Kematian Ibu
Di AS, tingkat kematian ibu setelah melahirkan semakin meningkat.
AS adalah salah satu dari hanya dua negara maju yang memiliki angka kematian ibu terkait-kehamilan yang memburuk sejak 1990. Para ibu kulit hitam terutama sangat berisiko. Perawatan dasar yang lebih baik dapat membantu, seperti halnya di negara berkembang.
Ada masa ketika sandal jepit dan celana olahraga tampak cukup sopan untuk dikenakan. Saat sedang piknik di hari Sabtu sore di taman. Atau di pekan raya. Atau saat Anda berdua mempersiapkan kedatangan Bayi Nomor Dua. Kenyamanan sangat penting.
Namun, ada sesuatu yang membuat Kira Johnson, 39, berubah pikiran pada malam tanggal 11 April 2016.
“Sayang, saya ingin terlihat ekstra cantik untuk Langston,” katanya kepada suaminya, Charles Johnson IV, ketika dia duduk di depan cermin kamar tidurnya sambil menyisir rambutnya. Sore keesokan harinya, keduanya akan ke Cedars-sinai Medical Center Los Angeles untuk kelahiran putra kedua mereka.
Keduanya berkomitmen untuk membesarkan “anak-anak lelaki yang akan mewariskan dampak istimewa di dunia serta yang memiliki tujuan hidup dan tanggung jawab jauh melampaui diri mereka sendiri,” Charles menjelaskan.
Bayi Pertama, yang lahir pada 2014 melalui bedah sesar darurat, dinamai Charles Spurgeon Johnson V, seperti nama buyutnya, sosiolog terkenal dan rektor kulit hitam pertama Fisk University di Nashville, Tennessee. Adik lakilakinya akan dinamai seperti nama penyair Harlem Renaissance, Langston Hughes yang legendaris. Kira mengemas perhiasan dan satu stel pakaian agar bisa pulang membawa bayinya dengan penuh gaya. Charles juga tidak mau ketinggalan dan ingin berpakaian dengan penuh gaya pula. “Kita tidak pernah tahu kapan perlu terlihat berpenampilan wajar dan punya uang,” Johnson mengingat kembali, saat ia mengganti kaos dan celana pendek yang biasa dikenakannya untuk bermain basket dengan kemeja, celana panjang, dan sepatu.
Pilihannya untuk berpakaian rapi itu sama cermatnya dengan pertimbangannya memilih Cedars-sinai, yang selalu termasuk salah satu rumah sakit terbaik di Amerika Serikat.
Langston Emile Johnson lahir pada jam 14:33, 12 April 2016. Bedah sesar yang dijadwalkan tampaknya sudah biasa dilakukan, dan Kira dapat menyusui bayinya segera setelah melahirkan. Dia ikut memperkenalkan Langston ke kakaknya yang berumur 18 bulan sebelum kemudian tertidur.
Charles sedang duduk di samping tempat tidur istrinya ketika melihat ada darah di kateter
yang terpasang di tubuh Kira. Dia pertama kali memberi tahu perawat tentang hal itu jam 16:00 lebih, menurut dokumen pengaduan yang diajukan Charles pada 2017 yang menggugat Cedars-sinai. Dalam pengaduan itu juga dicantumkan perincian perawatan yang diterima Kira: Kateter diganti sekitar jam 17:30, diikuti USG dan pemeriksaan darah. USG menunjukkan tanda-tanda perdarahan internal. Diberikan obat pereda sakit dan cairan intravena. Pindai CT diperintahkan pada jam 18:44. USG dan pemeriksaan darah diulang. Dilakukan juga transfusi darah.
Empat jam sudah berlalu, tetapi pindai CT masih belum dilakukan. Transfusi darah dilakukan lagi, menurut dokumen pengaduan. Kira tampak “pucat dan lemah,” kata Charles, sambil menambahkan bahwa tubuh istrinya “menggigil hebat.” Perutnya terasa sakit saat disentuh. Charles mengatakan dia berulang kali bertanya pada staf rumah sakit, apa yang sedang dilakukan untuk mengenali sumber perdarahan istrinya.
“Sebagai ayah dan suami, ada perbedaan halus antara berusaha memohon bantuan untuk istri dan tindakan yang melewati batas, terutama sebagai pria kulit hitam,” kenangnya. Charles mengatakan dia tidak ingin melakukan apa pun yang mungkin bisa merugikan perawatan istrinya.
Terutama, kata Charles, setelah seorang staf rumah sakit menjawab pertanyaannya yang cemas dengan mengatakan, “Pak, istri Bapak bukan termasuk prioritas saat ini.”
Pindai CT tidak pernah dilakukan, menurut dokumen pengaduan. Kira dioperasi sekitar jam 12:30 tengah malam, 10 jam setelah menjalani bedah sesar. Perutnya penuh darah. Kata-kata terakhirnya kepada suaminya, kata Charles, adalah, “Sayang, saya takut.”
Ketakutan istrinya membuat Charles terperangah karena selama ini Kira termasuk sosok pemberani: Kira pernah tinggal di Tiongkok, menguasai lima bahasa, memiliki lisensi pilot, dan senang mengemudikan mobil balap. Namun, Charles meyakinkannya bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Kira meninggal pada jam 2:22 pagi 13 April. “‘Kami melakukan semua yang bisa kami lakukan untuk menyelamatkan istri Anda, tetapi tidak berhasil,’” Charles teringat pada kata-kata dokter yang menyampaikan kabar duka itu. Rasanya seperti dunia runtuh. Rasanya seperti bom meledak dan saya melihat ibu mertua saya tersungkur ke lantai, bibinya menjerit-jerit, kakaknya terhenyak.”
“Kami sudah mempersiapkan segalanya dengan baik. Kami yakin proses kelahiran berjalan lancar. Kami memilih semua yang terbaik. Kami melakukan segalanya dengan benar. Dan mereka hanya berdiri saja di situ mengatakan bahwa mereka tidak berhasil menyelamatkan istri saya?” kata Charles.
Menurut dokumen pengaduan, otopsi menunjukkan bahwa Kira meninggal karena perdarahan internal setelah menjalani bedah sesar. Bias rasial tidak disebut-sebut dalam pengaduan. Pengadilan dijadwalkan berlangsung pada bulan Januari. Pada Oktober, Dewan Medis California menyatakan Arjang Naim, dokter yang bertugas mengawasi perawatan Kira, telah sangat lalai. Naim mengatakan kematian Kira Johnson sangat disayangkan, menambahkan bahwa dia tidak mengharapkan Kira meninggal di meja operasi saat operasi berlangsung. “Saya melakukan upaya maksimal untuk merawat pasien dengan sebaik-baiknya,” katanya. Naim menjalani masa percobaan selama empat tahun.
Juru bicara rumah sakit tidak bersedia memberi komentar terperinci tentang kasus tersebut, tetapi mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa “Kematian Kira Johnson adalah sebuah tragedi.” Kami menyelidiki dengan saksama situasi apabila ada kekhawatiran tentang perawatan medis pasien. Berdasarkan temuan kami, kami membuat perubahan yang diperlukan sehingga dapat terus memberikan perawatan berkualitas tertinggi kepada pasien. Termasuk meninjau prosedur rumah sakit serta kompetensi para penyedia layanan kesehatan.”
KEMATIAN KIRA MEMANG SANGAT MENGEJUTKAN, tetapi menegaskan kenyataan pahit: Pada saat kemajuan di bidang medis dapat menjadi luar biasa—dari pengujian genetik yang dapat memprediksi kemungkinan kondisi untuk perawatan yang belum pernah seefektif sekarang dalam menangani kanker dan penyakit lainnya—tingkat kematian ibu tetap tinggi di Amerika Serikat: sekitar 14 kematian untuk setiap 100.000 kelahiran hidup. Di antara 46 negara maju, Organisasi Kesehatan Dunia mengatakan, hanya Serbia dan Amerika Serikat yang memiliki tingkat kematian ibu
yang memburuk antara 1990 dan 2015. Angka ini mencakup ibu yang meninggal karena komplikasi dalam waktu enam minggu setelah kehamilan berakhir.
Di Amerika Serikat masalahnya ditandai oleh dua statistik yang sangat mengkhawatirkan: Wanita kulit hitam sekitar tiga kali lebih mungkin meninggal terkait-kehamilan dibandingkan dengan wanita kulit putih, dan lebih dari 60 persen kematian ibu dapat dicegah, menurut pihak Disease Control and Prevention atau CDC.
“AS memiliki angka kematian ibu yang lebih tinggi daripada sebagian besar negara maju lainnya; AS mampu melakukan yang terbaik di dunia,” kata William Callaghan, kepala kesehatan ibu dan bayi CDC. CDC mendefinisikan kematian terkait-kehamilan sebagai wanita yang meninggal saat hamil atau dalam satu tahun setelah kehamilannya berakhir. “Ketika kematian ditinjau dan kami memperhatikan faktor yang berperan, banyak sekali kejadian yang menunjukkan bahwa komunikasi tidak dilakukan dengan benar, orang tidak mengenali keadaan mendesak, atau keluhan pasien tidak didengarkan, atau terlambat ditanggapi.”
Angka kematian ibu di AS masih jauh di bawah negara berkembang di Afrika, yakni 20 negara memiliki tingkat kematian ibu sedikitnya 500 kematian untuk setiap 100.000 kelahiran hidup. Namun, bahkan di negara-negara itu pun, yang minim fasilitas medis dan akses ke perawatan dasar, angka kematian ibu telah menurun sejak 1990 dengan rata-rata hampir 40 persen, antara lain berkat solusi teknologi rendah seperti bidan dan perbaikan perawatan prenatal dan pasca-persalinan.
Semua wanita rentan terhadap kondisi kesehatan terkait-kehamilan yang bisa menyebabkan kematian: perdarahan pascapersalinan, atau perdarahan berlebihan; preeklampsia, atau tekanan darah tinggi berbahaya; dan sepsis akibat infeksi. Mengapa angka kematian ibu wanita kulit hitam, tinggi?
Para peneliti mengatakan bahwa stres beracun yang dialami kaum minoritas dari segi ras dan etnis, termasuk wanita kulit hitam, Latino, dan pribumi Amerika—terlepas dari keberhasilan ekonomi atau sosial—dapat menggerogoti kesehatan fisik mereka. Ini dikenal sebagai “pelapukan,” konsep yang dikembangkan profesor kesehatan masyarakat Universitas Michigan, Arline Geronimus, yang berpendapat bahwa kesehatan orang kulit hitam memburuk lebih dini daripada orang kulit putih karena efek kumulatif rasisme dan bias. Hal itu mungkin semakin memperjelas mengapa angka kematian ibu kulit hitam berpendidikan tertinggi pun bahkan lebih tinggi daripada wanita kulit putih berpendidikan terendah.
Valerie Montgomery Rice, presiden dan dekan Morehouse School of Medicine di Atlanta, Georgia, yakin bahwa bias dan rasisme bukan saja semakin memengaruhi kesehatan wanita kulit hitam, tetapi stres akibat rasisme dan kemiskinan pun dapat berpengaruh negatif bahkan sejak bayi berada dalam rahim atau segera setelah lahir.
Dia juga menunjukkan bahwa bias yang tidak disadari yang dialami para penyedia layanan medis dapat memengaruhi perawatan yang diterima ibu kulit hitam. Dalam pelatihan di Grady Memorial Hospital, dia melihat para penyedia layanan kesehatan kadang tidak memberikan anestesi epidural dan lokal kepada wanita kulit hitam. “Ada orang yang percaya bahwa wanita kulit hitam tidak mengalami rasa sakit dengan cara yang sama karena massa ototnya lebih padat, bahwa serat rasa sakitnya tidak begitu banyak. “Wanita itu mampu mendorong bayinya keluar—dia wanita hebat.” “Jika disimpulkan,” kata Montgomery Rice, “para penyedia layanan kesehatan itu tidak melihat wanita kulit hitam secara menyeluruh.”
DI NEGARA BERKEMBANG, kematian ibu jauh lebih lazim dan merupakan fakta kehidupan yang sudah dimaklumi. Infrastruktur perawatan kesehatan sering kali jarang atau tidak ada. Kualitas perawatan sebelum melahirkan dan informasi kehamilan mungkin terbatas.
Lebih dari 14.000 kilometer dari Los Angeles, jalan raya antara ibu kota Somaliland, Hargeisa, dan kota terbesar ketiga, Borama, menembus cakrawala seperti anak panah.
Jika kita menapaki permukaan yang beraspal, yang ada hanyalah jalanan berbatu dan berbahaya, yang pasti membuat lecet sasis semua kendaraan utilitas yang paling kuat sekalipun. Sulit membayangkan wanita
dalam proses persalinan bisa selamat dalam perjalanan, berkendara ataupun berjalan kaki, dari daerah pedesaan terpencil ke fasilitas kesehatan. Somaliland adalah negara yang mendeklarasikan kemerdekaannya sendiri di Tanduk Afrika, meskipun secara luas dipandang oleh dunia internasional sebagai daerah otonom di Somalia.
Penyebab utama kematian ibu di Somaliland adalah eklampsia (kejang akibat tekanan darah tinggi), perdarahan, infeksi, dan rahim robek. Penyebab lain adalah kehamilan dini atau terlalu sering hamil, persalinan tanpa bantuan, dan komplikasi akibat khitan anak perempuan (female genital mutilation/fgm), yakni kebiasaan menyayat bagian luar kelamin anak perempuan dan wanita dewasa agar mereka “murni” dan pantas untuk menikah. Jaringan bekas luka dapat mempersempit jalan lahir, mempersulit persalinan.
Di Somaliland, persetujuan untuk bedah sesar atau prosedur penyelamatan jenis apa pun, termasuk transfusi darah atau pembedahan, harus diperoleh dari kerabat pria yang dari segi keuangan bertanggung jawab atas kesehatan si wanita, seperti suaminya atau pria dari keluarga suaminya.
DI LINGKUNGAN ITULAH Edna Adan Ismail, anak perempuan sulung dari tiga bersaudara, lahir dalam keluarga berada. Ayahnya, Adan Ismail, adalah profesional kesehatan Somaliland paling senior di bekas protektorat Inggris itu, yang mendeklarasikan kemerdekaannya pada 1960. Dari lima persalinan ibunya, satu bayi perempuan meninggal saat dilahirkan di rumah sakit, prosedur yang juga nyaris menewaskan Adan. Seorang bayi lainnya meninggal setelah jatuh dari pelukan bidan, dengan kepala menghantam lantai.
Secara tradisional, pendidikan dianggap tidak berguna untuk anak perempuan, tetapi Ismail mendorong semua anaknya untuk bersekolah. Dia murka ketika sepulang dari perjalanan dinasnya mendapati Adan, yang berusia sekitar delapan tahun, menjalani khitan yang diatur oleh ibu dan neneknya.
Pada 1954, saat ia berusia 17 tahun, Adan meninggalkan Hargeisa untuk mengikuti pelatihan sebagai perawat dan bidan di London, Inggris.
Adan ingin mencegah anak perempuan
dan kaum wanita mengalami trauma yang dialaminya selama dan setelah dikhitan, katanya saat mengingat peristiwa itu.
Sekarang, saat usianya sudah mencapai 81, Adan menceritakan bahwa prestasi terbesarnya bukan ketika ia menjadi anggota kabinet wanita pertama Somaliland. Kepuasan utamanya dirasakan ketika tinggal di Rumah Sakit Universitas Edna Adan di Hargeisa sebagai administrator di situ. Dia bangun setiap hari sebelum fajar dan tidak akan menolak rapat jam 9 malam jika rapat tersebut penting untuk rumah sakit bersalinnya.
Adan berkata bahwa dia meminjam dan menggunakan tabungan serta uang pensiunnya untuk membangun rumah sakit itu.
“Dua penyebab utama meninggalnya wanita hamil adalah kemiskinan dan ketidaktahuan,” kata Adan, dengan sikap anggun dari balik mejanya. “Kombinasi keduanya menewaskan lebih banyak wanita daripada eklampsia atau perdarahan pasca-persalinan. Jadi, jika ada wanita buta huruf, yang miskin—di Somaliland, wanita juga umumnya pengembara—dia juga menjalani kehidupan yang tidak pernah membuatnya merasakan keadilan sosial. Selain itu, kehamilan yang mungkin dialaminya ketika tubuhnya belum sepenuhnya siap untuk hamil. Kami mengantarkan seorang wanita ke sini yang akan melahirkan bayi ke-21.”
Atau dia mungkin seperti ibu sang bidan dan kepala ahli anestesi di Rumah Sakit Universitas
Edna Adan, Hamda Omar Mohammed, yang berusia 27 tahun.
Ibu Omar, Samsam Mohammed, bekerja sebagai koki untuk melayani para buruh bangunan ketika rumah sakit itu dibangun pada 2002, dan Adan sering bercakap-cakap dengannya. Ketika pada suatu hari Samsam tidak berada di tempatnya yang biasa, Adan heran dan ingin tahu mengapa.
Ternyata Samsam ada di rumah, mengalami perdarahan yang hampir merenggut jiwanya. Seorang tetangga yang datang untuk menolongnya, menarik tali pusar ketika berusaha mengeluarkan ari-ari. Tali pusar itu putus, dan Samsam mulai mengalami perdarahan. Suaminya berlari untuk mencari pertolongan. Omar, yang saat itu berusia 11 tahun dan sulung dari empat bersaudara, tetap di rumah untuk mengepel darah dan menjaga ketiga adiknya. Adan mencarikan kendaraan untuk membawa Samsam ke rumah sakit pemerintah, bahkan menyumbangkan darah untuk membantu menyelamatkan Samsam.
Ibu Omar selamat. Bertahun-tahun kemudian, Adan membujuk gadis yang trauma itu untuk menjadi bidan, salah satu dari 938 orang yang sejauh ini telah dibantunya untuk mengikuti pelatihan di Somaliland. “Andaikan saya dapat membantu melatih sejuta bidan di benua Afrika, pengalaman persalinan pasti akan mengalami perubahan. Hal itu akan mengakhiri penderitaan begitu banyak wanita dan keluarga mereka.”
DI BALIK SUARA dari monitor janin, yang mengherankan adalah suara Jontelle Gallman yang terdengar tenang. Wanita pribumi yang tinggal di Washington, D.C. itu masuk ke George Washington University Hospital pada hari Selasa pagi yang mendung di bulan Mei, tiga hari setelah hujan lebat membanjiri rumahnya yang memiliki dua kamar tidur. Jontelle, 39, menggunakan akhir pekan itu, sebelum jadwal persalinannya yang harus diinduksi, untuk mencari tempat hunian baru.
Ibu tiga anak ini mempertahankan pekerjaan tetap sebagai petugas dan manajer perusahaan ritel selama dua dekade sejak SMA, sering bekerja 50 jam seminggu dan menafkahi keluarganya dengan baik hingga 2015. Tidak lama setelah itu, dokter menyatakan dia menderita penyakit ginjal dan hati polikistik, yakni kondisi genetik kronis yang menyebabkan kista tumbuh di kedua organ tersebut.
Jontelle tidak mampu lagi bekerja karena terlalu sakit. Kemudian dia pun mengandalkan Medicaid, sebuah program bantuan Amerika Serikat yang memberikan perlindungan kesehatan bagi warga yang memiliki penghasilan rendah. Kehamilannya yang keempat sudah mencapai tahap akhir ketika dokter mengidentifikasi masalah yang pernah dialaminya: tekanan darah tinggi yang berbahaya. Tanpa mobil dan dengan keuangan yang minim, dia mengandalkan angkutan umum dan bantuan dari teman dan keluarga untuk membuat janji pemeriksaan kesehatan dan merawat anak-anaknya.
“Saya merasa, sekeras apa pun saya bekerja untuk menafkahi keluarga, kehidupan saya tetap morat-marit,” katanya. “Tapi, saya tidak akan pernah menyerah.”
Sambil berdiri di kamar Jontelle di rumah sakit, sering menemaninya selama 12 jam proses persalinan, mau tak mau saya teringat pada ibu saya, Eloise Blocker Jones.
Saya anak kesembilan dari 10 bersaudara dan hanya salah satu dari tiga anak yang lahir di rumah sakit. Kami semua dilahirkan dalam kemiskinan di Cairo, Illinois, sebuah kota kecil tempat bertemunya Sungai Ohio dan Sungai Mississippi yang dikenal karena sejarah rasialnya yang penuh gejolak.
Ketika Mama meninggal pada 2005, tidak pernah terpikir oleh saya bahwa di kemudian hari saya ingin bertanya tentang pengalamannya saat hamil dan bersalin. Yang jelas, Mama telah melakukan yang terbaik untuk mengajarkan kemandirian dan kemampuan mencukupi diri sendiri kepada kelima putrinya. Hamil di luar nikah adalah hal yang tak terbayangkan, tetapi mendengar Mama menceritakannya, sungguh memilukan. Sudah lama saya ingin bertanya kepadanya tentang bagaimana perasaannya ketika saat berusia 19 tahun akan melahirkan abang tertua saya pada 1947, jauh dari keluarga dan teman di Philadelphia. Sekarang saya bertanya-tanya bagaimana Mama bisa bertahan sebagai wanita miskin tanpa nasihat tentang keluarga berencana, tidak pernah mengikuti
pendidikan bagi orang tua, tidak punya asuransi kesehatan.
Ketika manajer kasus Medicaid menyarankan agar Jontelle menghubungi organisasi dukungan persalinan Desa Mamatoto di Washington, D.C., dia mengira mungkin Jontelle bisa mendapatkan saran tentang gizi yang dapat memperbaiki pola makannya dan meningkatkan tenaganya.
Yang didapat Jontelle adalah bantuan dalam bentuk pekerja layanan kesehatan masyarakat perinatal bernama Briana Green.
Mantan pengacara perusahaan berusia 39 tahun dengan rambut sepinggang diikat ekor kuda dan langkah anggun itu memasuki Ruang Persalinan 8 dan langsung memeriksa perut Jontelle, menggosoknya perlahan sambil meraih tangannya.
“Bagaimana keadaanmu?” tanyanya sambil menatap tajam ke arah pasiennya melalui kelopak mata yang kuyu karena kurang tidur. Green sudah biasa menangani sekitar 50 wanita hamil atau pasca-persalinan, melakukan kunjungan rumah, dan memberikan konseling, pendidikan, dan dukungan. Dia menemani mereka ke dokter dan selama proses persalinan.
Green mungkin ditakdirkan untuk menjalani kehidupan seperti ini: Buyutnya, Nancy Gayles Burton, punya 17 anak dan bekerja sebagai bidan lansia yang disegani di Mecklenburg County, Virginia, pada 1920-an dan 1930-an.
Green berkata, dia meninggalkan pekerjaan dalam bidang hukum yang memberinya penghasilan ratusan ribu dolar, kemudian menjadi realtor hingga dilatih sebagai pekerja pembantu perinatal karena punya pengalaman pribadi yang luas dalam persalinan. Katanya dia tidak diizinkan untuk mencoba melahirkan lewat vagina setelah bedah sesar, meskipun telah mengikuti panduan untuk memastikan bahwa secara fisik dia mampu.
“Saya menyadari bahwa jika saya, sebagai wanita kulit hitam berpendidikan yang kondisi keuangannya baik, tidak diperhatikan atau didengar atau dihormati, bagaimana dengan wanita yang tidak memiliki suara, yang mungkin ditepiskan dan diperlakukan tidak layak sejak mereka memasuki fasilitas perawatan kesehatan?”
JESSICA FLOWERS baru berusia tujuh tahun, tetapi dia kuat, kata neneknya, Nicole Black. Black tidak akan pernah lupa betapa tenangnya gadis kecil itu ketika dia menelepon pada jam 1:46 tengah malam pada tanggal 4 Juli 2018.
“Dia berkata, ‘Ibu jatuh di bak mandi, dan mulutnya berbusa,’” kenang Black, yang berusia 53 tahun dan tinggal di Tampa, Florida. Seminggu sebelumnya, putri Black, Crystle Galloway, melahirkan anak ketiganya, bayi seberat 2,8 kilogram yang sehat bernama Jacob Flowers, melalui bedah sesar di Rumah Sakit St. Joseph.
Black bergegas turun dari tempat tidur dan berangkat menuju apartemen Crystle; ibu berusia 30 tahun itu duduk lesu di bak mandi.
Hanya beberapa jam sebelumnya, Crystle sedang duduk di sofa menonton film
dan membicarakan menu perayaan hari kemerdekaan tanggal 4 Juli. Dia memang agak kesakitan pada sayatan bedah sesar-nya, tetapi Crystle sangat bahagia, sangat bangga karena selain punya dua putri, sekarang merasa lengkap dengan kelahiran seorang putra.
Apa yang tepatnya terjadi dalam waktu beberapa menit antara saat petugas pertolongan gawat darurat, yang dikirim untuk menolong korban yang mungkin mengalami stroke, menurut pernyataan resmi Hillsborough County, Florida, tiba di rumah Crystle dan saat Crystle diperiksa di ruang gawat darurat, yang berjarak tiga blok dari apartemennya, menjadi fokus penyelidikan yang dilakukan para pejabat Hillsborough County.
Black mengatakan bahwa alih-alih memeriksa tanda-tanda vital Crystle dan membawanya ke rumah sakit, petugas malah bertanya apakah keluarganya mampu membayar biaya ambulans sekitar 8,5 juta rupiah. Black mengatakan dia memohon kepada petugas medis untuk membawa putrinya dengan ambulans.
Pada konferensi pers, Administrator Hillsborough County, Mike Merrill mengatakan bahwa ada kesalahpahaman dalam hal transportasi dan percakapan tentang biaya antara Black dan wakil sherif yang tiba pertama di tempat kejadian dan bukan dengan petugas medis, begitu menurut pernyataan medis dan wakil sherif. Merrill juga mengatakan, petugas pertolongan gawat darurat mengakui Crystle mengangguk saat mereka bertanya langsung apakah dia ingin dibawa ke rumah sakit. Merrill mengatakan petugas medis seharusnya meminta surat penolakan tindakan medis agar mereka tidak membawanya dalam ambulans, dan hal itu tidak dilakukan. Black akhirnya mengemudikan mobil sendiri untuk mengantar putrinya ke ruang gawat darurat. Crystle kemudian dibawa dengan helikopter ke Rumah Sakit Umum Tampa, dan di rumah sakit itu dia mengalami koma. Dia meninggal lima hari kemudian.
Hillsborough County mengumumkan pada bulan September bahwa mereka telah menjatuhkan sanksi kepada empat petugas medis karena melanggar prosedur operasi standar dengan tidak memeriksa tanda-tanda vital Crystle, karena memalsukan dokumen, dan karena tidak meminta Black menandatangani surat penolakan tindakan medis dengan menolak ambulans untuk mengantar putrinya.
Seorang petugas medis diberhentikan; dua orang diturunkan pangkatnya. Tiga petugas medis yang masih diizinkan bekerja telah diskors tanpa gaji selama 30 hari.
DUKUNGAN PERAWATAN KESEHATAN YANG LEBIH BAIK DAN BERKELANJUTAN selama kehamilan dan setelah melahirkan tampaknya merupakan solusi logis untuk ikut menurunkan angka kematian ibu di AS, tetapi tidak sesederhana itu. Biaya doula (pendamping persalinan) dan bidan dapat lebih dari Rp20 juta, dan banyak ibu berpenghasilan rendah tidak mampu membayar sebesar itu. Prosedur seperti mengukur volume darah yang hilang atau pemberian obat tekanan darah tinggi untuk mencegah reeklampsia merupakan bagian dari serangkaian praktik yang kadang diabaikan atau ditunda oleh rumah sakit.
Dan seperti kata Charles Johnson, sekadar mendengarkan ibu dan keluarga juga penting.
Setiap hari Charles meluangkan waktu untuk membaca, menari, atau bermain dengan kedua putranya di ruangan yang terang yang dihiasi foto-foto Kira seukuran poster, foto bersama keluarga dan teman, senyum Kira berseri lebih cerah daripada sinar matahari. Kedua anak itu sering bertanya apakah Ibu akan menyukai lagu ini atau apakah Ibu akan suka menemani mereka bermain mobil balap.
Sekarang, sambil membesarkan sendiri kedua putranya, Charles menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menceritakan kisah Kira kepada para pejabat kesehatan, kelompok advokasi, dan bahkan Kongres AS.
“Yang paling saya inginkan, orang mengerti bahwa para wanita yang meninggalkan kita ini bukan sekadar angka statistik,” katanya.
“Mereka itu ibu, anak perempuan, saudara perempuan, teman,” katanya. “Dan mereka meninggalkan anak-anak yang berharga ini, dan tidak ada angka statistik yang dapat mengukur bagaimana rasanya mengatakan kepada anak berusia 18 bulan bahwa ibunya tidak akan pernah pulang lagi. Atau untuk memberi tahu seorang anak berusia dua tahun, yang tidak akan pernah mengenal ibunya, betapa luar biasa ibunya itu.”