Pemberontakan Ruh
DI ANTERO BENUA AMERIKA, KARNAVAL DAN PERAYAAN BERTOPENG MENGGUNAKAN HEWAN MISTIS DAN IBLIS NAKAL. SEMUANYA DEMI MENGHORMATI AKAR BUDAYA AFRIKA, INDIAN, DAN EROPA —SEKALIGUS MELEPASKAN SEJUMLAH PUKULAN KEPADA MANTAN PENJAJAH MEREKA.
Karnaval ini diadakan untuk menghormati beragam budaya.
Saat menyambangi Haiti beberapa tahun silam, saya mengunjungi kota pelabuhan Jacmel bagian tenggara. Di sinilah tempat Kanaval—dalam bahasa Haiti Kreol—dirayakan seminggu sebelum Karnaval Nasional di Port-au-prince.
Tak seperti perayaan-perayaan yang berpusatkan pada musik méringues, demikian lagu-lagu Karnaval disebut di negara berbahasa Prancis ini, Jacmel menawarkan pengalaman yang lebih bersahaja. Dari para pemuda yang berlumurkan jelaga ke bunyi rara —irama Vodou yang merupakan unsur utama dari perayaan Karnaval di Haiti—hingga para pemain musik yang memukul genderang atau meniup terompet dari logam daur ulang dan bambu, setiap irama menceritakan kisahnya sendiri selagi membuat kita turut menari. Karya-karya ini merupakan interpretasi menakutkan nan indah dari iblis, hewan mistis raksasa, dan topeng berwajah buruk rupa yang terbuat dari papier-mâché.
Di beberapa daerah di Karibia, Karnaval lebih dari sekadar pesta pora yang mengubah kemeriahan menjadi pemikat wisatawan penuh gemerlap. Karnaval ini menjadi ruang seni dan ekspresi blak-blakan akan identitas budaya dan pemberdayaan oleh keturunan orang Afrika yang diperbudak. Karena dilarang memuja dewa-dewi maupun ikut serta pesta topeng yang diadakan tuan mereka dari Inggris dan Prancis tiap sebelum masa Prapaskah pada abad ke-18, budak-budak menggabungkan tradisi dan cerita rakyat Afrika dengan ritual kolonial.
Perayaan pada masa sekarang seperti Tubuh Kristus, Hari Tiga Raja, atau Hari Arwah memiliki bentuk yang berbeda-beda di segenap tempat sebaran orang Afrika dan bisa jadi dirayakan pada waktu yang berbeda dalam setahun, tetapi perayaannya memiliki unsur yang sama. Karakter
berbalut busana warna-warni dan tanpa aturan memadukan sudut pandang Kristiani, cerita rakyat, dan Indian dalam ritual pemberontakan penuh roh. Dengan identitas yang disamarkan di balik topeng penuh hiasan, orang-orang menceritakan kisah, melepaskan tekanan, dan seperti di Haiti, mengajak perubahan politik dan sosial dengan latar tontonan meriah dan parodi.
“Ini pemberontakan perlawanan budaya,” ujar Henry Navarro Delgado, profesor madya di Ryerson University yang menjelajahi peran busana dalam Karnaval tersebut. “Ini kesempatan untuk berparade sesuai keinginan mereka.”
Ada yang melumuri tubuhnya dengan cat dan lumpur. Ada yang berbusana dengan warna-warni mencolok bak dewa-dewi Afrika seperti Ogun dewa perang dan besi Afrika dengan warna hitam dan merah menyala atau Erzulie Dantor dewi iri hati dan gairah dalam paradigma Vodou Haiti.
Figur utama dalam banyak Karnaval adalah diablo yang bengal, sang iblis. Di Republik Dominika dia menjadi si penipu pincang yang berparade sambil membawa cambuk. Di Trinidad kadang kala ia menjadi iblis biru yang diolok-olok dan dipukuli iblis-iblis lain untuk melambangkan kebrutalan perbudakan. Dan di Panama ia sering kali menjadi tuan para budak yang membawabawa cambuk dan tengah berkelahi dengan budak-budak yang kabur, yakni para cimarron, dalam tarian tradisional Kongo yang merayakan perlawanan budak terhadap tuan Spanyolnya.
Tak ada Karnaval yang lengkap tanpa tarian bertopeng yang menangkap hubungan antara budak dan penjajahnya.
Banyak dari tarian itu membutuhkan latihan, tutur Amy Groleau, kurator Koleksi Amerika Latin dan Karibia di Museum of International Folk Art di Santa Fe, New Mexico, Amerika Serikat. Ia melihat tema yang umum, yaitu mewakili kelas sosial dan etnis dan bahkan hewan yang berbeda-beda. Baik itu karakter hewan dari Kolombia atau tarian Qhapaq Negro yang menggambarkan orang Afroperu sebagai pekerja budak yang tiba bersama para penjajah Spanyol, Karnaval lebih dari sekedar pesta pora. Acara ini merupakan lambang sejarah dan warisan kita yang menyatukan kita sebagai orang kulit hitam, apa pun bahasa dan geografinya.