National Geographic Indonesia

Kebenaran Sains dalam Tragedi Vaksin Romusha

SALAH SATU PERISTIWA PALING MENAKUTKAN DALAM SEJARAH ILMUWAN DI INDONESIA. SEBUAH KETIDAKADI­LAN YANG KEJAM PADA ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG. SAINS MENOLAK POLITISISA­SI SEJARAH DEMI PEMAHAMAN HAKIKAT KEBENARAN.

- OLEH FIKRI MUHAMMAD

Ketidakadi­lan yang kejam terjadi pada zaman pendudukan Jepang. Kala itu, lebih dari seribu romusha tewas. Prasangka pun menyeruak.

Kini, Sains menolak politisasi sejarah demi pemahaman hakikat kebenaran.

KEJADIAN YANG SUNGGUH MISTERIUS. Sejumlah 900 romusha tewas pada 6 Agustus 1944 di sebuah kamp dekat stasiun kereta api di Klender. Beberapa hari sebelumnya, mereka menerima vaksin TCD (tipus, kolera, disentri). Mereka didiagnosi­s menderita tetanus, setelah tujuh puluh dua jam sejak muncul gejala pertama.

Tragedi pertama terjadi pada ratusan romusha yang berasal dari Pekalongan. Mereka mengalami kejang-kejang dan tubuhnya tergeletak di bawah pohon. Para romusha itu dilarikan ke rumah sakit perguruan tinggi kedokteran Ika Dai Gaku (sekarang RS Cipto Mangunkusu­mo) di Salemba.

Seorang dokter sipil asal Indonesia menyadari bahwa sebelumnya pasien mendapat vaksinasi.

Ia pun mencurigai­nya. Sang dokter melapor ke atasannya, seorang dokter Jepang bernama Kurusawa. Kemudian dokter Jepang itu menyampaik­an ke rōmu shorihan (instansi yang menangani romusha) agar vaksinasi segera dihentikan.

Namun Markas Besar Angkatan Darat Jepang ke-16 malah memerintah­akan agar vaksinasi tetap dilanjutka­n pada 7 dan 8 Agustus 1944 di Klender. Korban pun kian bertambah. Sampai 15 Agustus, 67 romusha asal Semarang terjangkit penyakit serupa.

Terdapat dua dokumen sangat rahasia terkait kejadian ini menurut sejarawan Aiko Kurosawa. Pertama, empat laporan dari Osamu Shūdan Gun’i Buchō (Kepala Bagian Dokter Militer) di Jawa yang dikirim ke Dai-hon’ei Yasen Eisei Chōkan (Kepala Bagian Kesehatan Lapangan Markas Besar Tentara

Jepang) di Tokyo pada 8 September 1944, 27 Oktober 1944, 27 November 1944, dan 15 Februari 1945.

“Keempat laporan ini sangat rinci mencatat keadaan pasien, perkembang­an penyakitny­a, juga hasil pemeriksaa­n dari para dokter. Banyak tenaga medis Indonesia diperiksa dengan ancaman serta siksaan, dan pengakuann­ya pun dicatat secara detail,” tulis Aiko. Dia mengungkap­kan dalam pengantar di buku Eksperimen Keji Kedokteran Penjajahan Jepang Tragedi Lembaga Eijkman & Vaksin Maut Romusha 1944-1945 oleh J. Kevin Baird dan Sangkot Marzuki.

Kedua, dokumen yang ditulis oleh seorang dokter dari Bō’eki Kyūsuibu (Unit Pencegahan Epidemi dan Pemurnian Air) pada 8 Desember 1944. Laporan dalam tulisan tangan itu menyimpulk­an bahwa kematian massal romusha di Klender didalangi oleh Prof. Mochtar, Direktur Lembaga Eijkman saat itu.

“Untuk meyakinkan keterlibat­an Mochtar dan para koleganya, dilakukan pemeriksaa­n detail terhadap banyak tenaga medis. Laporannya pun dicatat secara detail termasuk sejumlah hasil penelitian biologis. Meskipun demikian, motif pembunuhan para romusha tidak masuk akal,” lanjut Aiko.

Saat itu semua ilmuwan Lembaga Eijkman ditahan Kenpeitai, karena dituduh memasukkan bakteri tetanus ke vaksin. Lembaga ini memang menjadi tempat penyimpana­n vaksin— ruang dingin—yang dibawa dari Lembaga Pasteur di Bandung. Nantinya, vaksin disuntikka­n kepada romusha di Klender.

“Jadi Lembaga Eijkman tidak terlibat, kecuali sebagai tempat penyimpana­n sementara. Tuduhannya, Lembaga Eijkman, yang dipimpin oleh Mochtar, ingin bikin malu tetara Jepang dengan menyabotas­e vaksin. Kenpeitai bilang tidak mungkin Jepang bikin kesalahan,” kata Sangkot Marzuki, Direktur Lembaga Eijkman periode 1992-2014.

TUDUHAN JEPANG itu diselidiki oleh ilmuwan Lembaga Eijkman bernama Jatman dari sampel bekas suntikan pasien. Hasilnya, tidak ada bakteri tetanus, Clostridiu­m tetani, dalam vaksin.

Jatman lekas mencari kemungkina­n penyebab kejang-kejang yang dialami pasien. Ternyata ia menemukan adanya toksin tetanus dengan konsentras­i tinggi setelah ia mencoba menyuntikk­annya ke tikus putih. Dia tidak menjelaska­n bagaimana ia dapat memeriksa toksin tetanus pada spesimen, tetapi ia mengulangi kesimpulan ini di beberapa bagian dalam kesaksian tertulisny­a.

Lantaran hasil temuannya berbeda, maka tuduhan Jepang pun berubah. Jepang pun menuduh Lembaga Eijkman telah dengan sengaja memasukkan toksin pada vaksin TCD.

Penyebab tetanus ialah saat spora Clostridiu­m tetani masuk ke jaringan yang kurang oksigen seperti kumpulan otot atau jaringan cedera yang mati. Kemudian spora ini terbangun dan menghasilk­an molekul spesifik sebagai limbah. Molekul itu ialah toksin tetanus yang membawa kematian.

“Jadi kalau mau bikin toksin kita harus punya fasilitas untuk menumbuhka­n spora tadi. Tidak mungkin Lembaga Eijkman menyabotas­e vaksin. Karena memang fasilitasn­ya tidak ada,” kata Sangkot.

Dokter Ali Hanafiah, adik laki-laki Siti Hasnah, istri Mochtar, menduga ada percobaan pembuatan vaksin anti tetanus oleh Jepang di Bandung, tetapi vaksin itu belum mantap. Hal ini ditulis Ali dalam bukunya berjudul Drama Kedokteran Terbesar (1976).

“Kami memperkira­kan Jepang ingin sekali punya vaksin tetanus karena mulai dipukul mundur oleh tentara sekutu yang sudah masuk di Indonesia Timur. Mereka mencoba secara cepat melompati berbagai tahap percobaan karena sudah mendesak, vaksin itu dicoba ke romusha dan romushanya mati,” ucap Sangkot.

MOCHTAR WAFAT DIPANCUNG JEPANG pada 3 Juli 1945 pukul 15.00 di Ancol. Sangkot menyayangk­an bahwa selama ini kasus Mochtar seolah terkubur. Faktor penyebabny­a ialah pimpinan Republik yang pecah suara soal kasus ini. “Hatta dan Syahrir waktu itu tidak percaya Mochtar melakukan apa yang dituduhkan Kenpeitai. Tapi Sukarno dalam buku Cindy Adams berkata bahwa Mochtar bersalah. Malah dibesar-besarkan,” kata Sangkot.

Kebenaran sains tertutup oleh politik yang terjadi saat itu. Sangkot dan J. Kevin Baird mengungkap­kan, penegasan Sukarno itu menjelaska­n bahwa posisi politiknya tetap lemah terkait dukunganny­a pada program romusha. Namun, keduanya tidak bermaksud untuk menodai reputasi Sukarno yang saat itu menjadi kolaborato­r Jepang, melainkan secara tegas bertujuan untuk mengembali­kan reputasi Mochtar.

“Sekarang kita melihat kejadian itu dengan kacamata kebenaran. Kebenaran secara ilmiah itu sangat berbeda dengan kebenaran dari segi politik. Kebenaran ilmiah adalah fakta yang tidak bisa dibolak-balik, tidak bisa dibungkus. Kalau kebenaran dalam konteks politik sering dimasak dulu. Istilah kita kebenaran kuliner, dimasak sehingga bisa diterima lebih baik oleh masyarakat,” ucap Sangkot.

“TUDUHANNYA, LEMBAGA EIJKMAN, YANG DIPIMPIN OLEH MOCHTAR, INGIN BIKIN MALU TETARA JEPANG DENGAN MENYABOTAS­E VAKSIN.”

 ?? FOTO DIPUBLIKAS­IKAN DI EKSPERIMEN KEJI KEDOKTERAN PENJAJAHAN JEPANG, KOMUNITAS BAMBU, SEIZIN NANI KUSUMASUDJ­ANA. ??
FOTO DIPUBLIKAS­IKAN DI EKSPERIMEN KEJI KEDOKTERAN PENJAJAHAN JEPANG, KOMUNITAS BAMBU, SEIZIN NANI KUSUMASUDJ­ANA.
 ??  ?? Staf Lembaga Eijkman pada 1943. Mochtar duduk di sebelah kanan perwira Jepang yang duduk di tengah. Ada dua sumber terkait kematianny­a. Pertama, catatan institut perang di Amsterdam yang menemukan Ancol sebagai tempat pemancunga­n massal. Catatan ini diperoleh dari seorang biksu Buddha, yang klentengny­a berdekatan dengan tempat pemancunga­n. Kedua, kesaksian Mohammad Hatta dari Abu Hanafiah, Menteri Pendidikan era Republik Indonesia Serikat yang ditulis dalam buku Tales of a Revolution.
Staf Lembaga Eijkman pada 1943. Mochtar duduk di sebelah kanan perwira Jepang yang duduk di tengah. Ada dua sumber terkait kematianny­a. Pertama, catatan institut perang di Amsterdam yang menemukan Ancol sebagai tempat pemancunga­n massal. Catatan ini diperoleh dari seorang biksu Buddha, yang klentengny­a berdekatan dengan tempat pemancunga­n. Kedua, kesaksian Mohammad Hatta dari Abu Hanafiah, Menteri Pendidikan era Republik Indonesia Serikat yang ditulis dalam buku Tales of a Revolution.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia