280 Tahun Geger Pacinan
PERLAWANAN TERAKBAR TERHADAP VOC OLEH PERSEKUTUAN LASKAR CINA-JAWA. APA YANG BISA KITA TELADANI DARI PERISTIWA YANG NYARIS TERLUPAKAN INI?
BATAVIA, 9 OKTOBER 1740. Hawa di dalam tembok kota itu begitu panas. Atap rumah-rumah orang Cina tampak terbakar. Pegawai kantor VOC, kelasi, serdadu, tukang-tukang galangan kapal, budakbudak, turun ke jalan. Mereka membawa beraneka senjata. Belati, golok, pedang, kapak, hingga pistol.
Laksana kesetanan, mereka menggeledah rumah orang-orang Cina, merampok, dan membantai penghuninya—lelaki dan perempuan, tak pandang usia. Sekitar 5.000 orang Cina yang bermukim di dalam tembok kota telah binasa. Kanal yang membelah kota Batavia menawarkan pemandangan mengerikan dan aroma amis darah. Mayat-mayat mengambang. Bengis dan biadab.
Bagaimana bisa orang-orang dari sebuah bangsa, yang dipuja Jan Pieterszoon Coen, berakhir tragis? Bahkan, Coen menyadari potensi yang dimiliki warga
Cina sehingga menjadikan mereka sebagai golongan mayoritas baru. Tidak ada keraguan bahwa Coen memujanya, itu yang diceritakan Johannes Theodorus Vermeulen pada disertasinya De Chineezen te Batavia en de Troebelen van 1740 pada 1938. Dia mengutip pendapat Coen: “Tidak ada bangsa lain yang dapat melayani kita sebaik orang Cina.”
Setelah merebut Jayakarta dari Ranamanggala pada 1619, Coen mendirikan kota Batavia. Lalu, dipilihlah Souw Beng Kong sebagai Kapiten Cina pertama. Tugasnya, memimpin pemukim Cina, sekaligus perantara antara VOC dan orang-orang Cina.
Coen langsung meminta pada Beng Kong untuk memasok 400 orang kepala keluarga Cina dari Banten. Dia menempatkan orang-orang itu dalam wilayah tertentu. Mereka bekerja di sektor ekonomi dan urusan dagang demi pembangunan Batavia.
Batavia berkembang menjadi kota paling indah di dunia. “Kota ini punya julukan Queen of the East,” kata Lilie Suratminto, seorang peneliti teks paleografi VOC dari Universitas Buddhi Dharma.
Perkembangan yang pesat itu menjadikan Batavia sebagai kota pertemuan berbagai etnik dan suku bangsa. Tempat ini ditetapkan sebagai pusat VOC di Asia, menggantikan Ambon dan Ternate. Lilie meromantisasinya melalui ucapan Chamber Loir, ilmuwan asal Prancis. “Batavia adalah Carrefour des civilisations atau pusat silang budaya,” ujarnya.
NAMUN PADA AWAL ABAD KE-18, perekonomian Batavia memburuk. Penyebabnya, persaingan VOC dengan The Britisch East India Company dan ditutupnya pasar Persia karena runtuhnya Dinasti Safavid (1500-1736). Akibatnya, harga gula—komoditas primadona— jatuh di pasaran sehingga timbul krisis. Padahal, kawasan sekitar Batavia telah menjadi daerah industri gula sejak 1710. Setidaknya, ada 130 pabrik gula yang dimiliki oleh 84 pengusaha Cina, empat pengusaha Eropa, dan satu pengusaha Jawa.
Willem Remmelink dalam buku Perang Cina dan Runtuhnya Negara Jawa 1725-1743, menyebutkan bahwa banyak pabrik gula tutup dan berdampak langsung maupun tidak langsung pada komunitas Cina—terutama imigran yang baru datang ke Batavia. Akibatnya, banyak pengangguran yang melakukan kriminalitas di Batavia. Apalagi setelah pabrik gula milik Kapiten Cina Nie Hoe Kong tutup karena krisis.
Untuk mengatasi kriminalitas, Raad van Indië atau Dewan Hindia, membuat keputusan: resolusi 25 Juli 1740. Kebijakan itu, menurut Lilie, berdasarkan atas saran Baron von Imhoff, sebagai ketua dewan yang
berpengalaman menjadi Gubernur VOC di Srilangka.
Resolusi itu mengatakan, semua orang yang dicurigai sebagai Cina gelandangan, baik bersurat izin tinggal maupun tidak, harus ditangkap. Lalu, mereka ditindak untuk dikirim paksa ke Srilangka sebagai pekerja perkebunan.
Secara teoritis, menurut Lilie, putusan itu dianggap bagus karena mengurangi jumlah pengangguran sehingga Batavia akan kembali stabil. Namun pada praktiknya, orang Cina menganggap bahwa keputusan itu tidak menguntungkan. Mereka pun gelisah karena muncul hoaks bahwa sejatinya para tahanan yang dikirim ke Srilangka akan dibunuh dengan cara ditenggelamkan ke laut.
Beredarnya kabar dusta itu membuat geram komunitas Cina di pinggiran. Lalu, Kapitan Sepanjang atau Khe Pandjang tampil menjadi sosok misterius yang menggerakkan perlawanan. Dia memimpin penggempuran Batavia pada 7 Oktober 1740. Sebelumnya, mereka berkumpul di gudang milik Nie Hoe Kong. Tidak ada riwayat yang jelas tentang siapa Kapitan Sepanjang ini. Asal-usul, tanggal lahir, atau wafatnya, tak ada yang tahu.
Sejarawan Didi Kwartanada menemukan bahwa nama “Khe” dalam bahasa Mandarin berarti imigran, dan “Kapitan” merupakan istilah Hokkian bagi “Kapitein”, istilah dari Bahasa Belanda yang berarti pemimpin.
Didi mengatakan, “Selain pimpinan militer, Sepanjang juga seorang diplomat yang pandai bernegosiasi, mampu menggalang tripel aliansi (Singkek-peranakan-jawa) sehingga menjadi satu barisan untuk melawan kompeni Belanda.”
Serangan Kapitan Sepanjang dari pinggiran kota tidak dapat menembus tembok kota Batavia. Namun, Gubernur Jenderal VOC Adriaan Valckenier tidak meremehkanya. Dia khawatir, serangan itu justru memikat orang Cina yang tinggal di dalam tembok kota untuk bersatu dengan Kapitan Sepanjang.
Semenjak saat itu munculah perintah pembunuhan seluruh orang Cina di Batavia pada 9 Oktober 1740. Balai Kota Batavia berubah seperti rumah potong hewan. Warga Cina disembelih dan mayat mereka dibiarkan mengambang di sepanjang jaringan kanal.
Seorang warga bernama Ary Huysers merangkai kejadian itu melalui catatannya. “Tiba-tiba kami mendengar sesuatu yang menimbulkan ketakutan
Peta yang menunjukkan situasi Fort Vijfhoek sebagai kubu VOC di Semarang, yang bersiap menghadapi pengepungan laskar Cina-jawa pada 1741. Setelah Geger Pacinan,
VOC membangun tembok kota. yang luar biasa, tidak ada yang terdengar kecuali tangisan pembunuhan dan api, dan tirai-tirai itu dibangkitkan untuk adegan pembunuhan dan pemerkosaan tak terkendali yang paling kejam,” tulisnya. “Lelaki Cina, perempuan, dan anak-anak semua ditikam pedang. Baik wanita hamil maupun bayi yang digendongnya tidak selamat. Tawanan yang dirantai besi, berjumlah 100 orang lehernya dipotong seperti domba.”
Lilie mengungkapkan bahwa ketakutan peristiwa itu sama seperti wabah pes yang pernah melanda Eropa. “Valckenier memberikan pengumuman,” ujarnya. “Siapa yang bisa memberi kepala orang Tionghoa, akan diberi hadiah.”
KERUSUHAN 1740 MELUAS. Dampak tragedi itu membuat Kasultanan Banten bersiaga dengan tiga ribu prajuritnya untuk menghadang orang-orang Cina yang melarikan diri dari Batavia.
Gagal memasuki Banten, Sepanjang dan para pelarian itu bergerak ke timur sembari menghimpun kekuatan dengan komunitas Cina dan Jawa di sepanjang pesisir utara. Dari Karawang, Pekalongan, Semarang, Rembang, Lasem, hingga Pasuruan.
Meluasnya dampak tragedi ini berakibat pada ketidakstabilan politik di Kasultanan Mataram. Sebagai tindakan balasan, aliansi ini juga menyerang jantung Mataram di Kartasura pada 1 Agustus 1741. Serangan Kapitan Sepanjang bersama aliansi Cina-jawa pun berhasil menjatuhkan benteng VOC di Kartasura.
Akhirnya, aliansi itu juga mengepung benteng VOC di Semarang dan menyerang pertahanan VOC di Rembang. Kendati gagal, inilah perlawanan terhebat dan paling heroik dari aliansi orang Cina dan orang Jawa yang melawan VOC. Narasi ini tidak lagi diajarkan dalam pelajaran di sekolah-sekolah kita.
Jikalau Raja Kartasura, Susuhunan Pakubuwana II, menyatukan antara kekuatan pemberontakan orang-orang Cina dan kekuatan prajurit keratonnya, mungkin saja VOC bisa hengkang dari Jawa Tengah. Namun, sang raja tampaknya menyia-nyiakan momentum sehingga VOC berhasil menguasai keadaan dengan campur tangan dalam urusan
kerajaan. Jawa terpecah dan dilanda Perang Suksesi.
“Keraton Kartasura tidak pernah dibangun kembali setelah hancur diserbu oleh Sunan Kuning beserta laskar Tionghoa,” tulis Daradjadi dalam bukunya bertajuk Geger Pacinan 1740-1743, Persekutuan Tionghoa-jawa melawan VOC. “Sebagai gantinya Pakubuwana II mendirikan keraton baru di Desa Sala...” Buku yang terbit pertama pada 2013 ini berhasil mengusung narasi dua etnis yang bersatu mengusir kompeni berdasarkan sumber Jawa.
Meskipun aliansi Cina-jawa dapat dipatahkan VOC, perseteruan antarwangsa Mataram itu baru berakhir pada 1755. Perjanjian Giyanti membagi
Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Inilah suatu masa yang diakhiri perang dahsyat dan berakibat tumbangnya takhta Mataram di Jawa. Orang-orang Jawa menandai huru-hara ini dengan “Geger Pacinan”.
Perang dahsyat itu mengabadikan teladan kebersamaan, ketika laskar Jawa dan laskar Cina berpadu melawan VOC. Nama seperti Kapiten Sepanjang, Tan Sin Ko, Tumenggung Oey Ing Kiat, Tumenggung Martapura, Patih Natakusuma, Raden Panji Margono, Tan Ke Wie, bersama dua nama yang telah menjadi Pahlawan Nasional: Pangeran Mangkubumi (kelak Hamengkubuwana I) dan Raden Mas Said (kelak
GEGER PACINAN BERUMUR 280 TAHUN pada tahun ini. Apa yang bisa kita teladani dalam peristiwa bersejarah ini?
Salah satu cara untuk meningkatkan kesadaran dan menemukan moral cerita dari peristiwa ini adalah melalui pementasan wayang.
Jose Amadeus Krisna baru lulus dari Fakultas Pertanian, Universitas Kristen Satya Wacana. Dia telah melakukan riset mendalam untuk wayang bertema Geger Pacinan. Narasi berbagai buku, jurnal, dan hasil penelitian sejarah telah dia susuri.
Atas dukungan almamaternya, anak muda ini telah menciptakan wayang bertema Geger Pacinan beserta 46 tokoh wayang baru di dalamnya. Wayang, menurutnya, memiliki filosofi sebagai cerminan kehidupan manusia dan dapat menjadi tatanan bermasyarakat. Wayang merupakan bentuk tontonan berpendidikan, setara dengan opera atau orkestra.
Pentas perdananya sebagai dalang Wayang Geger Pacinan digelar di Gedung Boen Hian Tong di Semarang pada Oktober silam. Dia menampilkan petinggi Kerajaan Mataram Kartasura berikut para pangerannya, Kapitan Cina, dan para petinggi kompeni.
Alurnya bermula dari orang-orang Cina di Batavia yang dibantai oleh VOC. Kemudian yang selamat, lari ke Jawa dibantu oleh Keraton Mataram Kartasura untuk melawan kompeni. Berbagai peperangan dan kekalahan aliansi itu juga ditampilkan.
Ada adegan pecahnya pasukan Cina-jawa, apalagi saat Sunan Pakubuwana II memutuskan untuk berpihak pada VOC. Cerita berlanjut pada peperangan di Surabaya, dan Kapitan Sepanjang beraliansi bersama kerajaan di Bali melawan VOC.
“Karena Geger Pacinan adalah sejarah yang membawa pesan persatuan di antara keberagaman. Sehingga perlu ditampilkan, dan cara paling efektif adalah lewat kebudayaan wayang,” kata Jose. Karena sumber ceritanya adalah sejarah, dia dituntut harus mendalami cerita berdasarkan bukti sejarah dan tidak membelokkanya.
Jelang pentas, dia melakukan ritual sembahyang. Pun, beberapa hari sebelum pementasan wayang Geger Pacinan ini, dia berziarah ke makam-makam tokoh dalam cerita wayangnya, untuk memohon restu dan izin. “Apabila berkenan, para dewa pasti datang melihat,” tuturnya.
Kisah ini disarikan dan dikembangkan dari Bincang Redaksi-21 yang bertajuk “280 Tahun Geger Pacinan”. Penyelenggaraannya atas kerja sama National Geographic Indonesia dan Universitas Kristen Satya Wacana.