Batik Vorstenlanden di Empat Istana
Jelajahi riwayat batik di empat istana pewaris takhta Mataram demi menemukan kembali jiwa dan keagungan dua kota. Selamat datang di Tanah Raja-raja Jawa!
Vorstenlanden, di manakah itu? Kata ini pernah sohor sebagai sebutan untuk tanah kerajaan di Jawa Tengah bagian selatan. Riwayatnya berawal dari Kesultanan Mataram, yang berdiri sekitar lima abad silam. Kerajaan ini menurunkan “Wangsa Mataram” yang kelak bertakhta di Jawa—sampai hari ini. Kini, Vorstenlanden menjadi tengara bekas teritori Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Pasang surut takhta di kawasan ini memengaruhi politik kebudayaannya. Pada 1656, Rijcklof van Goens menyaksikan situasi kegiatan dalam tembok istana Mataram. Setidaknya, menurut Goens, terdapat empat ribu perempuan yang melakukan pekerjaan di dapur, memintal, menenun, menyulam, menjahit, dan melukis. Kita bisa menginterpretasikan bahwa perempuan melukis yang disaksikan Goens sudah pasti perempuan yang sedang membatik. Laporan pandangan matanya tentang situasi Mataram terbit pada 1666. Batik Vorstenlanden, awalnya berkembang di empat istana. Di Surakarta terdapat Keraton Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran, sementara di Yogyakarta terdapat Keraton Ngayogyakarta dan Pura Pakualaman. Warna pertama yang digunakan untuk membatik adalah nila. Warna keduanya, merah soga. Setiap keraton memiliki batik yang dianggap sakral, hanya dipakai raja dan keluarganya atau batik larangan. Misal, saat kita berada di Kasunanan, corak larangannya adalah barong, parang, kawung, dan sawat. Corak semacam ini terjaga tradisinya di dalam tembok istana. Sebagai pejalan, kita bisa menyaksikan koleksi batik keraton Kasunanan dan batik-batik abad ke-19 di House of Danar Hadi, sebuah rumah cagar budaya. Warga Surakarta
menyebutnya “Dalem Wuryaningratan” karena dahulu merupakan kediaman Raden Wuryaningrat. Di sinilah kita menyaksikan riwayat batik di Indonesia. Setidaknya, ada 10.000 lembar kain batik dari masa Hindia Belanda sampai perkembangannya kini. Museum ini juga mengoleksi sederet Batik Belanda, yang dibuat oleh para perempuan Eropa. Salah satu batik yang unik adalah batik yang bercorak Perang Jawa, bikinan Nyonya L. Metzelaar. Batik itu menampilkan pasukan gerak cepat serdadu Hindia Timur yang bertugas meringkus pemberontakan Dipanagara. House of Danar Hadi memberikan kesempatan pengunjungnya untuk menyaksikan proses pembuatan batik secara tradisional. Setelah berkeliling, kedai museum bisa menjadi tujuan untuk merintang lelah. Di museum ini ada beragam corak batik Surakarta yang digunakan saat pernikahan, yang juga melambangkan banyak harapan. Beberapa di antaranya adalah batik Sidomukti yang dikenakan oleh mempelai. Corak ini melambangkan harapan akan kehidupan penuh rejeki serta kebahagiaan. Di kota ini, kita juga menjumpai istana wangsa Mataram lainnya, yakni Pura Mangkunegaran. Berdiri setelah Perjanjian Salatiga yang ditandatangani Raden Mas Said, Pangeran Mangkubumi, Sunan Pakubuwana III, dan VOC pada 1757. Apabila kita mendongak ke langit-langit Pendapa Ageng Mangkunegaran, kita pun menyaksikan delapan corak batik. Pendapa ini didominasi warna kuning dan hijau, warna pari anom khas keluarga Mangkunegaran. Di dalam keraton, kita bisa menyaksikan batik Mangkunegaran yang memiliki pakemnya sendiri. Misalnya pewarnaan alam dari bunga dan getah. Warnanya lebih muda, kuning keemasan. Uniknya, batik Mangkunegaran tidak memakai pola. Pembatiknya langsung menorehkan canting di atas kain. Tujuan berikutnya yang wajib kita singgahi adalah Dalem Hardjonegaran, kediaman KRT Hardjonegaran atau Go Tik Swan. Dia berasal dari keluarga peranakan Tionghoa yang telah turun-temurun menekuni batik. Perjumpaannya dengan Bung Karno memunculkan adikaryanya yang dijuluki “Batik Indonesia”.