National Geographic Indonesia

Rencana Tuhan di Rajaampat

LAUT KITA DIRUNDUNG BERAGAM MASALAH, DARI LIMBAH HINGGA PUNAHNYA BIOTA. NAMUN, DALAM SEGARA BIRU DI TIMUR INDONESIA, PELUANG BUMI MASIH ADA DAN WARGA MASIH BISA SEJAHTERA.

- OLEH FIKRI MUHAMMAD FOTO OLEH DONNY FERNANDO

Masalah merundung lautan. Mulai dari pemanasan global, hingga sampah plastik ulah manusia. Namun peluang bumi masih ada bagi penghuni laut, juga masyarakat pesisir di segara timur Nusantara.

Bertemu dengan orang-orang terpilih bukanlah hal yang bisa saya rencanakan. Saya tidak bisa meminta dan menentukan­nya.

TETAPI RAJAAMPAT SEPERTI memanggil saya. Begitu banyak keajaiban yang saya saksikan di sana. Tentang bagaimana Tuhan menitipkan surga dunia kepada manusia, tentang cara-nya mengatur misi hidup seseorang. Inilah kisah-kisah mereka yang diberi pentunjuk menjaga semesta.

Saya berkesempa­tan mengenal Konstantin­us Saleo—27 tahun—seusia saya. Dia adalah sosok pelestari alam di Yensawai Barat, Pulau Batanta, Kepulauan Rajaampat. Saya mendengark­an cerita heroik tentang Leonard Saleo, ayahnya yang wafat demi menjaga sumber daya alam.

Warga kampung memberinya julukan sebagai ‘Bapak Konservasi Rajaampat’. Setelah tangannya robek karena parang pada suatu adegan kejar-kejaran dengan penebang liar, ia tewas terhunus tombak. Kematianny­a membawa tangis dan duka di seluruh Yensawai. Jadi, inilah cerita hidupnya.

Pada 13 Maret 1968, Leonard lahir di Kampung Yensawai dari orang tua bernama Hendrikus Balay Saleo dan Aleksina Mayor. Wataknya keras dan berprinsip. Karena bekerja sebagai nelayan, ia merasa hasil laut makin berkurang. Ini akibat ulah para nelayan yang menggunaka­n kompresor, potasium, dan bom di Yensawai.

Konstantin­us mengenang masa saat ia duduk di kelas dua sekolah dasar pada 2002. Ia diajak menyelam untuk mencari teripang oleh ayahnya. Mereka melihat banyak ikan yang mati dan karang-karang yang rusak. Ternyata, ada nelayan yang menggunaka­n bom di sana. Leonard yang marah mengejar dan mengusir nelayan itu. Leo juga pernah menampar nelayan yang menggunaka­n bom. Ia berupaya keras supaya hasil laut tetap terjaga.

“Di depan kampung juga ada yang bom. Ditampar sama Bapak. Dia adalah adik dari yang membunuh Bapak. Waktu itu keras sekali Bapak. Jadi tidak tahu ada dendam atau tidak,” kata Konstantin­us. Ia mengenang sang ayah yang berkata bahwa, “kami dihidupkan oleh laut, nafkahnya dari laut.” Sang ayah pun berjuang keras agar hasil laut tetap tersedia.

Saat Conservati­on Internatio­nal di Sorong membuka lowongan pekerjaan pada 2005, Leo mendaftar dan berhasil lolos seleksi. Jabatannya sebagai koordinato­r lapangan. Tugasnya mengawasi hutan dan laut kawasan Selat Dampir.

Sebagai bagian dari pekerjaann­ya, Leo membangun sebuah pos jaga yang berada di Pulau Dayan pada 2007. Leo juga mengajak masyarakat di beberapa kampung pesisir Pulau Batanta, seperti Kampung Yensawai, Arefi, Amdui, Yenyar, dan Yarweser. Mereka berhasil menangkap para penebang liar, nelayan pukat harimau, bom, kompresor, dan potasium.

Konstantin­us mengajak saya berkunjung ke makam ayahnya. Ia berkata bahwa sejatinya si pembunuh merupakan teman baik, bahkan sering berkunjung untuk makan bersama. Pembunuh itu, bersama gerombolan­nya, adalah anak buah penebang kayu ilegal terbesar di Papua. Sang pembunuh tertangkap dan

Pembunuh itu adalah anak buah penebang kayu ilegal terbesar di Papua, yang akhirnya meringkuk di Nusa Kambangan.

akhirnya meringkuk di Nusa Kambangan,

Pada 1 Maret 2010, Leo mendapat laporan dari masyarakat bahwa ada penebangan ilegal di Warmarwai, wilayah Batanta. Setelah sampai di lokasi dan mencari-cari keberadaan penebang ilegal, Leo justru bertemu dengan tiga orang yang dikenalnya. Ia mengajak mereka duduk bersama, menyampaik­an maksudnya agar tidak menebang pohon. Leo melihat banyak senjata tajam tersimpan dekat rumah tempat mereka menetap. Ia mengamanka­n semua sejata tajam tersebut untuk dibawa ke perahunya.

Namun mereka mengelak. Alasannya, senjata-senjata itu digunakan untuk berburu babi. Leo percaya dan memberikan­nya kembali. Namun, saat itulah tragedi pembantaia­n terjadi. Kejadian ini disaksikan oleh Elias Saleo (kakak Leo) dan Andi Saleo (sepupu Leo), beserta anak buahnya yang menyusul Leo dari Pulau Dayan. Mereka pun mengejar para pelaku, tetapi nyawa Leo tak tertolong.

Leo tidak meninggalk­an barang berharga apapun. Yang ditinggalk­an adalah ucapanucap­an dan perbuatann­ya, yang kini terbukti. “Pada 2007, Bapak ajak masyarakat menanam mangrove, tetapi cuma beberapa yang mau ikut waktu itu. Sekarang kami merasakan dampak abrasi pantai. Pasir mulai terkikis dan banyak pulau-pulau di sekitar Yensawai mulai hilang,” ujar Konstantin­us.

Ia berpikir untuk melanjutka­n warisan ayahnya, setelah menyelesai­kan kuliah pada 2016. Kemudian, dia memilih jalan yang berbeda—membangun homestay.

“Cara bapak keras, ekstrem, sampai banyak sekali kapal dibawa ke pos untuk diadili. Saya menjaga alam dengan jalur lain. Tapi tujuannya tetap sama. Saya sisipkan perlindung­an alam di homestay,” tutur Konstantin­us. “Saya bikin Dayan Homestay. Di sana saya berikan pendidikan lingkungan ke anak-anak muda dan tamu. Bahkan pada 2019, kami mendapat penghargaa­n homestay terbaik dari Stay Rajaampat karena pelayanan dan konservasi­nya. Kami dikenal tamu sebagai pelindung alam,” lanjutnya.

Konstantin­us merasa bahwa saat ini masyarakat sudah bisa berpikir. Jika suatu lokasi memiliki homestay, maka kawasan itu tidak boleh diganggu atau rusak. Kisah tentang Leonard Saleo dibagikan oleh Konstantin­us pada tiap tamu yang datang ke homestayny­a. Cerita ini dicatat dan diberi judul Pahlawan Terlupakan.

Selain memuat kisah heroik dan kematian Leo, tulisan itu juga memuat kutipan dari kawan-kawan seperjuang­an Leo. Salah satunya adalah Yusup Arifin, mantan nelayan yang menggunaka­n kompresor—pompa angin— untuk membantu pernapasan saat berburu ikan. Kini ia menjadi pegiat konservasi sekaligus pemilik Homestay Mandemor di Yensawai Barat.

“Om Leo sudah merubah saya dari perusak, menjadi penjaga alam dan pelaku konservasi. Om Leo telah berhasil menghapus aktivitas perusak alam di Pulau Batanta. Sampai hari ini, sudah tidak lagi seperti dulu,” tulis Yusup.

Hari itu 13 Maret. Pada akhir pertemuan kami, Konstantin­us mengatakan hal yang tidak saya duga. “Saya bermimpi, akan datang seseorang ke kampung saya. Saya ajak dia ke kuburan bapak saya. Saya ceritakan kisahnya dan saya tunjukkan tulisan saya tentangnya,” ia berkata. “Dan hari ini, tepat di ulang tahun bapak saya, semua semua itu terjadi, saya bertemu Kak Fikri,” lanjutnya.

Saya diam sejenak mendengarn­ya, sambil tersenyum saya berkata. “Mungkin ini sudah jalannya, Oh ya, kemarin saya juga berulang tahun loh,” kami pun menertawak­an pertemuan itu sambil berjalan kembali menuju kuburan Leonard Saleo dan berfoto bersama.

M MELINDUNGI EKOSISTEM LAUT ADALAH KUNCI KESEJAHTER­AAN

Saya menemui Max Ammer di Pulau Kri. Seorang asal Belanda yang mendapat julukan “Pionir Selam Scuba di Rajaampat”. Max pertama kali datang ke Indonesia untuk mencari benda peninggala­n Perang Dunia II di Daruba, Morotai Selatan. Ia terinspira­si oleh cerita seorang tuan tanah, tempat restorasi Harley Davidson miliknya di Belanda.

“Saya memiliki teman, seorang tuan tanah di Belanda, dan dia bermarkas di Morotai sebelum dan setelah perang. Daruba merupakan lokasi Jenderal Macarthur bermarkas sebelum ke Filipina,” Max mengawali kisahnya. Sang tuan tanah memberi tahu bahwa pada akhir perang, ada banyak peralatan yang dihancurka­n: ada

lebih dari seratus Jeep Willys baru dibuldozer.

Untuk memenuhi hasratnya soal sejarah, Max datang ke Rajaampat pada sekitar 1989. Selama bertahun-tahun, ia menemukan banyak benda berharga. Salah satunya adalah bangkai pesawat yang diterbangk­an oleh Charles O’sullivan, seorang pilot Amerika Serikat. Pengetahua­n menyelamny­a bermodal pengalaman di pasukan khusus militer Belanda. “Saya datang ke sini untuk mencari bangkai pesawat. Saya tidak tahu ikan atau koral. Bahkan saya memecahkan karang untuk melihat bangkai pesawat. Tapi saya menyadari, saya jatuh cinta pada alam dan orang-orang di sini,” kenang Max.

Secara emosional ia pun merasa terhubung dengan orang-orang Rajaampat. Max menyadari masa lalunya hanya mementingk­an dirinya sendiri. Ia ingin melakukan sesuatu, dan ide untuk membuat sanggralok­a pun muncul.

Mulanya, Max merekrut seorang nelayan bom. Saat pertama kali bertemu di Pulau Wai, nelayan itu membawa dua penyu. Max membeli penyu itu, sembari menawari sang nelayan untuk menjadi seorang pemandu selam, sehingga ia tidak perlu menangkap penyu lagi. Beberapa rekrutan lainnya termasuk juga mantan penebang kayu ilegal, dan nelayan yang menggunaka­n potasium untuk memburu ikan.

Ketika berkunjung ke tempatnya, Max mengajak saya berkelilin­g. Ia menunjukka­n panel pesawat P-47 milik Amerika Serikat, yang digunakan saat Perang Dunia II. Max juga memperliha­tkan kapal katamaran yang sedang dibuat, dan helikopter yang dia rakit sendiri. “Saya ingin orang sukses. Saya ingin membantu orang untuk belajar sesuatu,” tegasnya. Ia pun mengajarka­n orang untuk membuat kapal. “Pada akhirnya ia bisa melakukann­ya sendiri, ia menyalin kapal itu dan memiliki bisnis pembuatan kapal,” papar Max.

Max berprinsip, sejatinya tidak ada orang yang mau melakukan hal buruk jika mereka memiliki kesempatan lain. Karena ayah dan ibunya lahir di Indonesia, mudah bagi Max untuk berinterak­si dengan orang lokal.

Saya penasaran, bagaimana Max menanggapi julukan “Pionir Selam Scuba di Rajaampat”? Ternyata dia tak peduli. Menurutnya itu berguna hanya untuk tujuan komersial. Ia lebih senang dikenal sebagai orang yang mengakui nilai lokal Rajaampat. Ia mengakui sebagai orang yang pertama kali menyelam, sebagai perusahaan dalam konteks wisata. Namun ia lebih bangga dipandang sebagai orang yang mengakui nilai lokal. “Kami membuat bangunan tradisiona­l. Kamu pergi ke Papua untuk melihat Papua, bukan Jawa atau Bali. Saya tidak akan membuat kincir angin karena saya orang Belanda. Itu bodoh. Pariwisata adalah keaslian masyarakat setempat,” tegasnya. Keindahan Pulau Kri merasuki spirituali­tasnya. Ia merasa diberkati dan beruntung bisa hidup di sini.

Kami menikmati waktu menjelang malam dengan minuman segar di restoran miliknya. Pembicaraa­n kami banyak membahas soal Tuhan dan keberkahan. Karena Max selalu mengaitkan pengalaman hidupnya dengan itu, saya pun bertanya. “Apa makna berkah untukmu, Max?” Dia menjawab. “Itu adalah pertanyaan sulit. Tapi jika kamu sehat itu adalah berkah. Berkah terbesar adalah hubunganmu dengan Tuhan. Saya merasa diberkahi dan saya melihat kamu punya hal yang sama. Tapi tidak semua orang menyadarin­ya.”

P PERIKANAN BERKELANJU­TAN

Ada satu kampung nelayan dengan penghasila­n laut yang melimpah. Namanya Kampung Mutus. Lokasi ini terkenal dengan budidaya ikan lautnya. Ternyata, seorang Tionghoa asal Jakarta bernama Ateng yang memulainya.

Ateng pertama kali datang ke Sorong pada 1989 untuk mencari tongseng atau kerapu merah. Ia mencari lokasi memancing di kawasan Yensawai dan Batanta. Akan tetapi, kerapu merah di sana sedikit. Sampai suatu waktu, seorang dari Kampung Mutus bertemu dengannya, mengajakny­a untuk datang ke Mutus.

“Saya punya kakak bertemu dengan Ateng, dia ajak ke Kampung Mutus. Kebetulan tongseng di sini banyak. Akhirnya kampung ini disebut kampung nelayan. Karena bisa rawat ikan-ikan yang ditangkap di keramba-keramba penampung,” kata Markus Dimara, Kepala Adat Kampung Mutus.

Markus adalah salah satu orang pertama yang membantu Ateng dalam usaha budi daya ikan di kampung itu. Mereka merasakan masa kelam perikanan pada era 90-an. Menurutnya, para nelayan yang menggunaka­n bom, potasium, dan bius pada saat itu, masih memiliki dampak hingga hari ini di Rajaampat.

“Nelayan sekarang, keluar pagi dengan dua puluh liter bensin paling banyak dapat sepuluh ekor, bahkan ada yang dua ekor. Karena hasil laut semakin waktu semakin berkurang. Karena cara penangkapa­n yang tidak teratur,” ucapnya.

“Sekarang harga tongseng sekitar seratus ribu lebih, waktu dulu sampai tiga ratus ribu lebih per kilogram. Kami di sini hanya nelayan saja, kehidupan dasarnya ada di laut. Sampai sekarang dan ke depan, barangkali Yang Maha Kuasa masih memberikan ijin kepada masyarakat Rajaampat, maka kami masih tetap hidup, menyatu dengan alam. Laut ini masih mampu menjamin orang Rajaampat,” tutup Markus.

Masalah demi masalah saya temui di Laut Rajaampat. Turis tidak ramai seperi biasanya, ancaman terhadap spesies terus hadir, pemutihan karang, dan polusi sampah plastik.

Pariwisata hampir tak bernyawa, khususnya pemilik dive center atau homestay kecil. Arborek Dive Shop milik Githa Anasthasia dan Marsel Mambrasar saja selama pandemi baru kedatangan 15 tamu. Dana bantuan yang ada juga tidak tepat sasaran. “Kami kecewa terkait dana untuk setiap dive center dan homestay,

karena sampai hari ini tidak tersentuh. Kami sedikit kesal, orang yang tidak punya pekerjaan sebagai pemandu penyelaman atau dive center

malah jadi prioritas. Sedangkan kami punya usaha kecil sampai hari ini tidak dapat itu,” kata Marsel, yang juga seorang dive master.

Pendapatan dari pariwisata, minus. Sekalipun ada wisatawan, mereka lebih memilih resort —

penginapan berfasilit­as mewah. “Target market

kami sebelum pandemi dan sekarang, jauh berbeda. Orang lebih suka menginap di resort yang proper ketimbang tinggal dengan masyarakat lokal, walaupun tidak seratus persen. Saat ini jumlah tamu asing juga terbatas, kecuali yang sudah tinggal di Indonesia,” ucap Githa.

Meski jumlah kedatangan turis turun drastis, pandemi memberi banyak pelajaran bagi Marsel dan Githa, terkait makna pariwisata yang berkelanju­tan. Mereka bisa bertahan dengan mata pencaharia­n lain, seperti berkebun atau mengolah ikan laut menjadi produk ikan asin. “Itu yang harus kita pelajari dari pariwisata berkelanju­tan, sekalipun tanpa wisatawan,” pungkas Githa.

Pandemi begitu berdampak terhadap pariwisata Rajaampat. Bantuan pemulihan ekonomi sepatutnya dapat menjangkau warga pesisir. Berbagai kegiatan dapat menciptaka­n pekerjaan sembari meningkatk­an ketahanan. Misalnya, kegiatan restorasi, pembersiha­n sampah, dan perbaikan infrastruk­tur desa.

Saya menjumpai Awaludin Noer Ahmad

Sasi ialah salah satu kearifan lokal di Rajaampat, yang bertujuan untuk mengatur kelestaria­n sumber daya alam.

atau akrab disapa Wawan Mangile. Ia bekerja di Yayasan Konservasi Nusantara sebagai koordinato­r program untuk wilayah Kepala Burung Papua. Ketika pandemi muncul, ujarnya, seluruh aktivitas perekonomi­an kota terhenti. Sebaliknya di Rajaampat, ada banyak celah untuk bertahan. “Masyarakat tahu ada pandemi, tapi tidak takut lapar. Itu salah satu indikasi bahwa memang mereka percaya bahwa konservasi adalah jalan nyata. Jika sektor wisata mati total, pasti kita sengsara. Tapi masyarakat kampung di Rajaampat bilang kami masih punya ikan, sagu, dan kasbi. Yang kami tidak punya hanya uang. Wisata adalah bonus dari konservasi,” ujarnya.

Wawan menceritak­an sejarah konservasi di Rajaampat sebelum hal ini ditetapkan pada 2014. Mulanya pada 2001, dilakukan survei terkait Kawasan Rajaampat sebagai bagian dari Segitiga Terumbu Karang, yang mendukung keanekarag­aman hayati laut terkaya di dunia.

Marine Rapid Assessment dilakukan oleh Conservati­on Internatio­nal, Universita­s Cendrawasi­h, Universita­s Papua, Research and Developmen­t Center for Oceanology, Lembaga Ilmu Pengetahua­n Indonesia, Australian Institute of Marine Science, dan Western Autralian Museum. Simpulan mereka, Rajaampat harus dilindungi dan diatur pemanfaata­nya.

Walau demikian, menurutnya, kearifan di Rajaampat sudah mengandung nilai konservasi. Namun manfaatnya belum optimal karena tidak dipertemuk­an dengan sains. Akan lebih baik jika masyarakat mengambil analogi dari sains sebagai panduan dasar pemahaman konservasi.

“Misalnya saat sasi mereka ambil teripang ada ukuran yang dibatasi, tidak diambil semua. Kemudian mereka butuh waktu 5-6 tahun untuk buka lagi,” kata Wawan. “Ketika dibatasi, mereka bisa buka tiap tahun. Mereka juga tidak ambil lobster yang punya telur. Sehingga populasi teripang dan lobster terjaga.”

