Pelajaran dari Tanah Jawa
SAYA MENGAMATI KIRIMAN beberapa lukisan barisan prajurit dari Keraton Yogyakarta. Ada kenangan yang kembali hadir. Kebetulan, saya pernah mencecapi masa kanak-kanak di Kampung Jogokaryan, tak jauh dari tembok selatan keraton. Toponimi itu merujuk satu dari beberapa permukiman korps prajurit keraton.
Saat itu usia saya baru empat tahun. Di seberang rumah keluarga kami ada satu keluarga yang hidup sederhana. Keluarga itu terdiri atas ayah dengan tiga anaknya.
Pak Man, kami memanggilnya. Orangnya ramah dan bersahaja.
Saat itu saya sering menyaksikan Pak Man berdandan dengan busana aneh sembari mengendarai sepeda menuju keraton. Belakangan saya paham bahwa busana itu terkait kesatuan prajurit Jagakarya. Busana atasan dan celananya terbuat dari kain lurik. Songkoknya hitam.
Prajurit Keraton adalah pengabdian, gajinya tidak seberapa. Namun, saya melihat ada kebanggaan Pak Man di balik seragamnya. Setidaknya dia bersemangat mengayuh sepedanya untuk hadir mengiringi upacara Grebeg Sekaten.
Edisi ini begitu istimewa. Sampulnya menampilkan dua abdi dalem yang mengenakan masker. Untuk Edisi Khusus Pandemi ini, Fotografer Muhammad Fadli mengabadikan mereka di salah satu gerbang Keraton Kasultanan Yogyakarta.
Ada dua kisah lain yang terkait peristiwa yang terjadi di Jawa. Kisah pertama, refleksi 280 tahun Geger Pacinan yang bermuara pada runtuhnya Imperium Mataram, lalu munculnya Kasunanan dan Kasultanan. Kisah kedua, biografi Sultan Hamengkubuwana II, yang turut membangun organisasi korps prajurit Kasultanan. Tragisnya, takhtanya lepas karena Geger Sepehi.