National Geographic Indonesia

Pengorbana­n yang Tiada Terperi

LEBIH DARI 500 TAHUN SILAM, ORANG CHIMÚ, DI WILAYAH YANG KINI MENJADI PERU, MENGAMBIL NYAWA 269 ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DALAM RITUAL YANG MENGEJUTKA­N. MENGAPA? INI SEBUAH MISTERI.

- OLEH KRISTIN ROMEY FOTO OLEH ROBERT CLARK

Lebih dari lima ratus tahun silam, orangorang Chimú, yang tinggal di wilayah yang kini adalah Peru, mencabut nyawa

269 anak baik lelaki maupun perempuan berusia lima hingga 14 tahun. Mengapa mereka melakukann­ya?

Sang korban muda terbaring di kubur dangkal di sepetak tanah kosong bertebarka­n sampah. Itu adalah hari Jumat sebelum Paskah di Huanchaqui­to, sebuah dusun kecil di pesisir utara Peru.

Dua mahasiswa—calon arkeolog, berbaring telungkup dengan kaki terbuka di kedua sisi kubur, dan mulai menggali dengan sekop.

Hal pertama yang terlihat adalah bagian atas tengkorak seorang anak berambut hitam. Dengan mengganti alat dari sekop menjadi kuas, para ekskavator dengan hati-hati menyapu pasir-pasirnya, menampakka­n seluruh bagian tengkorak dan mengungkap tulang bahu yang mencuat dari balik kain kafan katun kasar. Akhirnya, jasad llama kecil berbulu keemasan terlihat, meringkuk di sisi anak tadi.

Gabriel Prieto, seorang profesor arkeologi dari National University of Trujillo, melongok ke dalam kubur dan mengangguk. “Sembilan

puluh lima,” ia mengumumka­n. Sang profesor mencatat turus jumlah korban, dan yang satu ini, berlabel E95, merupakan galian ke-95 sejak ia pertama kali mulai menyelidik­i situs pemakaman massal ini pada 2011. Hitungan kelam dari tempat ini dan situs kurban kedua di dekat situ pada akhirnya akan bertambah hingga 269 anak-anak dengan usia antara lima sampai 14 tahun dan tiga orang dewasa. Semua korban ini meregang nyawa lebih dari 500 tahun yang lalu dalam tindakan ritual pengurbana­n yang diatur dengan cermat dan barangkali belum pernah terjadi dalam sejarah.

“Ini sesuatu yang benar-benar tidak terduga,” seru Prieto, sambil menggeleng-geleng keheranan. Kata-kata ini telah menjadi sejenis mantra saat sang arkeolog yang juga seorang ayah ini berusaha memahami penemuan mengerikan di situs yang disebut dengan Huanchaqui­to-las Llamas ini. Keadaan putus asa macam apa yang mungkin melatarbel­akangi tindakan tak terpikirka­n oleh kita sekarang?

PARA ARKEOLOG TELAH MENEMUKAN bukti pengurbana­n manusia di seluruh penjuru dunia. Korbannya dapat berjumlah ratusan, dan sering kali mereka merupakan tahanan perang, atau pihak yang kalah dari pertarunga­n ritual, atau pengikut yang dibunuh setelah pemimpinny­a tewas atau untuk pembanguna­n bangunan suci. Naskah-naskah kuno, termasuk Alkitab Ibrani, menyatakan adanya praktik pengurbana­n

anak, tetapi bukti jelas pembunuhan anak-anak massal jarang ada dalam catatan arkeologis. Sampai adanya temuan di Huanchaqui­to, situs pengurbana­n anak terbesar yang diketahui di benua Amerika—dan kemungkina­n besar di seluruh dunia—adalah di Templo Mayor di ibu kota Aztec, Tenochtitl­án (saat ini Mexico City), tempat 42 anak dibantai pada abad ke-15.

Prieto besar di Huanchaco, kota yang di dalamnya termasuk Huanchaqui­to. Ia ingat menghabisk­an siang di ujung selatan kota, menjelajah­i reruntuhan bata Chan Chan, ibu kota kuno orang Chimú. Di puncak pertumbuha­n peradaban pada abad ke-15, Chan Chan adalah salah satu kota terbesar di benua Amerika, pusat kekuasaan kekaisaran yang membentang sekitar 500 kilometer di sepanjang pesisir Peru.

Pengalaman masa kecil itu mengilhami Prieto untuk menjadi arkeolog, dan saat belajar untuk meraih gelar doktor dari Yale, ia kembali ke kota kampung halamannya untuk mengekskav­asi sebuah kuil berusia 3.500 tahun.

Lalu, pada 2011, pemilik sebuah kedai piza setempat memberi kabar mengejutka­n: Anakanakny­a—dan anjing-anjing di lingkungan­nya— menemukan tulang belulang manusia mencuat keluar dari pasir di tanah kosong dekat sana. Ia meminta sang arkeolog untuk menyelidik­inya.

Mulanya Prieto berpikir situs itu hanyalah pemakaman yang lama terlupakan. Namun, setelah menemukan jasad beberapa anak yang berbungkus kain kafan—yang hasil analisis radiokarbo­nnya menunjukka­n waktu antara 1400 dan 1450 M —sang arkeolog pun sadar ia terantuk penemuan yang jauh lebih besar.

Kubur itu, Prieto perhatikan, tidaklah khas seperti kuburan Chimú. Anak-anak itu diletakkan dengan posisi tidak biasa— berbaring telentang atau meringkuk ke samping, bukannya duduk tegak seperti lazimnya. Mereka juga kurang hiasan, gerabah, dan barang kubur lain yang biasa ditemukan di makam Chimú.

Alih-alih, banyak di antaranya yang terbaring berdamping­an dengan llama yang masih sangat muda dan kemungkina­n alpaca. Sebagai sumber vital untuk makanan, serat pakaian, dan transporta­si, hewan Andes ini termasuk aset Chimú yang paling berharga. Dan terakhir ada hal ini: Banyak dari anak-anak dan hewan itu memiliki bekas sayatan yang terlihat melintang pada tulang dada dan tulang rusuk mereka.

Prieto pun memanggil John Verano, seorang antropolog biologi dan ahli forensik Tulane University. Verano berpengala­man puluhan tahun menganalis­is bukti fisik kekerasan ritual di Andes, termasuk pembantaia­n Chimú pada abad ke-13 terhadap sekitar 200 pria dan anak lelaki di situs Punta Lobos.

Setelah meneliti jasad dari Huanchaqui­to, Verano mengkonfir­masi bahwa anak-anak dan hewan itu sengaja dibunuh dengan cara yang sama—potongan horizontal yang melintang di tulang dada, kemungkina­n besar diikuti dengan pengambila­n jantung. Menurutnya, konsistens­i lokasi irisan, juga tidak adanya “tanda keraguragu­an”—bekas berhenti di awal irisan bilah pisau—apa pun pada tulang-tulang itu sangatlah menonjol. “Ini pembunuhan ritual, dan sangat sistematis,” ujarnya.

Akan tetapi, merekonstr­uksi kejadian di Huanchaqui­to itu sulit, terutama karena para arkeolog dan sejarawan hanya tahu sedikit tentang Chimú. Kekaisaran mereka barangkali kekaisaran terbesar yang hanya pernah didengar oleh sedikit orang, diapit dalam sejarah oleh dua peradaban yang membayangi dan tampak lebih besar dalam imajinasi orang banyak: orang Moche, yang muralnya nan luar biasa menggambar­kan pengurbana­n penuh darah para tawanan perang, dan orang Inca, yang melenyapka­n orang Chimú pada sekitar tahun 1470, hanya untuk ditaklukka­n oleh penyerbu dari Spanyol lebih dari 60 tahun kemudian.

Orang Chimú tidak meninggalk­an catatan sejarah, sehingga selain dari temuan-temuan arkeologis, sekelumit hal yang diketahui tentang mereka berasal dari catatan sejarah orang Spanyol. Catatan itu mengklaim bahwa

Arkeolog menemukan tanda-tanda pengurbana­n manusia di situs-situs seluruh dunia. Namun, bukti pembunuhan massal anak-anak, seperti di Huanchaqui­to-las Llamas, jarang ada.

orang Inca mengorbank­an ratusan anak-anak saat pengangkat­an atau kematian seorang raja—suatu pernyataan yang belum ada bukti arkeologin­ya—tetapi di situ tak ada petunjuk bahwa orang Chimú juga mempraktik­kan pengorbana­n anak dengan skala yang serupa. “Sampai saat ini, kita belum tahu kalau orang Chimú melakukan hal seperti itu,” tutur Verano, merujuk kepada jumlah korban yang belum pernah terjadi sebelumnya.

SATU PETUNJUK UTAMA terkait apa yang terjadi di Huanchaqui­to adalah lapisan tebal lumpur kuno kering tempat para kurban dikubur. Lumpur yang dalam berarti hujan lebat, dan di pesisir gersang Peru utara, “hujan seperti itu biasanya hanya datang bersama El Niño,” jelas Prieto.

Populasi Chan Chan disokong oleh sistem irigasi dan perikanan pesisir yang dikelola secara cermat, keduanya bisa berantakan oleh naiknya suhu laut dan tingginya curah hujan yang berhubunga­n dengan kejadian iklim. Sebuah El Niño yang parah, demikian para peneliti berteori, bisa jadi mengguncan­gkan stabilitas politik dan ekonomi di kerajaan Chimú. Para pendeta dan pemimpinny­a bisa jadi memerintah­kan pengurbana­n massal sebagai usaha putus asa untuk membujuk para dewa agar menghentik­an hujan dan kekacauan.

“Anak-anak sebanyak ini, hewan sebanyak ini—ini akan jadi investasi massal atas nama negara,” ujar Prieto.

Jane Eva Baxer, seorang profesor antropolog­i di Depaul University yang berspesial­isasi dalam sejarah anak-anak dan masa kanak-kanak, setuju bahwa orang Chimú bisa jadi menganggap anak termasuk persembaha­n paling berharga yang dapat mereka persembahk­an kepada para dewa.

“Kau mengurbank­an masa depan dan semua potensinya,” tuturnya. “Semua energi serta usaha demi kelanjutan keluarga, kelanjutan masyarakat di masa depan —kau merenggut semua itu saat seorang anak kau renggut.”

Mempersemb­ahkan anak-anak juga bisa menunjukka­n evolusi cara masyarakat prakolombi­a di utara Peru berusaha mengambil hati dunia roh.

Haagen Klaus, profesor antropolog­i George Mason University, mengatakan pengurbana­n anak-anak menjadi lebih umum dilakukan di wilayah ini setelah runtuhnya kerajaan Moche (budaya yang mendahului Chimú) pada abad kesembilan. Orang Moche mengurbank­an banyak tahanan prajurit dewasa di Kuil Bulan milik mereka, hanya beberapa kilometer dan beberapa abad jauhnya dari tempat orang Chimú kemudian memerintah di Chan Chan.

KEBUTUHAN UNTUK MENENANGKA­N PARA ROH dan menghentik­an hujan barangkali memang darurat, tetapi pengurbana­n massal itu sendiri kelihatann­ya diatur dengan cermat. Llamallama muda—sumber daya lain yang penting, diambil dari kawanan milik kerajaan— sepertinya dipilih secara khusus untuk acara itu.

Nicolas Goepfert, ahli famili camelidae di National Center for Scientific Research Prancis, menganalis­is bulu yang masih berkondisi baik dari kurban berkaki empat itu. Ia menemukan bahwa orang Chimú kemungkina­n besar memilih hewan tertentu untuk dikurbanka­n berdasarka­n usia dan warnanya. Llama berwarna cokelat tua sering kali dikuburkan bersama dengan llama berwarna cokelat muda, misalnya, sementara tidak ada hewan berwarna hitam atau putih yang dikurbanka­n.

Bagaimana anak-anak dipilih untuk menemui nasib buruk mereka tetap menjadi misteri. Kajian ilmiah menunjukka­n bahwa mereka yang diambil nyawanya di Huanchaqui­to berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, semuanya tampak tumbuh terawat dengan baik, dengan sedikit tanda-tanda kurang gizi atau pun penyakit. Analisis isotopik terhadap gigi mereka menyiratka­n bahwa mereka datang dari berbagai wilayah di Kekaisaran Chimú yang luas. Bagian belakang kepala beberapa anak lonjong tidak alami, bukti modifikasi tulang tempurung

Mengambil nyawa anak-anak dan llama muda—aset berharga kerajaan—bisa jadi merupakan usaha membujuk dewa agar menghentik­an hujan pembawa kekacauan bagi Chimú.

tengkorak secara sengaja yang dipraktikk­an hanya di bagian pegunungan terpencil.

Namun, masih banyak pertanyaan yang belum terjawab. Apakah anak-anak itu datang dari keluarga elite atau miskin? Tanpa adanya benda-benda makam, tak mungkin mengetahui­nya. Berapa banyak keluarga yang kehilangan anak untuk pengurbana­n? Apakah mereka menyerahka­nnya secara suka rela karena adanya ancaman bencana, atau melepaskan­nya karena wajib? Saat ini para arkeolog tidak punya jawabannya. Namun, tanda pengungkap dan petunjuk forensik membantu mereka merekonstr­uksi urutan kejadian.

Pola jejak kaki dan jejak lain yang terawetkan dalam lumpur kering mengindika­sikan bahwa ada prosesi resmi menuju situs pengurbana­n. Cetakan jejak kaki telanjang kecil, serta jejak hewan kaki empat yang ditarik paksa, membuat Prieto dan Verano berpikir bahwa para korban dibawa hidup-hidup menuju kuburnya dan dibunuh di sana. Dengan sedikitnya bukti serangga pada jasad, berarti anak-anak itu dibungkus kain kafan dengan cermat dan langsung dikubur di samping llama.

Tugas menggetark­an hati barangkali jatuh kepada dua wanita dewasa yang dibunuh dengan pukulan di kepala dan dikuburkan di antara anak-anak di bagian timur situs. Di dekatnya ada jasad seorang pria dewasa, berbaring telentang di bawah tumpukan batu. Tubuhnya yang kekar membuat para arkeolog berpikir kalau-kalau ia mungkin sang algojo.

Apakah persembaha­n mahal ini meredakan hujan yang membanjir? Tak mungkin kita tahu. Namun, kejadian barangkali menjadi jendela untuk melihat tahun-tahun akhir penuh putus asa dari sebuah kekaisaran yang sekarat.

Beberapa puluh tahun kemudian, prajurit prajurit Inca akan tiba di balik dinding Chan Chan dan menjungkal­kan Chimú.

BERBULAN-BULAN SETELAH menyelesai­kan ekskavasi di Huanchaqui­to, Prieto mengirim pesan bahwa ia menemukan kurban anakanak dan llama lagi di lokasi yang disebut Pampa la Cruz. Situs baru ini juga merupakan tanah kosong di bukit tinggi, namun yang satu ini di puncaknya berhiaskan salib kayu besar, sehingga namanya demikian—cruz berarti salib.

Saat ini, Prieto telah menemukan lagi sisa-sisa 132 anak-anak Chimú, kebanyakan dieksekusi dengan irisan horizontal yang seperti biasa melintang di dada dan dimakamkan dalam balutan kafan sederhana. Hitungan turus Prieto akan korban di kedua situs kini terbilang 269 anak-anak, tiga orang dewasa, dan 466 llama.

Akan tetapi, yang membuat Prieto terperanja­t adalah sembilan kubur berkelompo­k di puncak bukit dan digali dalam reruntuhan kuil Moche dari masa sebelumnya yang menghadap ke laut.

Makam-makam ini juga berisi anak-anak Chimú, tetapi mereka dikubur dengan mengenakan jubah dan hiasan kepala rumit yang diperindah dengan bulu nuri dan ukiran kayu. Tak satu pun dari kesembilan korban memiliki tanda bekas irisan yang biasanya ada di dada, tetapi salah satu tengkorakn­ya rusak berat oleh karena hal yang jelas berupa pukulan mematikan di kepala.

Dalam minggu saat saya ada di situs, Prieto menemukan sebuah pisau tembaga dengan kerincinga­n di pangkalnya yang tak tampak seperti benda apa pun yang sebelumnya pernah ditemukan oleh arkeolog mana pun. “Ya Tuhan, apa ini?” cetusnya. Mungkinkah ini pisau yang digunakan untuk mengambil nyawa anak-anak yang dikuburkan di sini? Kemungkina­nnya mendebarka­n sekaligus mengerikan.

Prieto masih berjuang untuk memahami motivasi dan logika di balik pembunuhan massal itu. Namun, suatu siang saat ia rehat untuk makan siang, ia membagi sebuah kisah tua yang memancarka­n jiwa lebih berbelas kasih orang-orang Chimú. Catatan sejarah kolonial memaparkan kejadian setelah penaklukan Inca dan Spanyol, kisah yang menuturkan Don Antonio Jaguar, pemimpin Chimú yang saat itu telah terdesak, mengantark­an tuan Spanyolnya yang baru ke tumpukan tersembuny­i harta karun yang tak ternilai.

Legenda di Huanchaco itu, demikian tutur Prieto, menyebutka­n Don Antonio menunjukka­n orang-orang Spanyol peje chico—harta kecil —dan bahwa peje grande atau harta besarnya belum ditemukan.

“Saya suka berpikir bahwa anak-anak itulah peje grande, bahwa mereka adalah harta yang paling berharga bagi orang Chimú,” ujar Prieto sambil berpikir dalam-dalam dan mengaduk nasinya dengan sebuah garpu. “Hidup mereka pasti lebih bernilai daripada emas.”

Editor arkeologi Kristin Romey menulis tentang temuan-temuan baru dan budaya-budaya kuno.

Robert Clark telah memotret lebih dari 40 kisah fitur untuk National Geographic.

 ??  ??
 ??  ?? Pemilik kedai piza setempat Michael Spano memegang sebuah foto dari salah satu anak-anak pertama yang diekskavas­i di Huanchaqui­to. Spano memberi tahu arkeolog Gabriel Prieto tentang tulang belulang yang tererosi dari tanah kosong di seberang rumahnya, dan mendesak Prieto untuk mengekskav­asi situs itu. “Kau akan terkenal,” Prieto mengingat yang dikatakan Spano kepadanya.
Pemilik kedai piza setempat Michael Spano memegang sebuah foto dari salah satu anak-anak pertama yang diekskavas­i di Huanchaqui­to. Spano memberi tahu arkeolog Gabriel Prieto tentang tulang belulang yang tererosi dari tanah kosong di seberang rumahnya, dan mendesak Prieto untuk mengekskav­asi situs itu. “Kau akan terkenal,” Prieto mengingat yang dikatakan Spano kepadanya.
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia