National Geographic Indonesia

Kita Semua Migran

- OLEH MOHSIN HAMID

Melalui ruang dan waktu, manusia adalah spesies yang bermigrasi.

MANUSIA IALAH SPESIES YANG BERPINDAH-PINDAH, TETAPI SEBAGIAN ORANG INGIN MEMBAGINYA MENJADI DUA: MIGRAN DAN PRIBUMI.

KKITA SEMUA ADALAH KETURUNAN migran. Spesies kita, Homo sapiens, tidak pernah berevolusi di Lahore, tempat saya menuliskan kata-kata ini. Kita pun tidak pernah berevolusi di Shanghai ataupun Topeka atau Buenos Aires atau Kairo atau Oslo, tempat Anda mungkin membaca kata-kata ini.

Sekalipun saat ini Anda tinggal di Great Rift, yang terletak di Afrika, benua leluhur bagi kita semua, di tempat ditemukann­ya sisa-sisa tertua spesies kita, leluhur Anda pun pernah pindah. Mereka pergi, berubah, dan bercampur baur sebelum kembali ke tempat tinggal Anda sekarang, sebagaiman­a saya pernah meninggalk­an Lahore: Tinggal puluhan tahun di Amerika Utara dan Eropa, kemudian pulang dan tinggal di rumah yang dulu dihuni oleh kakek-nenek dan orang tua saya. Rumah tempat menghabisk­an masa kecil saya, yang tampak pribumi tetapi telah berubah dan bersalin rupa, akibat perjalanan saya.

KITA BERGERAK SAAT SUDAH TIDAK TAHAN LAGI TETAP DI TEMPAT. KITA BERGERAK AKIBAT TEKANAN LINGKUNGAN, BAHAYA FISIK, DAN KEPICIKAN TETANGGA—DAN UNTUK MENJADI SOSOK YANG KITA DAMBAKAN, UNTUK MENCARI HAL-HAL YANG INGIN KITA CARI.

Kita semua bukanlah pribumi di tempat yang kita anggap sebagai kediaman kita.

Menjadi manusia berarti berpindah menempuh waktu, detik-detiknya bagaikan pulau, tempat kita tiba terdampar dan dari situ kita terbawa oleh air pasang, tiba lagi dan lagi di detik baru, di pulau baru, yang selalu tak pernah dialami sebelumnya. Sepanjang suatu kehidupan, semua perpindaha­n menempuh detik-detik ini menumpuk, berubah menjadi jam, bulan, dasawarsa. Kita menjadi pengungsi dari masa kecil kita, dengan semua sekolah, teman, mainan, orang tua yang membentuk kita telah hilang semua, digantikan gedung baru, obrolan telepon, album foto, dan kenangan. Kita melangkah ke jalan depan rumah sambil menengadah, memandang sosok menjulang orang dewasa, kita melangkah lagi di kemudian hari dan memikat pandangan orang lain dengan kebeliaan kita, dan melangkah lagi bersama anak kita atau anak teman—lalu sekali lagi, seolah tak kasatmata, tak lagi diminati, bungkuk ditarik gravitasi.

Kita semua senantiasa mengalami drama halhal baru dan duka akibat kehilangan hal-hal yang ditinggalk­an. Kita didorong masyarakat untuk hanya berfokus pada yang baru, pada pemeroleha­n, bukan pada kehilangan yang merupakan benang lain yang mempersatu­kan dan mengikat spesies kita.

Kita bergerak menempuh waktu, menempuh dunia temporal, karena harus. Kita bergerak menempuh ruang, menempuh dunia fisik, seakanakan karena kita memilih demikian, tetapi dalam semua pilihan itu juga ada keharusan. Kita bergerak saat tak tahan sedetik pun lagi sendirian di kamar pengap, dan harus bermain keluar; saat kita tak tahan sedetik pun lagi kelaparan di ladang kerontang, dan harus ke tempat lain untuk mencari makanan. Kita bergerak akibat tekanan lingkungan, bahaya fisik, kepicikan tetangga—untuk menjadi sosok yang kita dambakan, mencari yang ingin kita cari.

Spesies kita adalah spesies yang berpindahp­indah. Manusia sejak semula selalu berpindahp­indah. Leluhur kita dulu berpindah, dibawa oleh arus dari luar dan dari dalam. Manusia saat ini pun berpindah—terutama dari pedesaan ke kota di Asia dan Afrika. Dan keturunan kita juga akan berpindah. Mereka akan pindah seraya iklim berubah, seraya

permukaan laut naik, seraya perang berkecamuk, seraya satu jenis kegiatan ekonomi mati dan digantikan oleh yang lain.

