Merenungi Ramalan Piet Bleeker
DI NEGERI INI KADANG perkembangan sains disokong oleh orang yang berprofesi bukan ilmuwan. Pada zaman kolonial, perkumpulan sains amatir menentukan perkembangan sains. Pemerintah sedikit membantu mereka.
Johan Maurits Mohr, pemilik observatorium pertama di Batavia pada 1768, adalah pastor lulusan teologi. Berikutnya, Jacob Cornelis Matthieu Radermacher mendirikan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen atau perkumpulan warga Batavia untuk seni dan sains, meski ia pengacara. Perkumpulan itu menjelma sebagai Museum Nasional yang pada tahun ini berusia 241 tahun, tertua di Asia Tenggara. Raden Saleh, pelukis Sang Raja yang juga anggota komunitas itu, menekuni paleoantropologi saat memburu fosil-fosil di Jawa.
Beberapa bulan lalu Kepala Bidang Zoologi Museum Zoologicum Bogoriense, Cahyo Rahmadi, singgah ke redaksi. Ia mengabarkan, lembaganya akan berusia 125 tahun pada Agustus ini.
Lembaga zoologi itu lahir terlambat, 77 tahun setelah Kebun Raya Bogor. Itu pun setelah pemerintah merasa penting untuk menjaga hasil perkebunan dari hama. Ilmuwan dan sains di negeri jajahan terbelenggu kebijakan negeri induk.
Pada 1862, Piet Bleeker, mantan direktur pertama Sekolah Dokter Djawa, pernah menawarkan kurikulum pendidikan sejarah alam dengan penekanan pada pendidikan geologi, botani, dan zoologi sebagai dasar pendidikan birokrat kolonial. Sayangnya, parlemen menolak dan memilih menetapkan kurikulum bahasa dan kebudayaan tradisional.
Bleeker meramalkan datangnya suatu masa di negeri ini ketika setiap disiplin ilmu memiliki perkumpulannya sendiri seperti di Eropa. Dia berharap impiannya terwujud sebagai refleksi kemajuan peradaban. “Namun, masa itu, jika benar-benar datang, kemungkinan keturunan jauh kita,” ungkapnya.
Bagaimana dengan perkembangan hari ini? Saya sesekali bertukar pikiran atau mengikuti kegiatan para peneliti amatir di Jakarta atau kota lainnya. Ada kawan-kawan yang bergiat di komunitas astronom amatir, komunitas botani, dan komunitas pengamat burung.
Mereka berkontribusi pada perkembangan sains dan memiliki semacam dewan penasihat yang terdiri atas ilmuwan di bidangnya. Saya pikir sudah saatnya lembaga sains berkelindan dengan komunitas sains berbasis warga.
“Logo museum kami adalah komodo dengan semboyan in solitudine fors, yang artinya kuat dalam kesendirian,” kata Cahyo. “Namun,” ia buru-buru menambahkan, “zaman sekarang kami tidak bisa sendiri lagi. Kami kuat bersama-sama media dan masyarakat.”