Perburuan Sains Danau Matano
SAYA MEMBUKA-BUKA ARSIP majalah ini. Tantyo Bangun, Editor in Chief pertama National Geographic Indonesia, pernah menyelisik Danau Matano. Dia ditemani fotografer Peter E. Hehanusa almarhum—profesor berlatar geologi yang meminati ilmu hidrogeologi di LIPI. Laporan mereka bertajuk "Kisah Lima Danau" terbit pada Desember 2008.
Saat itu Tantyo menulis bahwa lima danau Malili telah terkepung kegiatan pembalakan yang "semakin mengganas, tanpa memedulikan masa depan." Sementara ikan endemik berwajah purba: butini (Glosogobius matanensis) dan opudi (Thelmaterina) kian melangka.
Pada edisi ini Editor Titania Febrianti mengisahkan rasa penasarannya ketika merenangi danau ini lebih dari satu dekade silam. Penelitian lintas disipilin ilmu pada tahun lalu menyingkap sebagian misteri geologi dan peradaban silamnya.
Dari aspek geologi, inilah danau tektonik purba yang terdalam di Asia Tenggara—hampir 600 meter. Danau ini juga berjalur gempa aktif: Sesar Matano.
Penemuan tim arkeolog di sederet kampung yang terbenam di dasar danau telah menjadikan Matano sebagai salah satu peradaban besi tertua di Asia Tenggara.
I Made Geria, Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, mengatakan kepada kami tentang situs ini. “Pertama, kejadian bencana gempa
Matano pada abad-abad silam akibat patahan lempengan sesar,” ujar Geria, “menjadi suluh pelajaran yang berharga dalam memanfaatkan alam. Kita harus mampu menyapa alam, memahami, dan mempertimbangkan keberlanjutannya.”
Dia melanjutkan. “Kedua, Matano sebagai kawasan industri atau situs pembuatan logam pada abadabad silam yang masyhur sampai memenuhi kebutuhan peralatan logam di Nusantara.”
Saya pikir penelitian untuk menaksir umur sesar Matano diperlukan demi menyingkap kapan bencana besar yang membenamkan seisi kampung itu terjadi. Apakah peradaban besinya telah punah atau berkembang di kawasan lain?
Hari ini Matano menjadi salah satu tengara terpenting bagi pusparagam hayati, geologi, dan arkeologi di kawasan Wallacea.