perang, tak satu pun dari orang tuanya —saat itu telah bercerai—berada di bandara untuk menemuinya.
Potter telah dapat bertahan dari rentetan kehilangan dan perang di Jerman, namun harga emosionalnya sangat besar. “Saya punya kulit badak,” tuturnya suatu kali.
Beri tahu saya opera kesukaan Anda, begitu saya bertanya di suatu kunjungan awal saya.
“Faust,” jawabnya.
Dan siapa dalam cerita Anda yang berperan menjadi sang iblis?
“Ibu saya,” ujar Potter. “Saya tidak pernah bisa memaafkan wanita itu.” Putri bungsu Potter masih menghubungi ibunya sebelum meninggal, tetapi kedua putrinya itu tidak menghadiri pemakamannya. Berdasarkan yang diceritakan Potter, hubungan mereka rumit dan penuh duri, dan ia menyuruh saya supaya jangan pernah menelepon mereka.
Tawar-menawar yang dilakukan Potter dengan pria yang akan mengirisirisnya menjadi 27.000 bagian tak diragukan lagi menambah arti bagi tahun-tahun terakhir dirinya. Malahan, ini kelihatannya menambah tahun kehidupannya. Sebelumnya saya kira ia akan meninggal dalam setahun karena memiliki banyak masalah kesehatan. Nyatanya, ia hidup selama satu dasawarsa kemudian.
Dapat diperkirakan bahwa ia juga mencoba mengendalikan proyek tersebut setelah meninggal. Ia ingin musik klasik diperdengarkan saat ia “dipotong” dan ruangan itu dipenuhi bunga mawar. Ia ingin boneka beruang teddynya dibekukan juga dan diiris bersama dirinya.
Spitzer menyuruhnya untuk melupakan bagian itu.
KOLABORASI antara si ilmuwan dan si pendonor mencapai titik akhirnya pada hari Jumat, 7 April 2017. Spitzer telah mencoba mendapatkan dana untuk proyeknya, tetapi National Library of Medicine dan sponsorsponsor perusahaan yang potensial tidak tertarik. Ia pun melanjutkannya sendiri, menggunakan dana perusahaannya dan bantuan dari para mahasiswa pascasarjana anatomi. Memotong Sue merupakan janji yang perlu ditepati. Akhirnya, dua tahun setelah kematian Potter, Spitzer dan beberapa mahasiswa berdiri di dalam ruang NG 004, ruang tempat 17 tahun
Potter ingin musik klasik diperdengarkan saat ia ‘dipotong’ dan ruangan itu dipenuhi bunga mawar. Ia ingin boneka beruang teddynya dibekukan juga dan diiris bersama dirinya.
Alih-alih kadaver anonim, ‘visible human’ ini akan mampu menyampaikan narasi medis yang dilengkapi dengan ingatan akan rasa frustrasi, sakit, dan kekecewaan.
KIRI JAUH
Menggunakan perangkat lunak yang dikembangkan oleh kelompok Spitzer, tengkorak Potter dapat diputar dan dilihat dari berbagai sudut. Keseluruhan tengkorak bisa divisualisasi dengan lebih mendetail daripada yang dapat dilakukan pemindaian MRI dan CT saat ini. Di sini diperlihatkan penampang dari tiga arah. Dari atas: melintang (horizontal), sagital (dibagi secara vertikal menjadi bagian kiri dan kanan tubuh), dan koronal (dibagi secara vertikal menjadi bagian depan dan belakang tubuh).
KIRI
Bedah virtual yang berlapis dan dapat dikupas yang dibuat dari 6.900 citra digital yang berbeda dari kepala dan torso Potter ini merupakan mahakarya anatomi— mustahil dicapai dengan kadaver asli. Gambar ini bisa dimanipulasi dalam berbagai cara yang memungkinkan struktur tubuh dilihat hubungannya satu sama lain. Pembuluh arteri diberi warna merah, pembuluh vena berwarna biru, syaraf berwarna kuning, dan struktur kerangka berwarna putih. Otot dan kulit diperlihatkan dalam warna aslinya. Kadaver virtual kini banyak digunakan dalam pendidikan kedokteran sebagai tambahan bagi pembedahan asli, dan untuk beberapa contoh, sebagai ganti benda aslinya. Kadaver manusia terbatas jumlahnya dan mahal persiapannya. Versi komputernya merupakan sumber daya terbarukan yang tiada habisnya.
VIC SPITZER, JOHN MAGBY, DAN RACHEL KLAUS, TOUCH OF LIFE TECHNOLOGIES (SEMUA)
Seturut satu lagi permintaan Potter, seorang mahasiswa pascasarjana memutarkan musik klasik ke sistem pengeras suara. Lagunya Requiem karya Mozart.susan Potter dipotong menjadi 27.000 irisan dalam waktu 60 hari.
sebelumnya Potter telah melakukan tur untuk mengantisipasi momen ini.
Spitzer meletakkan torso Potter, yang berselimutkan alkohol polivinil biru padat, ke meja baja tahan karat di ruang pendingin. Bilah pisau berlapis karbida seukuran piring makan malam pun mulai mengiris jaringan dengan ketebalan setipis rambut, 63 mikron.
Setelah setiap irisan, sebuah kamera digital memotret penampang bongkahan tubuh tadi. Bayangkan sedikit demi sedikit mengikis sebuah balok kayu dan memfoto lapisan pola urat kayu permukaan balok yang tampak setelah setiap kali pemotongannya. Sebagaimana halnya dengan balok kayu, yang tersisa dari tubuh Susan Potter adalah debu.
Spitzer telah menugaskan dua orang mahasiswa untuk melukis sejumlah mawar merah—bukan bunga segar seperti yang Potter minta, tetapi cukup mendekati—di atas pintu menuju ruang pemotongan.
Pada pukul 4:50 sore, bilah pisaunya, terkomputerisasi dan mampu berjalan 24 jam penuh dalam sehari, mulai mengiris torso Potter, dan pada sebuah monitor di ruang yang terhubung di sebelahnya kita dapat melihat hati berwarna cokelat, kelenjar adrenal berwarna emas, serta lemak dan otot bak pualam saat potongan melintang jaringan yang beku diiris dan dipotret. Seturut satu lagi permintaan Potter, seorang mahasiswa pascasarjana memutarkan musik klasik ke sistem pengeras suara. Lagunya Requiem karya Mozart.
Susan Potter dipotong menjadi 27.000 irisan dalam waktu 60 hari. Selanjutnya datanglah proses yang melelahkan dan memakan waktu untuk menegaskan garis struktur—jaringan, organ, pembuluh darah—di setiap irisan digital untuk menonjolkan kerangka, saraf, dan peredaran darah secara sangat mendetail. Ini akan perlu waktu dua atau tiga tahun.
Kini ketika Spitzer melihat Potter di layar dalam bentuk irisan digital, ia berkata bahwa ia melihat rasa sakit Potter: pembuluh arteri yang terpelintir dan tersiksa, sekrup baja yang menstabilkan tulang lehernya yang retak, ginjal yang berbentuk aneh, dan sendi-sendi artritis yang memperlihatkan penurunan keadaan tanpa henti menuju usia tua.
Sedangkan untuk membuatnya dapat berinteraksi dengan orang yang melihatnya itu, menurut Spitzer, merupakan proyek jangka panjang. “Saya berharap dia bisa berbicara dengan kita seperti Siri,” ujarnya. Lama setelah ia tiada, Potter menjadi pekerjaan yang masih terus berlangsung.
Spitzer sering memberikan kuliah tentang Visible Human Project, dan pada kunjungan pertama saya ke Denver pada 2004, saya melihatnya berbicara dengan sekelompok siswa sekolah menengah atas.
Ia menjelaskan proyek tersebut dan penerapannya—bagaimana citra yang ada digunakan di lab anatomi sebagai referensi selagi para mahasiswa membedah kadaver sungguhan, bagaimana simulator berdasarkan data tersebut membuat ahli bedah dapat mempraktikkan keterampilannya. Ia pun memberi tahu para siswa peserta yang terpana tentang Susan Potter dan visinya untuk memperluas cakupan Visible Human Project.
“Pada akhirnya kami ingin sebuah tubuh yang bisa bertindak seolah bereaksi terhadap dunia luar,” tuturnya.
“Kapan Anda akan berhenti?” seorang siswa bertanya.
“Tidak akan pernah,” jawabnya, lalu menambahkan: “Waktu tubuhnya bangkit dan berjalan menjauh, itu artinya kami hampir selesai.”
Cathy Newman merupakan mantan editor at large yang cerita terbarunya, pada edisi Mei 2017, adalah tentang padang rumput dataran tinggi di Skotlandia. Kontributor yang sering mempersembahkan karyanya, Lynn Johnson, memotret kisah yang akan datang tentang spektrum autisme.