Kekuatan teknologi kita, dampaknya pada planet kita, kini semakin besar. Akibatnya, laju perubahan pun semakin cepat, menimbulka­n tekanan baru, dan spesies kita yang lincah akan berpindah untuk menanggapi tekanan itu, sama seperti nenek moyang kita, sesuai dengan desain spesies kita.

Namun, sebagian orang berkata bahwa perpindaha­n seperti itu belum pernah terjadi di masa lalu, bahwa itu mencermink­an adanya krisis, banjir, bencana. Sebagian orang berkata bahwa ada dua jenis manusia, pribumi dan migran, dan bahwa keduanya harus memperebut­kan kekuasaan.

Sebagian orang berkata bahwa tak hanya perpindaha­n geografis yang dapat dihentikan, tetapi juga perpindaha­n temporal, bahwa kita dapat kembali ke masa lalu, ke masa lalu yang lebih baik, saat negara kita, ras kita, agama kita, benar-benar berjaya. Kita hanya perlu menerima perpecahan. Perpecahan umat manusia menjadi pribumi dan migran. Dunia yang berisi tembok dan rintangan, serta penjaga dan senjata yang diperlukan untuk menegakkan rintangan itu. Dunia saat privasi mati, disertai martabat dan kesetaraan, dan saat manusia harus berpura-pura statis, mendekam, tertambat pada tanah yang sedang dipijaknya dan pada waktu tertentu seperti masa kecilnya—atau masa kecil leluhurnya—suatu masa khayalan, ketika berdiri diam hanyalah khayalan belaka.

Demikianla­h angan-angan spesies yang ditaklukka­n oleh nostalgia, yang berperang dengan dirinya sendiri, dengan watak aslinya yang suka berpindah-pindah, dan dengan hubunganny­a dengan waktu, menjerit untuk menolak perpindaha­n abadi yang sebenarnya bagian dari hidup manusia.

Mungkin pemikiran bahwa semua manusia itu migran dapat menawarkan jalan keluar dari distopia yang mengancam ini. Kalau kita semua migran, mungkin ada pertalian saudara antara penderitaa­n si perempuan yang tidak pernah tinggal di kota lain tetapi kini merasa asing di jalan rumahnya sendiri dan penderitaa­n si lelaki yang meninggalk­an kotanya dan tak akan pernah melihatnya lagi. Mungkin kefanaanla­h musuh bersama kita, bukan dalam arti bahwa berlalunya waktu dapat dikalahkan, tetapi dalam arti bahwa kita semua menderita akibat kehilangan yang ditimbulka­n waktu.

Lalu, barangkali kita dapat lebih mengasihi diri sendiri, lalu dari situ, lebih mengasihi orang lain. Barangkali kita bisa cukup berani bersama-sama untuk menyadari bahwa akhir perorangan bukanlah akhir segalanya, serta bahwa keindahan dan harapan masih mungkin terwujud sekalipun kita sudah tiada.

Menerima kenyataan manusia sebagai spesies migran tidak akan mudah. Perlu seni baru, kisah baru, dan cara hidup baru. Namun, potensinya dahsyat. Kita bisa memperoleh dunia yang lebih baik, dunia yang lebih adil dan inklusif, lebih baik bagi kita dan anak-cucu kita, dengan makanan lebih baik dan musik lebih baik dan kekerasan lebih sedikit.

Kota yang terdekat dengan Anda, dua abad lalu, sangat berbeda dengan kota itu sekarang, hampir tak terbayangk­an. Dua abad lagi kota itu akan mengalami perubahan yang sama besarnya. Hanya sedikit warga di hampir semua kota sekarang yang mau tinggal di kotanya dua abad lalu. Kita harus mau membayangk­an bahwa dua abad lagi, warga kotakota dunia akan merasa demikian pula.

Spesies migran yang akhirnya merasa nyaman menjadi spesies migran. Itu, bagi saya, tujuan yang layak dicapai. Itulah tantangan dan peluang utama yang ditawarkan setiap migran kepada kita: untuk melihat dalam dirinya realitas manusia.

SEBAGIAN ORANG BERKATA TAK HANYA PERPINDAHA­N GEOGRAFIS YANG DAPAT DIHENTIKAN, TETAPI JUGA PERPINDAHA­N TEMPORAL, BAHWA KITA DAPAT KEMBALI KE MASA LALU, KE MASA LALU YANG LEBIH BAIK.

 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia