DARI 10 GLADIATOR YANG MASUK KE RING, KEMUNGKINAN DI ANTARANYA BERTARUNG DI HARI BERIKUTNYA.
Namun, semakin dalam ia mempelajari persenjataaan dan zirah, semakin tak masuk akal yang terjadi. Dibebani tameng, pelindung kaki dan tangan dari metal, serta helm perunggu menutupi leher, banyak gladiator membawa alat pelindung ke dalam arena, nyaris sebanyak yang dikenakan prajurit Romawi ke pertempuran. Namun pedang mereka umumnya sekitar sentimeter panjangnya, sedikit lebih besar dibandingkan pisau koki. “Mengapa,” Lopez berkata, “Anda membawa alat pelindung seberat kilogram ke pertempuran berpisau?”
Kesimpulannya: Gladiator bukanlah usaha untuk membunuh satu sama lain: mereka berusaha menjaga satu sama lain agar tetap hidup. Mereka menghabiskan waktu bertahun-tahun menampilkan pertarungan menarik, yang sebagian besar tak berakhir dengan ajal. “Itu kompetisi yang sebenarnya, tetapi bukanlah pertarungan yang sebenarnya,” ujar Lopez. Ia kini menjalankan riset gladiator dan kelompok penampil seni panggung peragaan ulang bernama ACTA. “Tidak ada koreografi, tetapi ada niat baik—anda bukanlah lawan; Anda adalah kawan. Bersama kita harus membuat penampilan terbaik yang paling memungkinkan.”
Selama dua puluh tahun terakhir, peneliti menguak bukti yang mendukung beberapa pendapat Lopez tentang pertarungan gladiator dan mempertanyakan persepsi populer akan pertunjukan kuno ini. Ada sedikit gladiator yang merupakan kriminal atau tawanan perang yang dihukum untuk melakukan pertarungan. Namun kebanyakan adalah petarung profesional—petinju, petarung mixed martial art, atau pemain rugbi pada masa jaya mereka.
Menjadi gladiator bisa jadi menguntungkan, dan terkadang menjadi pilihan berkarier, demikian menurut literatur sejarah. Penampilan yang berani di arena itu bisa mengubah gladiator menjadi pahlawan populer, dan bahkan membuat para tahanan mendapatkan kebebasan. Mungkin yang paling mengejutkan, kebanyakan dari pertarungan itu tidak berakhir dengan kematian. Dari setiap sepuluh gladiator yang memasuki ring, kemungkinan sembilan tetap hidup untuk bertarung di kemudian hari.
II BAB POMPEII, ITALIA
HINGGA NYARIS 600 TAHUN, penduduk Romawi amat terhibur dengan pertarungan gladiator. Mereka adalah subjek favorit seniman Romawi, diciptakan kembali dalam mosaik, fresco, relief pualam, beling, pernak-pernik tanah liat, dan ornamen perunggu yang ditemukan di seluruh penjuru Imperium Romawi. Nyaris setiap kota besar dan kecil, memiliki arenanya sendiri.
Pertarungan kuno ini juga menimbulkan daya tarik bagi imajinasi modern. Berkat penggambaran dalam film dan literatur yang tak terkira banyaknya, dan acap kali keliru, gladiator adalah satu dari aspek budaya Romawi yang paling dikenal—dan disalahpahami.
Itu terjadi karena penulis di masa Romawi menghabiskan sedikit waktu mendiskusikan detail peraturan gladiator. Bisa jadi karena amat familier. (Seberapa sering Anda menuliskan kepada kawan Anda mengenai tendangan dalam sepak bola?) Untuk merekonstruksi cerita sejati dari ring itu, arkeolog dan sejarawan harus menemukan petunjuk dalam seni, ekskavasi, dan mengartikan tulisan naskah kuno.
Layaknya banyak hal terkait Romawi kuno, beberapa bukti tentang gladiator yang terawetkan, datang dari Pompeii, di selatan Naples di masa modern, Italia. Pernah menjadi kota makmur, Pompeii tiba-tiba terkubur akibat erupsi gunung api pada S.M.
Melangkah di jalanan yang terawetkan secara menyeramkan pada masa kini, pengunjung menyaksikan pengingat pertarungan gladiator di mana-mana. Ada amfiteater . kursi di sisi timur kota, dengan Gunung Vesuvius yang besar dan suram terlihat dari deretan tempat duduk paling atas. Iklan yang memudar di pusat kota menampilkan pertarungan yang akan datang. Mosaik dan fresco menangkap adegan sohor dari pertarungan sebelumnya. Tepat di luar teater di kota, saya membungkuk untuk melihat coretan gambar petarung di plester merah yang telah pudar, yang digoreskan dengan tinggi setara mata anak kecil.
Pada , ekskavator awal menguak sekumpulan periasi gladiator di situs tepian kota yang telah diubah menjadi fasilitas pelatihan dan tempat tinggal para petarung, setelah gempa bumi merusak sekolah gladiator setempat.
Mereka seperti bintang musik rok yang seksi,” ujar Katherine Welch, sejarawan seni di New York University. Contohnya Celadus sang Thracia pendatang baru di Pompeii yang menjanjikan, dengan tiga kemenangan yang ia peroleh dan dideskripsikan sebagai “desahan para gadis,” menurut grafiti yang bersifat memuja— atau teman sekampungnya, Crescens, yang menggunakan tombak bermata tiga, sebagai “penjaring para gadis kala malam hari”. Inskripsi di Pompeii menunjukkan bahwa rombongan gladiator berkelana dari kota ke kota, seringnya diikuti oleh penggemar setia.
Bahkan setelah tiga abad ekskavasi, arkeolog terus mengungkap bukti baru di Pompeii. Pada , mereka bekerja di lorong sempit di sisi utara kota, dan menemukan sebuah fresco—teknik mural—yang menggambarkan dua gladiator menggunakan benda yang terlihat sebagai bulu burung unta yang menghiasi helm perunggu mereka, yang dilukis di dinding pub kecil. Alain Genot, seorang arkeolog di museum benda antik di Arles, mengatakan lukisan itu mengandung detail yang belum terlihat sebelumnya: Salah satu petarung menggenakan celana di bawah pelindung kakinya.
Luka berdarah di kedua tubuh lelaki itu menunjukkan bahwa pertarungan itu mengakibatkan cedera. Namun tampak jelas siapa yang kalah: Salah satu petarung, yang mengalami perdarahan dari luka sayat di bagian dadanya yang terbuka dan tampak seperti meringkuk kesakitan, menjatuhkan perisainya dan mengangkat jari telunjuknya. Gestur ini, berulang ditampilkan dalam gambar-gambar gladiator, sama dengan menepuk lantai tanda menyerah dalam pertarungan, dalam gaya kuno.
Karya seni lainnya dari dunia Romawi menampilkan musisi yang membakar semangat kerumunan saat para gladiator mengambil posisi mereka, dan mungkin menambahkan nada yang menegangkan selama pertarungan. Helm dan senjata dibawa ke ring dalam parade sebelum acara, yang dipimpin oleh sponsor atau penyelenggara.
Para wasit adalah sosok penting, yang bertanggung jawab untuk menekankan perasaan kuat terkait pertarungan tanpa kecurangan. Dalam satu penggambaran yang tertangkap dari wadah gerabah kecil yang ditemukan di Belanda, seorang wasit mengangkat tongkatnya untuk menghentikan pertarungan saat seorang asistennya berlari masuk dengan sebilah pedang pengganti.
“Anda tidak kalah dalam pertarungan karena kehilangan senjata,” ujar Genot. “Saat Anda membayangkan pertarungan gladiator sebagai acara olahraga, Anda tidak bisa membayangkan tidak ada peraturan.”
Yang paling penting inskripsi yang menjanjikan tentang: “bertarung tanpa penangguhan hukuman”—dalam kata lain, hingga ajal—dan “bertarung dengan senjata tajam” yang menunjukkan adanya bentrokan yang mengancam jiwa, adalah hal yang tak lazim sehingga butuh dituliskan secara khusus.
Dan layaknya acara olahraga, terdapat banyak informasi statistik yang bisa dianalisis oleh penggemar. Di sepenjuru Romawi, kemenangan, kekalahan, dan kejadian seri pada gladiator digoreskan di dinding dan dipahat di batu nisan. Hasil dari banyak pertarungan tak akan bisa diketahui. Akan tetapi, bayangkanlah apa yang dirasakan oleh Valerius—yang digambarkan dalam grafiti di Pompeii, telah memenangi pertarungan—saat ia memiliki lawan seperti Viriotas, seorang veteran dengan rekor pertarungan.
Gladiator adalah lebih dari sekadar hiburan. Catatan literatur menjelaskan bahwa dengan bertarung—kadang hingga sekarat—dengan gagah berani, gladiator membentuk kembali konsep Romawi akan kejantanan serta moralitas. (Terkecuali, bagi gladiator retiarius yang menggunakan jaring, yang taktik licik serta serangan trisula jarak jauhnya membuat arena tersebut menjadi tempat yang durjana).