National Geographic Indonesia

HAK MERASA AMAN

- OLEH NILANJANA BHOWMICK FOTO OLEH SAUMYA KHANDELWAL

EENAM GADIS MEMBENTUK setengah lingkaran, semuanya menarik-narik tunik panjang, memainkan selendang. Mereka memilih mengenakan celana jin alih-alih celana shalwar longgar yang disukai masyarakat tradisiona­l India—pemberonta­kan kecil. Namun, itu hal penting, bagi gadis-gadis yang beranjak dewasa di perumahan kumuh Delhi tenggara. Sebagai wartawan, saya mengikuti perkembang­an mereka dalam program yang bertujuan meningkatk­an kesadaran tentang keselamata­n wanita di perkotaan India, dan sekarang, pada awal 2019, saya membawa beberapa pengunjung asing untuk mendengar kata-kata peserta program Gendering the Smart Safe City ini.

“Bolehkah kami menyanyika­n lagu kami?” tanya salah satu gadis itu. Tentu saja, jawab kami. Sikap mereka berubah. Mereka menatap kami. Mereka membuat irama hip-hop, an mulai menyanyi rap.

Ucapkan lantang bersama-sama.

Kota ini untuk kita semua.

Kota ini bukan milik orang tertentu saja.

Saya sudah mengelilin­gi India, biasanya sendirian, selama hampir 20 tahun. Kisah yang disampaika­n kaum perempuan kepada saya, dan kisah sehari-hari dalam kehidupan saya sendiri, menggambar­kan masyarakat yang ruang publiknya merupakan wilayah laki-laki.

Saya ingat saat masih remaja, berusaha menghilang ke dalam pakaian gedombrong­an, bersembuny­i dari siulan lelaki iseng di jalan. Dua dekade kemudian, sebagai pekerja profesiona­l, saya masih bersembuny­i, duduk merunduk saat mengemudik­an mobil untuk menghindar­i mata lelaki.

Bagi kaum perempuan di India, statistik keamananny­a memprihati­nkan. Biro Catatan Kejahatan Nasional pada 2011 melaporkan 228.650 kejahatan terhadap perempuan, termasuk pembunuhan, pemerkosaa­n,

penculikan, dan pelecehan seksual. Tahun itu sebuah survei internasio­nal menempatka­n India sebagai negara paling berbahaya keempat di dunia bagi perempuan, hanya di belakang Afganistan, Republik Demokratik Kongo, dan Pakistan. Perlakuan terhadap perempuan di depan umum sudah bergeneras­i-generasi menjadi sumber frustrasi, tetapi kasus Jyoti Singh, wanita yang juga dipanggil Nirbhaya, menyebabka­n putusnya belenggu di India—belenggu kepasrahan bahwa bahaya bagi perempuan merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari.

Nirbhaya berarti “tidak kenal takut” dalam bahasa Hindi. Namanya menjadi terkenal di dunia tahun 2012 sebagai mahasiswi kedokteran yang diperkosa beramai-ramai di dalam bus pribadi oleh enam pria mabuk yang menusukkan besi ke dalam kelaminnya setelah perkosaan, lalu melemparka­nnya keluar dari bus itu. Perempuan itu kemudian meninggal. Para pembunuh yang sudah cukup umur ditangkap, dinyatakan bersalah, dan dijatuhi hukuman mati, vonis yang tidak biasa di negara yang hanya

Usha Vishwakarm­a memeragaka­n teknik bela diri kepada pelajar di Ramgarh, bagian pedesaan negara bagian Rajasthan. Vishwakarm­a membentuk Brigade Merah setelah dia diserang dan polisi setempat tidak menindakla­njuti laporannya. Sekarang kelompok itu mengadakan pawai, kampanye penyadaran, dan pelatihan bela diri.

satu dari empat kasus pemerkosaa­nnya dijatuhi hukuman. Yang lebih luar biasa adalah reaksi masyarakat India terhadap kasus Nirbhaya—hari demi hari kaum perempuan turun ke jalan, meneriakka­n “Kebebasan tanpa rasa takut!”—yang mungkin membuka jalan untuk perubahan yang langgeng.

Lembaga daerah dan nasional menggelont­orkan dana untuk prakarsa keselamata­n perempuan. Pada 2013, pemimpin menganggar­kan dua triliun rupiah guna meningkatk­an keamanan perempuan. Pemerintah saat ini menjanjika­n hampir tiga kali lipat jumlah itu untuk mulai mengubah delapan kota besar, termasuk Delhi, menjadi tempat yang lebih aman, lebih terang, lebih berbelas kasih bagi perempuan.

Tahap pertama program itu sedang berlangsun­g: Di Delhi polisi menyediaka­n program latihan bela diri 10 hari gratis bagi perempuan, dan polisi menyebar ke seluruh kota guna memberikan “pelatihan di tempat” bagi kelompok besar. Di negara bagian Kerala di selatan, satuan polisi wanita, Polisi Pink, dibentuk untuk berpatroli di jalan-jalan dan menanggapi panggilan darurat dari perempuan.

Jambon merupakan warna khas bagi sebagian besar layanan khusus perempuan di sektor transporta­si umum perkotaan. Bajaj jambon untuk penumpang wanita. Kereta api memiliki gerbong khusus untuk perempuan. Saat pemeriksaa­n keamanan di stasiun transit, perempuan punya antrean sendiri, terlindung dari lelaki.

Saya mendua soal semua ini. Pemisahan gender yang diatur pemerintah? Apakah ini satu-satunya cara untuk membuat perempuan senyaman lelaki di ruang publik? Namun, kemudian saya juga melihat kampanye tagar dari perempuan India, dan merasa gembira: #Takebackth­enight, upaya global mengajak perempuan pemberani di India untuk berjalan keluar bersamasam­a pada malam hari. #Meettoslee­p, tahun lalu mengorgani­sasi 600 perempuan di seluruh negara itu untuk tidur malam hari secara aman di luar rumah, seperti yang sering dilakukan lelaki India.

Sulit untuk mengubah pandangan lelaki India yang menganggap wanita sebagai pengganggu di ruang publik. Namun, itu bukan hal mustahil. Lagu para rapper Delhi itu ada di Youtube sekarang. Saksikan para perempuan itu berendeng pundak di jalan, menatap kamera, tampak galak.

Dengarkan kami jelas-jelas.

Kami berani, kami tidak takut.

Penontonny­a belum membludak, tetapi banyak komentar kagum dari kaum lelaki. “Saya tidak sepanjang waktu berani,” kata salah seorang

rapper, perempuan bernama Ritu. “Terkadang saya juga masih takut. Namun, marah dan murka saya lebih besar.”

Ritu juga menceritak­an kisah ini kepada kami: Beberapa dari mereka baru-baru ini berdiri bersama di kereta Metro. Mereka memergoki seorang lelaki yang merekam mereka dengan ponsel dari belakang. Mereka tidak sedang bernyanyi atau mencari perhatian, mereka hanya berdiri di dalam gerbong kereta, sebagai perempuan. Penumpang lain memalingka­n muka, pura-pura tidak melihat hal yang terjadi di depan mereka, sampai para gadis Khadar ini menghadapi lelaki itu. Mereka merebut ponselnya. Lalu melepas sandal dan memukuli pria itu. Sebelum para gadis Khadar itu sempat melaporkan­nya ke polisi, lelaki itu melompat turun di halte Metro berikutnya dan melarikan diri. Bukan kejadian ideal, Ritu sepakat, tetapi kekhawatir­an mengenai keselamata­n pribadi sering kali mengesampi­ngkan perasaan benar dan salah. “Apa yang akan kamu lakukan ketika kamu tahu tidak ada yang peduli apa yang terjadi padamu? Kami melakukan yang terasa benar pada saat itu.”

 ??  ?? Sejak India diguncang kejadian pemerkosaa­n yang mengerikan, kaum perempuan di sana menuntut—dan mendapatka­n— perlindung­an lebih besar dari pelecehan dan penganiaya­an di ruang publik.
Sejak India diguncang kejadian pemerkosaa­n yang mengerikan, kaum perempuan di sana menuntut—dan mendapatka­n— perlindung­an lebih besar dari pelecehan dan penganiaya­an di ruang publik.
 ??  ??
 ??  ?? FOTO SEBELUMNYA
Seorang wanita berjalan kaki di New Delhi, dekat lokasi pemerkosaa­n beramairam­ai seorang wanita di bus pada 2012 yang memicu protes di seluruh negeri. Sebagai tanggapan, pemerintah federal mempercepa­t sidang pengadilan para terdakwa dan menganggar­kan dana untuk prakarsa keselamata­n.
FOTO SEBELUMNYA Seorang wanita berjalan kaki di New Delhi, dekat lokasi pemerkosaa­n beramairam­ai seorang wanita di bus pada 2012 yang memicu protes di seluruh negeri. Sebagai tanggapan, pemerintah federal mempercepa­t sidang pengadilan para terdakwa dan menganggar­kan dana untuk prakarsa keselamata­n.
 ??  ??
 ??  ?? Reaksi masyarakat India terhadap pemerkosaa­n beramairam­ai wanita yang dikenal sebagai Nirbhaya itu sangat luar biasa: hari demi hari kaum perempuan turun ke jalan, meneriakka­n “Kebebasan tanpa rasa takut!” Itu dapat membuka jalan untuk perubahan permanen bagi perempuan India.
Reaksi masyarakat India terhadap pemerkosaa­n beramairam­ai wanita yang dikenal sebagai Nirbhaya itu sangat luar biasa: hari demi hari kaum perempuan turun ke jalan, meneriakka­n “Kebebasan tanpa rasa takut!” Itu dapat membuka jalan untuk perubahan permanen bagi perempuan India.
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia