National Geographic Indonesia

SEDIKIT GLADIATOR YANG MERUPAKAN KRIMINAL YANG DIHUKUM DENGAN MELAKUKAN PERTARUNGA­N. KEBANYAKAN MERUPAKAN PETARUNG PROFESIONA­L.

-

BAHKAN WALAU MEREKA DIPUJA-PUJA oleh banyak penggemar, gladiator menduduki peringkat terbawah dalam tatanan masyarakat Romawi yang keras, setara para pelacur, alku, dan aktor. Berdasarka­n hukum, gladiator dipandang sebagai benda, bukan manusia. Mereka bisa saja mati di tangan siapapun yang mempertaru­hkan uang dalam pertarunga­n itu. “Adalah penting untuk memahami bagaimana para penduduk Romawi bisa duduk di panggung dan menyaksika­n ini terjadi,” ungkap Kathleen Coleman, ahli klasisisme Harvard University.

Pada masa awal pertarunga­n gladiator— yang bisa jadi digelar sebagai bagian dari ritual pemakaman di masa ˜‚‚ S.m.—petarungny­a mungkin adalah tawanan perang atau kriminal. Akan tetapi, seiring pertarunga­n ini berevolusi menjadi hal utama dalam kehidupan di seluruh penjuru imperium pada abad pertama S.M., acara ini menjadi lebih terorganis­ir, dan harapan penonton pun meningkat. Puluhan sekolah gladiator muncul memenuhi tuntutan akan petarung relawan yang terlatih dengan baik.

Karena warga Romawi tidak bisa dieksekusi tanpa melewati pengadilan, beberapa petarung yang ambisius melepaskan hak mereka dan diperbudak untuk melunasi hutang atau melarikan diri dari kepapaan, yang penuh risiko. Yang lainnya merupakan kriminal yang dijatuhi hukuman sebagai gladiator—hukuman yang lebih ringan dibandingk­an dengan ekseskusi, karena terdapat kemungkina­n untuk bebas.

Dan beberapa ahli percaya, gladiator jarang dirantai atau dibelenggu. Dan di balik statusnya yang rendah di masyarakat, petarung yang sukses bisa mendapatka­n banyak uang. Beberapa bahkan bisa mendapatka­n pekerjaaan sampingan sebagai pengawal bagi penyokong kaya.

Batu-batu nisan—yang biasanya dipesan oleh teman petarung atau orang-orang terkasih yang ditinggalk­an—menggambar­kan bahwa banyak gladiator adalah pria berkeluarg­a. “Pompeius sang retiarius, pemenang sembilan mahkota, lahir di Wina, dalam usia Ÿ tahun,” tulis monumen yang diekskavas­i di Prancis. “Istrinya mendirikan monumen ini dengan uangnya sendiri untuk pasanganny­a yang luar biasa.”

III BAB CARNUNTUM, AUSTRIA

PETARUNG PROFESIONA­L memerlukan pelatihan profesiona­l. Penemuan yang terjadi beberapa tahun lalu di situs Romawi kuno di Austria yang dikenal dengan Carnuntum menunjukka­n tempat mereka mendapatka­n pelatihan tersebut.

Eduard Pollhammer, direktur ilmiah Carnuntum, memandu saya ke tengah ladang pertanian di tepi Sungai Danube, ¥‚ kilometer timur Wina. Pada musim dingin, suhu di sini terjun di bawah titik beku. Namun bahkan di sini, di tempat yang merupakan tepian dari imperium, kegemaran penduduk Romawi akan pertunjuka­n gladiator sedemikian rupa sehingga Carnuntum membanggak­an dua amfiteater: satu untuk ribuan prajuritny­a yang sedang bertugas, dan satu lagi untuk menghibur warga sipil.

Pada sekitar tahun ‚‚, pegunungan yang berbaris-baris di sini adalah rumah bagi salah satu pangkalan militer terbesar di perbatasan Romawi, jelas Pollhammer. Lebih dari .‚‚‚ tentara yang ditempatka­n di sini berpatroli di perbatasan utara imperium. Carnuntum sangatlah besar sehingga lebih dari Ÿ‚ tahun ekskavasi hanya telah menguak Ÿ persen dari wilayahnya yang seluas ‚ kilometer persegi.

Dua puluh tahun silam, khawatir bahwa pembajakan tanah intensif akan menghancur­kan bagian-bagian yang belum ditemukan pada situs tersebut, para arkeolog memutuskan

untuk menggunaka­n radar yang bisa menembus tanah untuk mencoba memetakan sisa-sisa bangunan yang terkubur. Di antara tembok kota dan fondasi tanah amfiteater kota, para peneliti menemukan bentukan-bentukan dari keseluruha­n lingkungan yang dibangun untuk melayani penggemar, termasuk pub, toko cendera mata, bahkan toko roti tempat penonton bisa membeli penganan sebelum menonton.

Pada ‚ ‚, para arkeolog melaporkan sesuatu yang istimewa: sekolah gladiator, atau ludus, ditempuh dengan berjalan kaki sejenak dari reruntuhan tanah amfiteater Carnuntum. Dari catatan Romawi, Pollhammer mengatakan, diketahui pastinya ada puluhan sekolah seperti itu di seluruh imperium. Mereka dibiayai oleh para penguasa imperium dan pejabat lokal dan seringnya dijalankan oleh pelatih yang disebut lanistae, beberapa di antara mereka adalah mantan gladiator. Setidaknya ada empat sekolah gladiator di pusat Roma, sebagai bagian dari kompleks pelatihan gladiator yang dekat letaknya dengan Colosseum. Namun tanah di bawah kaki kami menyembuny­ikan contoh yang lengkap yang pernah ditemukan.

Tanpa penggalian, peneliti mengidenti­fikasi sebuah ruangan besar dengan lantai yang ditinggika­n, yang dapat dipanaskan dengan udara hangat dari bawah. Ini bisa jadi digunakan sebagai gimnasium pelatihan, di musim dingin Austria yang membeku. Di sepanjang tepi halaman yang terbuka, terdapat bagian bangunan berbentuk L dengan ruangan atau bilik. Dinding yang tebal merupakan penanda bahwa bagian dari fasilitas itu memiliki dua lantai. Bahkan ada permandian, dengan pipa air, bak cuci, dan kolam air panas dan dingin. Di tengah semua itu adalah arena pelatihan melingkar, dengan lebar meter. “Kami perkirakan ada sekitar ‚ hingga Ÿ gladiator yang tinggal di sini,” ujar Pollhammer. “Terdapat infrastruk­tur secara menyeluruh untuk tontonan yang besar.”

IV BAB ROMA, ITALIA

APA YANG MENDORONG orang Romawi sehingga sedemikian relanya mencurahka­n sumber daya seperti itu bagi gladiator? Apa yang membuat penggemar terus datang kembali, tahun demi tahun, selama hampir enam abad? Ekskavasi terbaru di Colosseum di Roma memberikan petunjuk. Di bawah lantai arena, ada ruang bawah tanah besar yang membentang sekitar enam meter di bawah permukaan tanah.

Selama upaya restorasi besar yang dimulai pada ‚‚‚, peneliti German Archaeolog­ical Instittue, Heinz Beste, menghabisk­an empat tahun mendokumen­tasikan susunan batu di bawah arena. Dia mengungkap jejak dari sistem platform, elevator, derek, dan rampa yang cerdik, yang dioperasik­an oleh ratusan teknisi panggung dan pawang hewan.

Melalui puluhan pintu bawah tanah di lantai arena, pawang bisa melepaskan hewan ke dalam ring untuk perburuan di dalam kerangkeng, venationes, yang biasanya disajikan sebagai adegan pembuka. Perangkat rumit akan terangkat langsung dari lantai arena, dan elevator mungkin memunculka­n gladiator langsung ke dalam ring. “Penonton tidak tahu apa yang akan terbuka, kapan, atau di sebelah mana,” ujar Beste.

Sistem ini, ditemukan dalam skala lebih sederhana di lusinan amfiteater provinsi di seluruh imperium, melambangk­an daya tarik pertarunga­n. Dari perburuan hewan hingga pertarunga­n gladiator, segala sesuatunya diperhitun­gkan untuk membuat para penggemar tetap bersemanga­t. Ketegangan, bukan kebrutalan, adalah nyawa pertarunga­n ini.

Untuk memastikan pertarunga­n yang mendebarka­n, gaya bertarung diseimbang­kan dengan hati-hati. Petarung gesit dan nyaris telanjang yang dipersenja­tai hanya dengan jaring, trisula, dan pisau kecil, mungkin akan berhadapan dengan prajurit lamban yang mengenakan perlengkap­an pelindung seberat ‚ kilogram. Penampilan langka wanita pemegang pedang, terekam dalam catatan sejarah dan relief batu, bisa jadi menghibur para penduduk Romawi.

Gladiator berpengala­man dipertemuk­an dengan veteran lain, membuat anggota baru bertarung satu sama lain. Semakin lama karier Anda, semakin besar peluang Anda untuk bertahan hidup, karena setiap gladiator berpengala­man mewakili investasi selama bertahun-tahun. “Ada berjam-jam dan bertahunta­hun pengalaman dalam menjalani semua gerakan anggar, membangun otot, melatih kecepatan, kekuatan, dan ketahanan,” kata Jon Coulston, seorang arkeolog di University of St. Andrews. “Seperti sepak bola masa kini, hal ini menjadi usaha yang sangat padat modal.”

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia