Arsip-arsip yang Berbisik
KITA KERAP ABAI TENTANG ARSIP. Bahkan, arsip yang berkait dengan diri kita sendiri. Bukti pembayaran jalan tol, kutansi sewa mobil, atau boarding pass pesawat tercecer entah ke mana sehingga pernah tidak masuk pelaporan tim ekspedisi kami.
Arsip memang bisa mengubah keyakinan yang didasarkan pada interpretasi belaka. Sepuluh tahun silam, saya berkesempatan mengunjungi Fort Ontmoeting di Ungaran, Jawa Tengah. Ketika saya datang, benteng itu belum tersentuh rencana revitalisasi. Seorang pegiat komunitas sejarah dan budaya setempat menemani saya berkeliling di ruang dalam benteng itu. Dia menunjukkan sebuah ruangan kecil nan memanjang di bastion barat daya, yang bertahun-tahun diyakini warga sebagai kamar tahanan Pangeran Dipanagara.
Sang Pangeran itu memang bermalam di benteng itu, namun di mana persisnya? Saya mencari denah benteng VOC yang masih lestari itu di Arsip Nasional Republik Indonesia. Dari arsip pemugaran benteng itu pada 1825, saya bisa mengetahui fungsi setiap ruangannya.
Lalu, saya kembali ke Fort Ontmoeting menjumpai pegiat budaya tadi. Apa yang kita yakini sebagai penjara Dipanagara itu ternyata tak lebih dari latrine atau kakus. Mungkin Sang Pangeran bermalam di kediaman komandan benteng yang berada di lantai dua.
Sejatinya pengelolaan arsip di Indonesia belum tertata sempurna. Kendati di era digital, belum semua arsip atau koleksi didigitalisasi. Kita kadang merasa berdosa saat terpaksa harus membuka surat kabar lawas atau peta-peta kuno dengan tangan telanjang. Belum lagi, remah-remah kertas surat kabar lawas bak keripik yang tercecer di meja baca.
Penelusuran sejarah suatu tempat atau kota melalui arsip memang mendebarkan. Saya berterima kasih kepada Ady Erlianto Setyawan, pegiat sejarah di Surabaya, yang berbagi temuan tentang Benteng Kedungcowek pada edisi ini. Perjalanan bermula pada akhir 2013, ketika ia mencari arsip benteng pesisir itu ke Nationaal Archief di Den Haag. “Belasan lembar cetak biru yang ditandatangani antara tahun 1899 hingga 1900 berukuran kertas A0 dihamparkan,” ungkap Ady. “Itu adalah lembar demi lembar kertas dengan gambar teknik yang begitu artistik.”
Saya berbesar hati, untuk pertama kalinya denah rencana pembangunan benteng itu dipublikasikan media cetak di Indonesia. Benteng itu tidak pernah meminta, namun sudah sepantasnya kita berupaya menyelamatkan dan melindunginya. Setidaknya, ia pernah berjasa melindungi pusaka jiwa Kota Surabaya.