JULUKAN UNTUK SANG MENTARI
KEARIFAN MASA SILAM SUDAH DITANGGALKAN, SEMENTARA BEKAL UNTUK MEMA SUKI MA SA MODERN BELUM MUMPUNI.
BUMI MEMILIKI SATU MATAHARI. Warga planet ini pun menikmati sinar dari Matahari yang sama. Apabila kita mencermati bahwa Matahari selalu memiliki posisi lintasan yang sama setiap harinya, mungkin kita termasuk orang yang tidak cermat. Sejatinya Matahari—dan benda-benda langit lainnya—memiliki pergeseranpergeseran yang teratur.
Indonesia merupakan negeri penuh berkah karena berada di kepulauan Khatulistiwa, yang memiliki kebinekaan hayati dan budayanya. Berkah itu muncul, salah satunya, karena sinar matahari yang dapat dinikmati sepanjang tahun.
Beberapa tahun silam tim Arkeoastronomi Borobudur dari Institut Teknologi Bandung mengungkapkan bahwa pada abad kesembilan, para pembangun Candi Borobudur telah menggunakan bayangan Matahari untuk menentukan arah utara dan selatan. Stupa utamanya berfungsi sebagai gnomon atau jam matahari, yang digunakan untuk panduan kalender bertani atau pranatamangsa. Sayangnya, kearifan budaya musim tanam ini nyaris punah.
Pergerakan matahari dan gemintang telah memengaruhi segala aspek kehidupan di Bumi. Di berbagai kebudayaan, salah satu kepekaan manusia terhadap alam adalah perkara menandainya berdasarkan nama.
“Karena saya orang Jawa,” ujar Widya Sawitar, “saya akan lebih menyelisik tentang hal ini dari budaya Jawa, lebih khusus lagi daerah sekitar Solo dan Yogyakarta.” Lelaki itu adalah staf Planetarium dan Observatorium Jakarta yang dikenal juga sebagai Bapak bagi astronom amatir Indonesia.
Berdasar studi pustaka—dari kamus bahasa Jawa Kawi sampai kitab pewayangan—ia menemukan berbagai julukan Matahari. Tampaknya ragam posisi dan intensitas sinarnya telah membuat orang-orang Jawa memiliki setidaknya 90 nama untuk Matahari. Nama-nama itu dipengaruhi bahasa Sansekerta, yang merupakan pengaruh budaya India sebagai bukti kemajemukan Nusantara. Menurutnya, sebagian nama-nama itu terkait dengan pranatamangsa.
Ia mengungkapkan bahwa keragaman penyebutan tentang bendabenda langit ini akan memperkaya khazanah keilmuan. Nama dapat digunakan untuk simbolisasi keseharian, menandai rentang waktu, dan penanda fenomena alam. Temuan ini juga membantu kita mengenal
sejarah budaya terkait kearifan lokal dan cara pandang baru terkait dengan kebudayaan silam.
Apabila matahari memiliki banyak nama, bagaimanakah dengan bulan? Dalam laporan penelitiannya yang dimuat di laman Planetarium Jakarta, Widya menuliskan bahwa jumlah nama bulan sebanding dengan nama matahari. Tidak hanya berlaku di Jawa, tetapi juga di seantero Nusantara. “Kemungkinan bahwa adanya konsep pasangan antara keduanya dianggap menjadi spirit tersendiri.”
Leluhur kita begitu mendalami astronomi sebagai bagian untuk bertahan hidup, tetapi mengapa saat ini perkembangan astronomi Indonesia tampak tertinggal dibanding negara lain? “Kita trennya gamang,” ungkapnya. Kearifan masa silam sudah ditanggalkan, sementara bekal untuk memasuki masa modern belum mumpuni. “Korban zaman ya istilahnya.”
Kebetulan, salah satu nama matahari itu menjadi nama belakangnya. Ia menjelaskan, widya bermakna ilmu pengetahuan dan sawitar bermakna matahari—merujuk cemerlangnya cahaya Matahari selaku pemberi hidup. Lalu, apa makna di balik nama Widya Sawitar? “Ilmu pengetahuan sebagai mataharinya kehidupan,” ungkapnya.