Kemanusiaan dalam Pergerakan
LIMA TAHUN SILAM Saya menghabiskan beberapa hari bersama National Geographic Fellow, Paul Salopek, penulis yang menelusuri kembali perjalanan yang dimulai saat manusia modern pertama meninggalkan Afrika. Salopek menapaki 33.000 kilometer; saya bergabung dengannya sejauh delapan kilometer, dan saya tidak akan pernah melupakannya.
Di Şanlıurfa, kota berdebu di Turki selatan, tempat kelahiran Ibrahim, kami berada di tengah krisis kemanusiaan. Kami melihat pengungsi Suriah—berbondong-bondong di jalanan, di apartemen kecil yang sesak dengan banyak keluarga. Kami melihat orang-orang tidak dapat menemukan pekerjaan apa pun. Kami berbicang dengan orang-orang yang ketakutan dan terluka oleh perang saudara yang brutal di negara mereka; kami mendengar kisah penderitaan, pemerkosaan, penyiksaan, dan kejahatan mengerikan lainnya.
Saat itu, PBB melaporkan, 51 juta orang di seluruh dunia mengungsi secara paksa, dengan alasan perang hingga kesulitan ekonomi. Laporan itu menyatakan, jumlah pengungsi pada 2013 adalah yang tertinggi sejak Perang Dunia Kedua. Laporan terbaru PBB mengatakan 68,5 juta jiwa mengungsi secara paksa pada akhir 2017.
Manusia selalu bergerak, melarikan diri dari bahaya atau mencari sesuatu yang lebih baik. Bulan ini, kami fokus pada migrasi, dulu dan sekarang.
Salopek melakukan perjalanan karena pilihan, tak seperti kebanyakan migran yang ditemuinya. Kisahnya menggambarkan keputusasaan orangorang yang mencoba melarikan diri: “Seberapa kuat dorongan untuk pergi? Untuk meninggalkan apa yang kau cintai? Untuk berjalan ke tempat asing dengan semua harta dijejalkan ke dalam saku? Itu lebih dahsyat daripada rasa takut akan kematian.”
Bank Dunia mengatakan bahwa pada 2050, dampak perubahan iklim akan memicu sekitar 143 juta orang untuk bermigrasi. Saat satu ancaman global menambah ancaman lainnya, kami akan terus menyediakan liputan bermakna dari perjalanan manusia ini.
Terima kasih karena bersedia membaca National Geographic.