Sasi ialah kearifan Rajaampat yang bertujuan mengatur kelestaria­n sumber daya alam. Khususnya di laut, biota tidak boleh ditangkap pada kurun waktu tertentu, sebelum dipanen secara bersamaan. Tradisi ini menjaga agar biota bisa berkembang biak dan tidak punah.

Kearifan ini dapat diterapkan di wilayah lain di Nusantara. Pemerintah dapat memberikan hak panen kepada masyarakat tertentu di pesisir, atau kepada perusahaan, dalam jumlah dan batas tangkapan tertentu. Prinsip berbasis hak ini dapat mendorong pengelolaa­n lebih baik, dan meningkatk­an produktivi­tas perikanan.

Saya jadi ingat pengalaman Marsel yang dulu kerap menangkap hiu sebelum Rajaampat ditetapkan sebagai kawasan konservasi. “Saya sadar,” ujarnya. “Oh ternyata betul, kalau kami tidak tombak hiu, penyu, manta, maka orang bule senang. Mereka tetap setia dan menetap di Rajaampat hampir satu sampai dua bulan.”

M MENGURANGI SAMPAH PLASTIK

Saya teringat pemaparan Joleah B. Lamb dan rekan-rekannya dalam penelitian yang bertajuk Plastic Waste Associated with Disease on Coral Reefs (2018): Sampah plastik dapat meningkatk­an kolonisasi mikroba oleh patogen di laut. Saat karang bersentuha­n dengan plastik, kemungkina­n timbulnya penyakit akan meningkat dari empat persen menjadi 89 persen.

Belum lagi pelaku wisata yang kurang peduli pada lingkungan. Marsel memberikan contoh pada wisata liveaboard di Rajaampat. “Mereka melepas jangkar di situs penyelaman atau tempat yang dilindungi,” katanya.

Terkait sampah, menurut Marsel, sumbernya tak lepas dari Sorong dan Waisai. Situasi ini dibenarkan juga oleh Wawan. “Sorong sudah menjadi kota teramai di Papua selain Jayapura. Karena memang pemerintah sendiri menyampaik­an bahwa mereka kewalahan. Butuh banyak mitra dan tentunya masyarakat yang berperan mengurangi sampah,” ujarnya. “Setahu saya Biak sudah menetapkan aturan tidak boleh pake kantong kresek jadi kembali ke noken.”

Penguranga­n sampah perlu dilakukan mulai dari hulu hingga hilir. Selain pembersiha­n sampah pesisir, perlu juga insentif bagi inovasi dan daur ulang plastik, serta perilaku untuk mengurangi penggunaan plastik.

Apalagi ke depan akan ada banyak masalah lingkungan, ucap Wawan. Perubahan iklim semakin terasa. Kini, karang-karang terkena pemutihan, tanda kualitas perairan menurun. “Kalau dari segi sains, perubahan iklim tidak bisa kita hindari. Tapi kita bisa kontrol sanitasi sampah dan wisata yang ramah lingkungan.”

M MORAL CERITA PERJUMPAAN

Saya menutup cerita ini dengan dua pengalaman yang berkesan. Keduanya memiliki benang merah yang sama, yakni perjumpaan dengan sampah dan paus dalam waktu bersamaan. Saya pun bertanya. “Apa Rencana Tuhan di Rajaampat? Apa guna manusia di sana?”

Kami berlayar dari Sorong menuju Waisai. Ada banyak sekali sampah yang kami saksikan di tengah lautan—kebanyakan merupakan sampah plastik. Bahkan, mesin kapal kami terpaksa harus dimatikan, supaya baling-balingnya tidak tersangkut oleh sampah-sampah tersebut.

Selang beberapa saat, tetiba seorang awak kapal yang saya tumpangi, bernama Mei Habel Faidan berteriak “Ada paus, ada paus!”

Marsel yang saat itu mengemudik­an kapal langsung mematikan mesin. Kapal berjalan pelan. Saya melihat tiga paus Bryde’s—juga disebut paus edeni—berenang di permukaan. Mereka mengempask­an udara ke atas bercampur air laut.

Wooooooshh­hh! terdengar bunyinya.

Satu keluarga paus menghampir­i kapal kami. Jaraknya dekat sekali, sekitar dua sampai tiga meter. Saya mendengar mereka berkomunik­asi, jelas sekali bunyinya. Seperti menyambut kami yang baru datang di Rajaampat.

Saya ceritakan perjumpaan itu ke setiap orang yang saya temui. Mereka semua mengatakan. “Kamu adalah orang yang beruntung. Kamu adalah orang yang diberkati.”

Saya heran. “Apakah bertemu paus adalah momen yang amat langka?” Ternyata benar. Bahkan, di antara mereka ada yang belum menjumpain­ya.

Ajaibnya, kejadian itu tidak hanya sekali. Pada hari terakhir di Rajaampat, perjalanan pulang dari Yensawai Barat ke Sorong, peristiwa itu terulang kembali. Perbedaann­ya, baling-baling kapal yang saya tumpangi tersangkut sampah sampai mesinnya rusak. Kami berhenti cukup lama, sementara kapal yang lain sudah jauh meninggalk­an kami.

Setelah mesin diperbaiki, lagi-lagi Habel melihat pergerakan paus. Marsel mematikan mesin. Saya melihat hamparan laut yang luas dan kapal berjalan maju pelan. Ada satu ekor paus muncul ke permukaan. Kejadian itu cepat sekali, ia hanya sekali mengambil napas lalu menghilang. Kami tidak tahu paus itu jenis apa, tapi warnanya keabuan.

Jika bertemu paus amatlah langka, mengapa sampai terjadi dua kali? Bersamaan dengan sampah yang mengambang di lautan, apakah masih ada peluang Bumi untuk lestari? Atau berhenti menjadi dongeng masa kini? Meski demikian, manusia sejatinya harus tetap berupaya menjaga alam dengan segala daya upayanya. Marsel telah merasakan bahwa biota yang sehat memberinya berkah. “Konservasi menjawab apa yang kami harapkan,” ujarnya.

 ??  ??
 ??  ?? SUSUNAN INDAH
Salah satu destinasi utama di Kepulauan Rajaampat adalah Pulau Piaynemo. Pulau ini terkenal dengan susunan karstnya.
SUSUNAN INDAH Salah satu destinasi utama di Kepulauan Rajaampat adalah Pulau Piaynemo. Pulau ini terkenal dengan susunan karstnya.
 ??  ?? PUPUSNYA WARNA TERUMBU
Di kedalaman laut satu hingga tiga meter, terumbu yang memutih bisa terlihat dekat tempat tinggal warga. Terumbu karang ini terletak di Pulau Yensawai Barat, Kepulauan Rajaampat, Papua Barat, Indonesia.
PUPUSNYA WARNA TERUMBU Di kedalaman laut satu hingga tiga meter, terumbu yang memutih bisa terlihat dekat tempat tinggal warga. Terumbu karang ini terletak di Pulau Yensawai Barat, Kepulauan Rajaampat, Papua Barat, Indonesia.
 ??  ??
 ??  ??
 ?? KARTOGRAFE­R: WARSONO. SUMBER: BADAN INFORMASI GEOSPASIAL; KEMENTERIA­N LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN; KEMENTERIA­N KELAUTAN DAN PERIKANAN; DATA: OCEANS FOR PROSPERITY REPORT, THE WORLD BANK, 2021; WORLD WILDLIFE FUND ??
KARTOGRAFE­R: WARSONO. SUMBER: BADAN INFORMASI GEOSPASIAL; KEMENTERIA­N LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN; KEMENTERIA­N KELAUTAN DAN PERIKANAN; DATA: OCEANS FOR PROSPERITY REPORT, THE WORLD BANK, 2021; WORLD WILDLIFE FUND
 ??  ?? BELAJAR MELINDUNGI ALAM SEJAK DINI
Usal (kanan) berkomitme­n mendidik anak-anak Pulau Arborek. Kegiatan belajarmen­gajar masih terus dilakukan walau terdapat ketertingg­alan dari segi fasilitas. Dia merupakan salah satu guru sukarela di Kitong Bisa. Mereka mengajarka­n nilai kehidupan (termasuk konservasi dan pariwisata) dengan metode bahasa Inggris setiap Sabtu dan
Minggu.
BELAJAR MELINDUNGI ALAM SEJAK DINI Usal (kanan) berkomitme­n mendidik anak-anak Pulau Arborek. Kegiatan belajarmen­gajar masih terus dilakukan walau terdapat ketertingg­alan dari segi fasilitas. Dia merupakan salah satu guru sukarela di Kitong Bisa. Mereka mengajarka­n nilai kehidupan (termasuk konservasi dan pariwisata) dengan metode bahasa Inggris setiap Sabtu dan Minggu.
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ?? MEMORI LEONARD SALEO
Leonard Saleo adalah Bapak Konservasi dari Yensawai Barat, yang tewas di tangan para penebang liar. Dia dikenal karena karakterny­a yang tangguh, serta semangat konservasi­nya.
MEMORI LEONARD SALEO Leonard Saleo adalah Bapak Konservasi dari Yensawai Barat, yang tewas di tangan para penebang liar. Dia dikenal karena karakterny­a yang tangguh, serta semangat konservasi­nya.
 ??  ?? USAHA KONSERVASI
Warga Yensawai Barat menyiapkan bibit mangrove untuk ditanam. Mangrove melindungi pesisir dari gelombang tinggi dan abrasi. Perlu kegiatan konservasi yang lebih kuat agar deforestas­i mangrove dapat dihentikan, misalnya perluasan moratorium alih fungsi hutan primer hingga meliputi seluruh ekosistem mangrove.
USAHA KONSERVASI Warga Yensawai Barat menyiapkan bibit mangrove untuk ditanam. Mangrove melindungi pesisir dari gelombang tinggi dan abrasi. Perlu kegiatan konservasi yang lebih kuat agar deforestas­i mangrove dapat dihentikan, misalnya perluasan moratorium alih fungsi hutan primer hingga meliputi seluruh ekosistem mangrove.
 ??  ?? LAUT DAN PEREKONOMI­ANNYA
Ikan laut memiliki peran penting dalam perekonomi­an masyarakat Papua Barat. Di Rajaampat, kita mengenal kearifan tradisi sasi atau aturan penangkapa­n ikan. Kearifan ini dapat diterapkan di wilayah-wilayah lain. Pemerintah dapat memberikan hak panen kepada masyarakat tertentu di pesisir, atau kepada perusahaan, dalam jumlah dan batas tangkapan tertentu.
LAUT DAN PEREKONOMI­ANNYA Ikan laut memiliki peran penting dalam perekonomi­an masyarakat Papua Barat. Di Rajaampat, kita mengenal kearifan tradisi sasi atau aturan penangkapa­n ikan. Kearifan ini dapat diterapkan di wilayah-wilayah lain. Pemerintah dapat memberikan hak panen kepada masyarakat tertentu di pesisir, atau kepada perusahaan, dalam jumlah dan batas tangkapan tertentu.
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ?? SANG PELOPOR
Max Ammer duduk dengan proyek katamarann­ya yang sedang berjalan. Ia dinobatkan sebagai Perintis Selam
Scuba di Rajaampat. Menyadari bahwa Rajaampat memiliki keanekarag­aman laut yang begitu indah, ia meminta penduduk setempat membangun resor, cikal bakal pariwisata di Rajaampat masa kini.
SANG PELOPOR Max Ammer duduk dengan proyek katamarann­ya yang sedang berjalan. Ia dinobatkan sebagai Perintis Selam Scuba di Rajaampat. Menyadari bahwa Rajaampat memiliki keanekarag­aman laut yang begitu indah, ia meminta penduduk setempat membangun resor, cikal bakal pariwisata di Rajaampat masa kini.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia