Penjaga Bahtera Satwa Nusantara
SERATUS DUA PULUH LIMA TAHUN SEJAK KEDATANGAN PENDIRI MUSEUM INI DI TANAH JAWA, MUNGKIN IA TAK AKAN PERNAH MENYANGKA SEBERAPA BESAR KOLEKSI YANG DIHIMPUN UNTUK MENGGAMBARKAN KEBERAGAMAN SATWA DI NUSANTARA.
Sejatinya, museum bukanlah sekadar tempat untuk memamerkan satwa awetan. Ada banyak kisah di balik kegigihan para peneliti yang mengumpulkan spesimen di seluruh penjuru negeri, sebelum perlahan lenyap akibat ulah manusia.
JJARAK WAJAH SAYA DENGAN MUKA SATWA ini hanya dua jengkal jauhnya. Tanpa penghalang sedikitpun. Tubuhnya besar. Panjang dari ujung mulut ke bagian ekornya nyaris sepanjang mobil keluarga. Saya perhatikan, di pucuk kedua telinganya terdapat rambut kecokelatan yang mencuatcuat. Kulitnya terlihat keras bagaikan perisai. Perutnya tambun. Saya sungguh tidak berani menyentuhnya sedikitpun. Matanya menatap sendu. Saya kemudian membayangkan seperti apa dengus napas yang ia keluarkan dari lubang hidungnya. Jika saya bertemu dengannya dengan jarak sedekat ini pada situasi yang berbeda, di tengah hutan di habitatnya, misalnya, mungkin saat ini saya sudah pingsan ketakutan...
Namun di pagi yang sejuk ini, di dalam bangunan yang didirikan pada zaman kolonial, saya merasa iba kepadanya. Saya berdiri di salah satu ruangan yang ada di Museum Zoologicum Bogoriense, atau yang biasa disebut sebagai Museum Zoologi di dalam kawasan Kebun Raya Bogor. Satwa yang ada di depan saya ini adalah seekor badak jantan tua yang kehilangan pasangannya pada 1914 oleh pemburu gelap. Badak bercula satu yang kala itu masih hidup ini ditemukan di daerah Karangnunggal, Tasikmalaya, Jawa Barat. Lokasi itu nyaris 500 kilometer jauhnya dari tempat yang kini sohor sebagai satu-satunya habitat di ujung barat Pulau Jawa yang dihuni saudara-saudaranya, Taman Nasional Ujungkulon.
Dua puluh tahun kemudian, tepatnya pada 31 Januari 1934 di daerah Sindangkerta, para petugas Museum Zoologicum Bogoriense berhasil menjatuhkan badak kesepian ini dengan sebutir peluru Mauser kaliber 9,4. Tujuan pengoleksian satwa yang bobotnya mencapai lebih dari dua ton ini adalah untuk kepentingan spesimen museum. “Ini membuktikan bahwa dulu badak bercula satu ada di seluruh wilayah Jawa,” ujar Martua Hasiholan Sinaga, Pengelola Pameran Museum Zoologicum Bogoriense. Tak berapa lama kemudian, M. Ivan Taofiq, teknisi perawatan koleksi yang tuntas membersihkan tubuh sang badak dengan sapuan kuas, kembali menutup pintu kotak kaca atau vitrine, di depan saya.
Beberapa hari setelah perjumpaan dengan sang badak jantan, saya berhati-hati membalik lembaran naskah berona kekuningan dengan keterangan pencetakan November 1914. Buku yang sudah berlubang di beberapa bagian ini berjudul De Javaansche Neushoorn, Rhinoceros sondaicus. Di bagian paling atas buku itu tertulis: ‘S Lands Plantentuin Te Buitenzorg, nama masa lalu bagi Kebun Raya Bogor. Jurnal ini lengkap menggambarkan anatomi sang badak dengan sketsa. Seluruh keterangannya dijabarkan dalam bahasa Belanda. Terdapat pula foto-foto sang Badak saat roboh di lapangan, lengkap dengan penembak dan senjatanya. Di halaman lainnya terdapat sketsa berurutan yang membandingkan Rhinoceros unicornis—badak india, Rhinoceros sondaicus—badak jawa, dan Dicerorhinus sumatrensis—si badak sumatra bercula dua.
Saat itu saya juga menelisik lembaran Treubia— jurnal ilmiah terbitan Museum Zoologicum Bogoriense (MZB), yang tahun 2019 ini genap berusia 100 tahun. Jurnal volume pertama itu menggambarkan kesulitan yang dialami oleh para petugas, dalam memindahkan kerangka seekor paus biru.
Adalah W. Reuters, asisten kurator Museum Zoologicum Bogoriense, yang mencatatkan kisah dan pertelaan satwa ini di dalam jurnal. Ia menggambarkan, pada Desember 1916, paus biru berbobot total 119 ton itu ditemukan mati terdampar di pantai yang terletak di antara daerah Cilauteureun dan Cikelet.
Selanjutnya, pada 6 Januari 1917, Reuters berhasil mencapai lokasi tersebut, dan bersama dua petugas pribumi berhasil menyisihkan kerangka sang paus hingga akhirnya memiliki bobot “hanya” 63,90 ton.
Kerangka yang memiliki panjang 27,28 meter—kurang lebih setara dengan tinggi tujuh lantai gedung bertingkat—itu diangkut dari Pantai Pameungpeuk, Jawa Barat, menuju Garut melalui medan sulit.
“Banyak kesulitan ditemui, yaitu pemindahan melintasi daerah yang berbukit-bukit dengan tidak adanya jalan dan jembatan yang baik,” tulis Reuters. Para petugas pun membutuhkan waktu 44 hari untuk memindahkan satwa ini dari Garut ke Bogor.
Sepanjang tahun itu, MZB menghabiskan waktu untuk mempersiapkan tulang-belulang tersebut, agar dapat dipamerkan. Saking masifnya, bahkan rekonstruksi kerangka baru berhasil dirampungkan pada Februari 1918.
Kini terpajang menggantung di salah satu area museum yang setengah terbuka, koleksi paus inilah—bersama sang badak jantan—yang menjadi kebanggaan Museum Zoologicum Bogoriense dan buah bibir para pengunjung dari masa ke masa.
Sejatinya, museum ini hanya menyimpan secuil dari koleksi harta karun yang dimiliki oleh MZB. Koleksi itu terletak di Gedung Widyasatwaloka, tak sampai sekitar satu jam berkendara dari Kebun Raya Bogor. Di dalam kawasan yang bernama Cibinong Science Center itu, para ahli dari Pusat Penelitian Biologi Bidang Zoologi, melakukan kegiatannya di bawah naungan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
SINAR MENTARI SIANG ITU cukup terik. Sejak pagi, langit memamerkan keindahannya dengan merona biru tanpa awan. Walaupun demikian, tubuh saya kedinginan saat memasuki salah satu ruang koleksi di Widyasatwaloka, ditemani oleh Maharadatunkamsi, ahli mamalia.
Amat berbeda dengan museum yang menggelar koleksi pamer di Kebun Raya Bogor, spesimen yang ada di lokasi ini dikoleksi untuk kepentingan riset. Oleh karena itu, tempat ini hanya dibuka untuk masyarakat umum dalam kegiatan open house yang dilaksanakan satu tahun sekali, bisanya pada Agustus saat MZB merayakan ulang tahunnya. Di sisa waktu lainnya, museum ini terbuka untuk para periset serta siswa yang melakukan kegiatan kunjungan ilmiah, atau praktik kerja lapangan.
Seluruh spesiemen yang jumlahnya jutaan itu dibagi dalam beberapa ruang koleksi: ruang yang menyimpan spesimen kering burung, serangga, mamalia, moluska, dan ruang koleksi spesimen basah. Ruang koleksi yang disebutkan terakhir ini luasnya nyaris dua kali lipat ruang koleksi lainnya, dipenuhi oleh satwa beraneka ukuran yang terendam cairan alkohol dalam wadah tertutup.
Saat memasuki ruang koleksi spesimen kering, buang jauh-jauh bayangan Anda akan tampilan museum dengan beragam awetan satwa pajangan yang bagai dihidupkan kembali. Di dalam ruang bersuhu sekitar 20 derajat Celsius yang dindingnya tahan api dan mampu mempertahankan suhu dingin dalam keadaan darurat, pengunjung akan menjumpai belasan leret lemari besi setinggi sekitar dua meter, yang menyesaki ruangan.
Datun, panggilan pria berwajah ramah ini, menemani saya berkeliling di dalam ruang koleksi. “Sistematika penyusunan spesimen di sini adalah berdasarkan sejarah evolusinya. Rodent dan kelinci-kelincian paling terakhir muncul, karena itulah mereka diletakkan paling belakang dalam urutan,” paparnya.
Suara pegangan pintu besi dibuka, memecah kesunyian. Ia pun menyodorkan kerangka marsupial berkantung, mamalia yang paling primitif. Di dalam lemari, tersusun spesimen berbentuk kerangka dan awetan, dalam urutan suku, marga, dan jenisnya masing-masing dalam urutan alfabetis.
Perjalanan kami pun berlanjut menuju rak-rak di sebelahnya. Di antaranya adalah kelelawar,
dan orangutan—termasuk yang berjenis baru,
Pongo tapanuliensis.
Namun, jantung saya berdegup amat kencang saat berdiri di depan sebuah lemari besi. Di secarik kertas yang diselipkan di bingkai keterangan lemari tersebut, terdapat tulisan terketik rapi: Ordo: Carnivora; Familia: Felidae;
Panthera pardus, Panthera tigris sondaica, Panthera tigris balica...
Jemari Datun meraih pintu lemari. Daun pintu pun perlahan mengayun ke samping, menguak isi lemari masa silam. “Waaaaaaw,” saya terkesima dengan apa yang ada di depan mata. Deretan kulit macan kumbang, singa, dan harimau, tergantung apik bagaikan baju yang baru diambil dari penatu, lengkap dengan labelnya. Kulit harimau yang paling kanan terlihat berona warna kemerahan, sedangkan yang lainnya tampak pucat. Dan napas saya pun tertahan saat Datun menunjuk dua di antaranya, si empunya kulit adalah harimau bali dan harimau jawa. “Yang Bali ini dikatakan punah sekitar tahun 1940-an, sedangkan harimau jawa sekitar 1970-an,” ujarnya.
Perasaan saya bercampur aduk. Antara tak percaya karena telah melihat satwa yang selama ini telah dikatakan punah, sekaligus sedih membayangkan saat si raja hutan masih melenggang di hutan-hutan Jawa dan Bali, yang kini tinggal kenangan.
JACOB CHRISTIAAN KONINGSBERGER, seorang ahli zoologi yang meneliti hama dan penyakit tanaman berkebangsaan Belanda, diutus oleh pemerintah Hindia Belanda untuk datang menjejak tanah Jawa pada Agustus 1894. Kala itu, mungkin ia tak akan menyangka bahwa beberapa koleksi hama yang ia kumpulkan, akan merebak jumlahnya menjadi lebih dari 2,7 juta spesimen dari beragam satwa, 125 tahun kemudian. Angka spesimen ini pun mengukuhkan Museum Zoologicum Bogoriense menjadi museum fauna terbesar di Asia Tenggara.
Salah satu saksi bisu pekerjaan Koningsberger yang pertama kali menjabat sebagai kepala Landbouw-zoologisch Laboratorium, cikal bakal MZB, berdiam di ruang koleksi serangga. Di ruangan ini tersimpan lebih dari 2,5 juta spesimen. Mulai dari kupu-kupu dan kumbang cantik beraneka warna, hingga nyamuk yang besarnya sama dengan huruf yang ada di labelnya.
Awit Suwito, ahli nyamuk yang menjabat sebagai kepala lab serangga, menyodorkan seekor serangga Ectrychotes. Pada koleksi itu terdapat label bertuliskan Borneo Exped. Dr Nieuvenhuis, lengkap dengan tulisan tangan miring nan rapi: Boven Mahakkam. Inilah satwa tertua yang dimiliki oleh Museum Zoologicum Bogoriense saat ini, bertahun 1894, warsa yang sama saat Koningsberger petama kali datang ke sini.
Nieuwenhuis adalah seorang petugas medis, yang ditempatkan di Sambas, Kalimantan Barat pada 1892. Pada 1893 hingga 1894, ia tergabung dalam ekspedisi—salah satunya menyusuri Mahakam—yang juga diikuti oleh kurator dari National Museum for Natural History di Leiden, serta asisten bagian herbarium di ‘S Lands Plantentuin Te Buitenzorg. Nieuwenhuis sendiri, sang dokter, terjun sebagai ahli etnografi dan antropologi fisik, pada masa itu.
Uniknya, serangga koleksi Nieuwenhuis ini adalah satu-satunya serangga tertua yang tertinggal di MZB. M. A. Lieftinck dan A. C. V. van Bemmel, yang pernah menjabat sebagai kepala MZB serta ahli ornitologi MZB, memaparkan koleksi awal ini dalam Science and Scientist in the Netherlands Indies. Koleksi yang telah dikumpulkan oleh Koningsberger sejak tahun 1894, dibawa serta bersamanya ke Eropa pada 1899, untuk diidentifikasi di museummuseum Eropa yang lebih besar, akibat amat sedikitnya pengetahuan yang ia kuasai akan fauna Jawa.
Di bawah kepemimpinan Melchior Treub, yang saat itu menjabat sebagai direktur ‘s Lands Plantentuin, Landbow Zoologisch Museum pun resmi berdiri pada akhir Agustus 1901.
DAN NAPAS SAYA PUN TERTAHAN SAAT DATUN MENUNJUK DUA di antaranya, SI EMPUNYA KULIT ADALAH HARIMAU BALI DAN HARIMAU JAWA
Richo Firmansyah, mahasiswa Universitas Brawijaya menangkap ular saat melakukan kegiatan herping. Nantinya hasil tangkapan akan dijadikan spesimen dan bahan penelitian lapangannya di MZB Cibinong.
Awalnya Koningsberger mendedikasikan dirinya untuk mempelajari satwa parasit pada tanaman perkebunan yaitu kopi, kemudian padi, tembakau, dan berlanjut kepada tanaman lainnya.
Seiring berjalannya waktu, pemerintah Hindia Belanda membuat permintaan agar ia bisa menentukan satwa-satwa mana yang harus dilindungi karena berguna bagi perkebunan. Satwa pertama yang dipertimbangkan oleh Koningsberger adalah burung. Setelah itu, wabah rodentia membuat perhatiannya beralih ke mamalia.
Nyatanya, mengumpulkan seluruh spesimen koleksi yang akhirnya kini tersimpan rapi di rak-rak besi dingin di MZB Cibinong bukanlah semudah membalikkan telapak tangan.
PERGI KE LAPANGAN DENGAN KEADAAAN yang serba kekurangan, apalagi yang dilakukan ke tempat yang amat terpencil, pernah dijalani oleh Boeadi, kini berusia 84 tahun. Pada 1963, ia dan timnya berjalan menembus kelebatan hutan Papua, di kaki Puncak Soekarno yang kini lebih dikenal sebagai Carstensz Pyramid, puncak tertinggi di Indonesia.
Saya bertemu dengan Boeadi pada 2017 silam di tengah jantung Kebun Raya Bogor. Mata Boeadi berbinar-binar saat mengisahkan pengalamannya menjalani ekspedisi ke pegunungan Papua bersama para tentara.
“Sebelum berangkat, kami menerima pesanpesan dan berjabat tangan satu persatu dengan Bung Karno,” ungkapnya. Sang Presiden adalah orang yang memprakarsai ekspedisi yang dinamai Ekspedisi Tjendrawasih saat itu.
Boeadi, mewakili MZB saat itu, adalah satu dari lima peneliti Indonesia yang tergabung dalam tim Mambruk—dinamakan demikian berdasarkan jenis merpati yang hidup di Papua. Tim ini bertugas untuk mengumpulkan bahan-bahan ilmiah sepanjang perjalanan dari Enarotali ke Beoga, yang rutenya melambung ke arah utara mengelilingi kaki Puncak Sukarno.
Tepat pada 25 Desember 1963, perjalanan tim ilmiah dimulai. Berdasarkan buku Madju Terus... Pantang Mundur! Kisah Pendakian Puntjak Sukarno, perjalanan yang minim pengalaman dan persiapan ini mengalami berbagai tantangan sejak awal.
Sulit saya membayangkan, tim yang terdiri dari 21 orang itu harus tidur di bawh flysheet karena mereka kekurangan tenda yang memadai. Mereka adalah 5 peneliti ilmiah dari Indonesia, 2 peneliti Jepang, serta juru kamera Perusahaan Film negara, perawat kesehatan, petugas telekomunikasi radio, serta pengawal bersenjata dari Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Jumlah itu di luar 30 orang yang disebut sebagai pekerja pengangkut. “Waktu itu zaman serba kekurangan,” Boeadi mengingat. Termasuk kekurangan makanan.
Namun, di balik itu, ia mengaku senang tidur berselimut sleeping bag. “Tim memungut sayuran di perjalanan. Saya sendiri suka makan daging tikus, kelelawar, atau burung hasil tangkapan. Kulitnya saya awetkan sebagai spesimen koleksi MZB,” papar peneliti ini.
JANGAN TANYAKAN kepada para peneliti kelelawar, berapa kali mereka terkena gigitan koleksi tangkapannya.
Pada 2017 silam, LIPI menyelenggarakan Eksplorasi Pulau Terdepan Indonesia di Pulau Simeulue. Mulyadi, seorang teknisi bidang herpetologi, tergigit oleh seekor ular
Trimeresurus hageni yang mengincar tangannya saat sedang merapikan koleksi spesimen yang berhasil ia peroleh hari itu.
Awalnya ia tak merasakan sakit yang berarti. “Kalau lengan bawah ditekuk ke atas, tidak apa-apa. Tapi kalau dilepas lagi, sakitnya minta ampun,” kenangnya. Di rumah sakit, ia pun harus menunggu antibisa yang didatangkan dari Thailand, yang diperkirakan akan tiba dalam dua hari. Namun pada hari kedua, antibisa tersebut tak datang jua, membuat dirinya waswas, “jangan-jangan saya “lewat”,” kenangnya.
Menurut Amir Hamidy, ahli ular MZB, sebenarnya ular jenis ini belum menimbulkan kasus mematikan, namun penanganan dari pertama kali seseorang tergigit ular hingga tiba di rumah sakit, akan menentukan seberapa parah penyebaran bisanya. “Standar yang ditetapkan oleh WHO bisa digunakan untuk penanganan gigitan ular,” imbuhnya.
Selain kasus Mulyadi, jangan pula beranggapan bahwa parasit yang memasuki tubuh manusia dan bersarang di hati, hanya merupakan kisah yang terjadi di benua Afrika. Ristiyanti M. Marwoto, kepala laboratorium moluska, bercerita di antara rak-rak berisi segala jenis keong dan kerang. Ruang koleksi yang satu ini menyimpan beragam koleksi dari air tawar dan terestrial, mulai dari keong raksasa hingga kerang kecil berukuran sekitar 2 milimeter.
Sekitar tahun 1988, selama tiga minggu Risti bekerja untuk melakukan pemantauan habitat keong Oncomelania hupensis lindoensis, keong yang ada di dataran tinggi Lindu, Sulawesi Tengah. Keong ini merupakan inang perantara dari cacing pipih bergenus Schistosoma. Cacing pipih ini akan menyebabkan skistosomiasis, salah satu penyakit parasit.
Cacing pipih masuk ke tubuh manusia atau mamalia lainnya melalui permukaan kulit,
dan menyebar ke organ-organ tubuh lainnya melalui aliran pembuluh darah. Di dalam organorgan tubuh mamalia tersebut, cacing akan menetaskan telur-telurnya. Sejatinya, melalui sistem imun yang kuat, telur cacing bisa jadi keluar melalui urine atau feses. Namun, jika tidak, maka penderita akan memiliki potensi penyakit komplikasi, yang bisa membahayakan jiwanya.
Sekembalinya ke Jakarta, walaupun belum mengalami gejala apapun terkait penyakit ini, Risti melakukan cek feses di salah satu fasilitas Departemen Kesehatan, untuk berjaga-jaga. Benar saja, telur cacing ditemukan dalam hasil pengecekan tersebut. “Karena tidak mau ambil risiko, saya minta kapsul untuk penderita skistosomiasis,” ia berkisah.
Kadang kala, dalam perjalanan, keadaan pun tak selalu berjalan mulus bagi para peneliti yang harus melewati daerah terpencil. Datun bercerita, pada 1988 timnya melakukan penelitian di Ruteng, Nusa Tenggara Timur. Saat itu, mobil yang melewati jalan menanjak berpapasan dengan sebuah truk. Mobil mereka pun berhenti untuk memberi jalan bagi truk tersebut. Namun ternyata, terdapat masalah dengan rem mobil. “Saya yang duduk di depan samping pengemudi yakin mobil akan merosot turun,” katanya. Datun pun secara refleks langsung membuka pintu dan melompat ke luar.
Dua rekannya pun segera mengikuti Langkah Datun. Untungnya, sang pengemudi masih mampu mengendalikan mobil hingga membentur batu di kanan jalan. “Kalau ke kiri, tidak tahulah apa yang akan terjadi karena ada jurang dalam,” kenangnya.
Pada 2007, Datun juga harus beristirahat selama tiga bulan sambil menahan sakit yang intens karena saraf tulang punggung yang terjepit pada ruas tulang belakangnya, akibat terjatuh berkali-kali saat penugasan di lapangan.
DI BALIK SEMUA ITU, PENELITI SUNGGUH berkejaran dengan waktu. Di depan rak yang berisi burung-burung besar seperti merak hijau, kasuari, kuau raja, dan pelikan yang juga tergantung bagai pakaian dari penatu, saya berbincang dengan Dewi Malia Prawiladilaga. Ia telah telah meneliti elang jawa selama kurang lebih 15 tahun. Ia mengisahkan betapa hancur hatinya saat melihat bahwa elang-elang jawa yang dulu ia amati di daerah Puncak, Gunung Mas, Jawa Barat, kini telah lenyap habitatnya.
“Dulu, saat kami melakukan monitoring, elang terbang melayanglayang di atas. Ada banyak sekali burung di sana sehingga melihatnya tidak perlu pakai alat,” ingatnya. Namun, hal itu tak pernah terulang kembali. Sejak sekitar 2000-an, burung-burung itu tak pernah di sana lagi, karena habitat yang terdegradasi.
Ia juga ingat saat melakukan penelitian di salah satu kawasan di dekat Dieng, Jawa Tengah. Saat itu hutan masih bagus, pepohonan pinus masih lengkap, dengan lokasi yang memiliki ciri pepohonan hutan primer dan sekunder. “Kami kan ambil data tidak hanya sekali. Saat tahun depan ke sana lagi, pepohonan pinusnya sudah mau ditebang. Kami benar-benar berkejaran dengan waktu,” ujarnya.
Tanyalah seluruh peneliti MZB, satwa apa yang dulu sering mereka temui di lapangan yang kini tak pernah atau sulit mereka lihat lagi? Masing-masing pasti memberikan jawabannya.
Memperoleh koleksi burung dan melakukan pertelaan jenis baru suatu jenis satwa adalah perkerjaan panjang yang memakan waktu dan banyak kolaborasi dengan berbagai pihak di seluruh dunia. Setidaknya itulah yang dirasakan Dewi dalam dunia burung yang ia teliti
Dewi telah menemukan 9 spesies dan 6 subspesies burung baru. Salah satunya ia dedikasikan untuk Ibu Negara Iriana dengan nama Myzomela irianawidodoae, yang ia temukan di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur.
Kerjasama internasional seringnya diperlukan untuk mengidentifikasi jenis baru. “Ini kerja tim,” tegasnya. Apalagi burung adalah satwa
“KAMI KAN AMBIL DATA TIDAK HANYA SEKALI, SAAT TAHUN DEPAN KE SANA LAGI, PEPOHONAN PINUSNYA sudah mau ditebang.” KAMI BENAR BENAR BERKEJARAN DENGAN WAKTU,” ujarnya.
yang memiliki daya tarik tersendiri. “Penelitian burung sudah dilakukan ratusan tahun yang lalu,” ungkapnya. Banyak pula burung migrasi yang pengamatannya bisa dilakukan dari sepenjuru dunia. Dalam penemuan Myzomela irianawidodoae ini pun ia bekerjasama dengan peneliti dari Singapura dan Belgia.
Jika menduga menemukan spesies baru, studi referensi dan penyelisikan spesimen adalah langkah yang amat diperlukan. Jika burung ini belum pernah dilakukan pertelaannya, maka direncanakanlah eksplorasi ke daerah dugaan ini. Namun kemungkinan untuk menemukan burung tersebut juga kecil, ungkap Dewi. Apalagi, eksplorasi memerlukan dana yang tidak sedikit.
Ia juga mengingatkan, jika seorang peneliti sedang menelisik jenis burung tertentu saat ini, perlu diperkirakan pula, di manakah keberadaan burung tersebut tahun depan?
Kesulitan pelacakan ini membuat Dewi menghabiskan waktu tiga hingga empat tahun untuk menangkap satu jenis burung. Penemuan Myzomela irianawidodoae bahkan berangkat dari laporan di Treubia pada 1879 dan melalui perjalanan yang amat panjang, akhirnya hasil penelitian yang dilakukan oleh Dewi dan rekanrekannya ini berhasil diterbitkan pada 2017.
Tak hanya menemukan satwa baru, ada begitu banyak satwa di Indonesia yang memerlukan penelitian lebih lanjut terkait populasi, habitat, juga perilaku hidupnya. Membuat saya menyimpulkan, bahwa pekerjaan para peneliti ini seolah tiada pernah ada habisnya.
HAL YANG PALING MONUMENTAL bagi peneliti taksonomi Indonesia terjadi pada 1997. Pada tahun ini terjadi revitalisasi manajemen koleksi ilmiah fauna dan pengembangan kapasitas, baik dalam bidang sumber daya manusia maupun peralatan. Seluruhnya didanai oleh Global Environment Facility pada 1996-2005-an dan Japan International Coorperation Agency pada1996-2006-an. “Hal ini terlaksana akibat pandangan bahwa koleksi ilmiah MZB dan kekayaan keanekaragaman hayati merupakan nilai yang tak terhingga bagi kepentingan ilmiah dunia,” ungkap Rosichon Ubaidillah, yang pernah menjabat sebagai Kepala Bidang Zoologi pada periode 2011 hingga 2015.
Sejak itu, koleksi riset museum pun berpindah dari lokasi lama di Kebun Raya Bogor, ke gedung baru di Cibinong Science Center. Dan menurut Rosichon, hal inilah yang meningkatkan MZB sebagai museum berstandar internasional, sehingga disegani oleh museum-museum sejenis di dunia. “Di era itu, penamaan spesies baru yang dihasilkan oleh peneliti Indonesia meningkat tajam, diikut staf doktoral yang semakin banyak jumlahnya,” paparnya.
Mungkin hal inilah yang akhirnya menjawab pertanyaan yang dulu sering didengar oleh Soekarja Somadikarta, yang kini berusia 89 tahun. Ia adalah seorang ahli ornitologi terkemuka dari MZB yang dipandang dunia melalui beragam penghargaan yang diterimanya. Ada 7 taksa burung baru yang pernah ia pertelaan, dan dua spesies jenis baru, Dennyus (Collodennyus) somadikartai, dan Zosterops somadikartai, yang didedikasikan para ilmuwan bagi dirinya.
Menurutnya, sejak dahulu banyak pertanyaan yang diajukan ilmuwan mancanegara kepada Indonesia: Mengapa para ilmuwan negeri ini tidak terdengar suaranya di percaturan dunia ilmu pengetahuan, padahal Indonesia begitu kaya menyimpan bahan-bahan untuk diteliti dan dipublikasikan?
PAGI ITU, MUSEUM AMAT RIUH dipenuhi oleh suara anak-anak dari Taman Kanak-kanak Mardi Waluya, Cibinong. Ada yang tidak punya nyali berjalan dekat-dekat di samping kotak pamer berisi harimau—namun ada juga yang dengan sengaja menggebrak-gebrak kacanya. Yang terakhir ini segera mendapat teguran dari sang ibu guru yang mengiringi barisan mereka saat itu.
Tak hanya pembelajaran bagi pengunjung, MZB juga merupakan tempat bagi para mahasiswa yang sedang melakukan praktik kerja lapangan atau PKL. Saya menyaksikan mereka mengerik karapas kura-kura di belakang ruang koleksi basah di Cibinong untuk pengambilan DNA, maupun saat memandu pengunjung untuk mengenal beragam satwa awetan yang ada di dalam museum di Kebun Raya Bogor.
Hari itu merupakan hari pertama perangkat layar interaktif berisi informasi beragam kodok dan katak dipasang di ruang koleksi reptilia dan amfibi. Saat menekan gambar salah satu kodok misalnya, penjelasan mengenai jenisnya akan terpampang, seiring suara satwa yang berkumandang memenuhi ruangan.
Tak jarang pengunjung terperanjat mendengarnya dan berkomentar seperti, “loh saya kira suara jangkrik,” atau “ooooh begini ternyata suaranya.” Museum menjadi lebih hidup dengan fasilitas interaktif semacam ini. Menurut Cahyo Rahmadi, Kepala Bidang Zoologi MZB saat ini, informasi satwa lainnya sedang dikumpulkan dan akan mendapatkan fasilitas interaktifnya sendiri.
Menelusuri seluruh koleksi yang dimiliki oleh MZB menyadarkan kita bahwa, “museum itu bukan sekadar benda mati, tetapi ada banyak informasi dan cerita yang bisa diungkap di dalamnya,” tegas Cahyo. Bisa jadi konsistensi untuk meneruskan dan meningkatkan peringkat MZB sebagai museum koleksi ilmiah penting di Asia Tenggara, menjadi tantangan yang terus dihadapi oleh para peneliti. Mereka juga memiliki tantangan lain, terkait bagaimana informasi mengenai kekayaan koleksi yang semakin bertambah ini juga dapat dinikmati dengan asyik oleh para pengunjung museum pamer di Kebun Raya Bogor.
Yang jelas, orang-orang yang berdedikasi terhadap ilmu pengetahuan ini adalah salah satu garda depan penyelamat jejak keanekaragaman margasatwa Nusantara. Jika mereka tidak ada, bisa jadi dalam beberapa dekade mendatang, koleksi menakjubkan yang saya saksikan di rak-rak dingin di Cibinong, juga tidak pernah terlihat. Tak akan ada anak cucu kita yang bisa menyaksikan harimau bali yang menggantung membisu di antara uar kamper yang membekukannya di dalam waktu.