Benteng Penahan Virus
Virus yang terus bermutasi bertubi-tubi menyerang peternakan ayam, menghasilkan kerugian besar. Sejatinya, hanya butuh langkah kecil untuk membendung serangan tersebut.
Terus menerus bermutasi tanpa diketahui kapan kemunculannya, virus menyerang peternakan ayam di berbagai tempat di Nusantara. Nyatanya, hanya perlu langkah kecil yang nyata untuk menjauhi para satwa dari wabah yang mematikan.
HHARI KEDUA IDUL FITRI 2003. Hujan deras mengguyur peternakan ayam petelur Bambang Sutrisno. Pada hari raya itu, saat harga telur berada di puncak, virus menyerang kompleks peternakannya. Ia tak bisa melupakan momen itu. “Itu masa susah. Saat sumber daya manusia berkurang, hujan deras, pasar sedang puncak,” paparnya, “ayam terserang penyakit.”
Ia merasa beruntung. Penyakit asing itu hanya merenggut tak sampai lima persen populasi ayamnya. “Ada yang habis 100 persen,” ujarnya.
Dia bersicepat memutus mata rantai wabah. “Kami memutus dengan penyemprotan disinfektan di kandang. Pagi dan siang hari.” Sejak itu pula, Bambang memakai penyuci-hama untuk menghalau penyakit. “Padahal, sebelum 2003, saya tak pernah memakai disinfektan.”
Mulanya, wabah aneh itu dikenang peternak sebagai penyakit tetelo ganas atau Nd—newcastle Disease. Pada Januari 2004, pemerintah menyatakan wabah yang merenggut jutaan ayam itu ialah flu burung, atau avian influenza. Flu burung kerap disebut secara ringkas: AI.
Bambang bisa dibilang selamat dari pukulan pertama flu burung di Indonesia. Hanya saja, kandangnya tak lagi kondusif. Penyakit datang bergelombang. Virus flu burung menguasai peternakannya. Lantaran kerap kebobolan, Bambang mengibarkan bendera perang. Ia makin getol menyuci-hama kandang. Penyemprotan pagi hari untuk di kandang, siang hari untuk lingkungan sekitar kandang.
Hingga pada 2009, ia benar-benar merasakan pukulan telak. Saat itu, ayamnya terserang ND, AI, dan IB (infectious bronchitis). “Virus kalau berkolaborasi hasilnya dahsyat: merontokkan ayam. Saya rugi miliaran rupiah,” kisahnya.
Ia berada di dasar jurang kemalangan. Penyakit berulang kali menjangkiti peternakan yang berada di kaki Gunung Merbabu, Semarang, Jawa Tengah, itu. “Peternak kok hanya berurusan dengan penyakit. Pikiran panas. Tidur tidak nyenyak, makan tidak enak.”
Sampai-sampai, ia berangan-angan: Andaikan bisa menciptakan mesin yang mampu menciptakan telur—tanpa beternak ayam. “Setiap kena penyakit, rasanya seperti dirampok. Yang merampok tidak kelihatan, mikroorganisme,” ungkapnya.
SEJAK MENYELINAP MASUK ke Indonesia pada 2003, virus flu burung telah membantai jutaan unggas. Virus yang menyerang terbilang ganas: H5N1. Virus ini digolongkan sebagai H5N1 karena dua jenis protein (protein H5 dan N1) yang bertaburan di sekujur permukaannya, dan berbentuk mirip paku-paku panjang.
Ada dua berita perihal H5N1: kabar buruk dan kabar baik—yang sebenarnya juga kabar buruk. Kabar buruknya, H5N1 amat-amat patogenis. Ia
bisa menyerang manusia. H5N1 dapat berpindah dari unggas ke manusia dengan mudah. Kabar baiknya—meskipun ini tetap merupakan kabar buruk: virus ini tidak mudah menular dari manusia ke manusia. Itu berbeda dengan COVID-19, yang dengan mudah menular dari satu manusia ke manusia manusia lainnya. Bila flu burung dengan mudahnya melompat antar-manusia pada enam belas tahun yang lalu, dunia pasti sudah kelimpungan menghadapi pagebluk yang setara dengan COVID-19.
Nahasnya, wabah yang menyerang unggas ini telah meluas, dan endemik di hampir seluruh provinsi.
Berhadapan dengan H5N1 seperti terjebak dalam kecamuk perang gerilya: usai menyerang, sang virus menghilang. Itu perang yang melelahkan. Tiada cara lain, menghadapi virus AI haruslah cerdik: menggerakkan sayap intelijen dan memperkokoh benteng pertahanan. Kiasan itu tak ilmiah, tapi cocok menggambarkan upaya dalam meredam AI.
Sayap intelijen itu ada di Balai Veteriner di bawah naungan Kementerian Pertanian. Di seluruh Indonesia, ada delapan Balai Veteriner yang menelisik dan memantau virus AI. Pusat komandonya ada di Balai Besar Veteriner Wates, Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Deteksi pertama AI dilakukan di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Wates pada 2003, yakni Kabupaten Tangerang. Karena penyakit baru, “Saat itu, kita masih ragu apakah benar AI, ataukah tetelo yang sangat ganas? Pada awalnya, kita menyebutnya tetelo yang sangat ganas,” jelas Hendra Wibawa, staf Balai Besar Veteriner Wates.
Setelah uji laboratorium secara terperinci, baru terkonfirmasi bahwa hal tersebut adalah flu burung. Jadi, flu burung ini memang eksotik, dari luar Indonesia, papar Hendra.
Sejak wabah AI menyerang, Balai Besar Veteriner Wates bersama balai lain Kementerian Pertanian memantau perkembangan virus AI. Virus ini memang suka berubah-ubah— bermutasi, dan muncul dengan wajah baru. Kadang mematikan, namun kadang hanya melumpuhkan makhluk yang terjangkit. Jadi, terdapat dua kelompok virus. Yang pertama adalah virus yang ganas patogenis, seperti H5n1—disebut highly pathogenic avian influenza (HPAI). Sedangkan kelompok kedua adalah virus yang lemah—disebut low pathogenic avian influenza (LPAI). Kegiatan pemantauan adalah suatu deteksi dini, agar tidak ketinggalan dalam melacak perkembangan virus AI. “Ia juga suka sembunyi lama, tahu-tahu muncul kembali, dan mematikan,” imbuhnya.
Hendra memberikan contoh kerabat H5N1, yang menyerang pada 1918: H1N1. Saat itu, virus yang dikenal memunculkan penyakit yang populer dengan nama flu spanyol ini menebar wabah yang menelan korban hingga ribuan orang. Setelah itu, mutan-mutan virus AI pun menginfeksi dunia: flu Asia H2N2 pada 1957, disusul oleh flu Hongkong H3N2 pada 1968. Setelah itu, flu burung seolah tidak memberi kesempatan kepada dunia untuk bernapas lega. Pada 1997, H5N1 pertama kali merebak di Hongkong. Kemudian pada 2003, virus AI bangkit dengan wajah-wajah baru: H7N7, H7N2, dan H9n2—disertai H5N1 yang mulai menyusup ke Indonesia.
Sampai kapankah virus AI ini bersulih rupa? “AI tidak hanya H5N1. Untuk unggas saja, kombinasi pasangannya dari H1 sampai H16, dan N1 sampai N9. Jadi, terdapat ratusan kombinasi H dan N. Virus AI yang sangat ganas bagi unggas dan manusia, seperti contohnya H5N1 dan H7N9, yang menjadi perhatian kita,” Hendra memaparkan.
Artinya, dalam persembunyiannya, virus AI masih terus mengintai. Nampaknya, bumi memang merupakan palagan perang melawan AI. Untuk itu para petugas balai veteriner dan petugas dinas terkait, bergerilya mencuplik sampel darah unggas dari berbagai lokasi. Hendra menerangkan, terdapat delapan balai veteriner, tiga laboratorium tambahan, dan satu laboratorium milik Balai Penelitian Peternakan, yang memasok materi biologi AI serta uji tantang vaksin.
Kementerian Pertanian bekerja sama dengan Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO ECTAD) yang didanai oleh Badan Pembangunan Internasional AS (USAID) melakukan kerja sama menanggulangi avian influenza sejak 2006.
Salah satu kegiatannya adalah pemantauan virus avian influensa atau Influenza Virus Monitoring (IVM). Hendra menuturkan, IVM adalah terobosan dalam pemantauan virus AI yang melibatkan berbagai pihak terkait, yaitu Balai Veteriner Kementerian Pertanian, dinasdinas di daerah, kalangan akademik, peneliti, dan produsen vaksin. IVM merupakan khas Indonesia, dengan jejaring laboratorium yang terdiri dari berbagai pihak. Terdapat pula IVM online untuk secara daring mengunggah dan mengunduh data-data flu burung.
Setiap tahun, balai-balai veteriner melakukan pemantauan dan investigasi wabah di lapangan. Mereka melakukan pemindaian awal sampel yang positif AI, untuk melihat variasi dan jenis baru virus-virus tersebut.
Bila menemukan variasi virus, sampel akan dikirimkan ke Balai Besar Veteriner Wates untuk dianalisis lebih lanjut. Analisis pengurutan DNA dan pemetaan antigenik pun dilakukan. Bila ternyata memang terdapat varian baru, maka balai besar tersebut akan memberikan rekomendasi kepada pemerintah, apakah perlu melakukan pembaharuan vaksin. “Dan, kita mendeteksi sifat patogennya: sangat ganas ataukah biasa-biasa saja. Untungnya, sebagian besar kita menemukan virus AI yang tidak patogen,” jelas Hendra.
Berbekal data pemantauan AI, Balai Besar Veteriner Wates memberi rekomendasi terkait apakah vaksin yang tersedia masih relevan menghadapi virus yang dominan di lapangan. “Kalau tak lagi relevan, berarti ada kasus baru yang belum tersentuh vaksin. Selama ini, kita telah melakukan pembaharuan vaksin tiga kali.”
Jejaring Influenza Virus Monitoring bekerja seperti spion yang menyusup ke sarang persembunyian virus AI untuk memantau perkembangannya. Itu seperti adu cepat kecanggihan senjata tempur. Virus AI terus berubah dengan senjata baru. Untuk mengimbanginya, tak pelak lagi perlu pembaharuan vaksin. Namun, Hendra mengingatkan bahwa vaksinasi sebenarnya hanya salah satu bagian dari penanggulangan
AI. “Yang paling utama, masyarakat peternak menerapkan biosekuriti, dan memberikan nutrisi yang baik bagi ternaknya.”
Biosekuriti atau keamanan biologis itulah yang menjadi benteng pertahanan untuk menghalau serbuan AI.
SIANG ITU, ROBBY SUSANTO menjeling-jeling. “Ini biosekuriti … ,” ujarnya sembari menunjuk pembagian zona di kompleks peternakannya. Suaranya yang lantang menunjukkan dia orang yang tegas. Penegasan Robby itu sebenarnya untuk menunjukkan betapa simpel standar keamanan biologi untuk kesehatan ayam.
Penerapan biosekuriti hanya dengan membagi kompleks kandang menjadi tiga zona: merah, kuning, dan hijau. Zona merah adalah wilayah di luar kandang dengan muatan virus, bakteri, dan segala mikroorganisme yang berpotensi menjangkiti ayam. Siapa pun yang memasuki kandang, adalah pembawa mikroorganisme: di telapak sepatu, di baju, barang bawaan.
Zona kuning adalah wilayah perantara. Di zona ini, setiap orang yang masuk ke kandang harus membersihkan diri. Mandi, berganti baju, bertukar sandal. Lalu zona hijau: wilayah kandang bagi ribuan ayam petelur.
Di zona hijau, Robby menata deretan lajur kandang dengan jarak 3,5 meter. Ruang antarlajur kandang ditanami pepohonan hijau. Alhasil, sirkulasi udara mengalir merata ke seluruh kompleks kandang.
Dan, ia tak bisa ditawar sedikit pun soal standar biosekuriti itu. “Semakin ketat
biosekuriti, semakin minim sumber penyakit yang masuk kandang,” Robby mengingatkan. Lagipula, sebelum menerapkannya, ia telah mencari tahu perihal biosekuriti selama bertahun-tahun. Selama itu pula, ia mempraktikkan keamanan biologis sejauh pemahamannya. “Saya sudah menerapkan biosekuriti tapi hanya sebagian-sebagian. Tidak penuh seperti sekarang. Mandi misalnya. Dulu, saya belum mewajibkan orang yang masuk kandang untuk mandi,” ujarnya.
Dengan menerapkan biosekuriti ini, ia dapat melacak sumber penyakit dengan mudah. “Kita pernah kebobolan dua kali. Kebobolan itu istilah anak kandang kalau ayam sakit dan angka kematian meningkat,” jelasnya sembari menegaskan kembali pentingnya disiplin ketat dalam biosekuriti. Kejadian luar biasa di kandang tersebut biasanya berlangsung setelah ia menerima kunjungan tamu. Dari dua kebobolan tersebut, ia mengetahui bahwa sumber penyakit tak hanya berasal dari tubuh orang yang masuk, tetapi juga bermula dari barang bawaan. Belajar dari pengalaman itu, Robby melarang orang masuk ke kandangnya bila sebelumnya pernah menginjakkan kakinya di peternakan lain.
Manfaatnya memang tidak instan, baru dirasakan beberapa waktu setelah menerapkan biosekuriti, papar Robby. Hal ini pun menjadi salah satu penyebab mengapa banyak peternak tidak mau menerapkan biosekuriti.
Secara ekonomi, biosekuriti sebenarnya menambah keuntungan peternak. “Tambahan keuntungannya antara 11 persen sampai 32 persen. Itu tergantung pada keadaan kandang sebelumnya. Kalau kandangnya jorok, setelah biosekuriti bisa dapat 30 persen. Tapi kalau kandang sudah bagus, dapat 11 persen,” jelas Robby, yang menyitir kajian FAO (Food and Agriculture Organization) dari percontohan biosekuriti yang dilaksanakan di Solo.
Awalnya, Bambang Sutrisno menimpali, bahwa konsep biosekuriti ini memang seperti di awang-awang. Rumit. “Saat pertama, saya tidak tahu bagaimana memulainya. Akan tetapi, saya mendapatkan kata kuncinya: lakukan saja apa yang dapat dilakukan.”
Pembenahan kandang untuk biosekuriti amatlah sederhana, yaitu mengikuti tata ruang yang sudah ada. Tinggal membagi tata ruang kandang menjadi tiga zona. Intinya, penyaringan virus dilakukan melalui tiga zona perlakuan, sehingga muatan virus dari luar kandang tidak 100 persen masuk ke dalam. Tapi, mengurangi virus sampai nol juga tidaklah memungkinkan. “Hanya saja, saat penyakit menyerang, ibarat api mudah dipadamkan,” ungkap Bambang.
Bambang menuturkan bahwa biosekuriti membentenginya dari serangan AI pada 20172018. Saat itu, wabah yang melanda adalah virus AI H9N2. Para peternak menyebutnya penyakit 90-40. Maksudnya, yang semula memiliki produksi 90 persen, turun menjadi 40 persen. Banyak peternak yang terkena dampaknya. Bambang mengakui ia hanya terserempet. Saat itu produksi telur sempat turun lima persen, dan penyakit dapat dipadamkan dengan mudah.
Pembenahan kandang untuk tata laksana biosekuriti hanya membutuhkan satu kali upaya. Akan tetapi, manfaatnya berkelanjutan. Apalagi, virus AI itu dinamis, bisa muncul jenis baru, lalu menyerang lagi kapan saja. Bambang mengaku ia semakin irit dalam menggunakan obat-obatan dan disinfektan. Menurutnya, obatobatan tersebut mahal dan boros.
Obat yang berlebihan akan meninggalkan residu di tubuh dan telur ayam. Kepala Seksi Surveilan dan Pengujian Penyakit Hewan Kementerian Pertanian Purnama Martha Simanjuntak memaparkan, biosekuriti adalah untuk menjaga kesehatan ayam dan produksi telur. Peternakan yang sehat menjamin ketersedian sumber daya pangan. “Bila mengabaikan biosekuriti, akan timbul banyak kasus di peternakan,” tutur Martha. Akibatnya, sumber daya pangan menjadi terbatas. Karena itu, biosekuriti berlaku bagi semua jenis peternakan. Pada akhirnya, biosekuriti bermuara kepada ketahanan pangan yang bergizi dan bernutrisi baik.
Demi ketahanan pangan pula, Bambang berpendapat, “Bila peternak melakukan biosekuriti secara kompak, virus yang masuk ke suatu wilayah akan jauh lebih sedikit. Intinya, kita serempak melakukan protokol kesehatan untuk ayam.”