CARA TUBUH MENANGANI PANAS
Mempertahankan suhu internal konstan sekitar 37 °Celsius adalah tindakan penyeimbangan. Otot dan organ menghasilkan panas yang dikeluarkan melalui kulit. Namun tubuh juga menyerap panas dari sekitar. Iklim yang memanas memajan hampir sepertiga populasi dunia, pada panas yang berpotensi mematikan. LETIH BAHANG Mual, kelelahan, kram, ruam, dan pusing—seringkali disebabkan oleh kombinasi suhu tinggi, pengerahan tenaga secara fisik, dan kelembapan yang tinggi—adalah sinyal yang dikirim tubuh ke otak untuk mengurangi aktivitas dan mendinginkan diri. Gejala ini bisa berkembang menjadi sengatan bahang yang lebih mematikan. SENGATAN BAHANG Sakit kepala, kebingungan, muntah, dan kehilangan kesadaran dapat terjadi ketika suhu tubuh mencapai 40 °C. Sengatan bahang membutuhkan perawatan darurat. Hal ini dapat dengan cepat merusak otak, jantung, ginjal, dan otot, serta berakhir dengan koma dan kematian.
yang menjauhkan udara lembap dari tabung, tetapi bukan dari bahang yang dipancarkan, Meggers mengatakan, dia telah memecahkan masalah itu.
Di Singapura yang superlembap, tempat Cold Tube pertama kali digunakan, sistem ini menghasilkan lingkungan yang nyaman—tetapi tak terlalu dingin—menggunakan kurang dari setengah energi AC konvensional dan menghasilkan setengah panas buangannya. Penghematan energinya tidak begitu spektakuler di lingkungan yang gersang. Namun, panel radiatif berinsulasi membran, kata Meggers, masih lebih efisien daripada sistem konvensional.
Karena panel ini mendinginkan tubuh manusia, alih-alih volume udara yang besar, panel ini dapat bekerja dengan baik bahkan di lingkungan luar ruangan. Tantangan terbesarnya, Meggers menduga, adalah terkait sikap. “Para perekayasa terbiasa memikirkan kenyamanan dan pendinginan pada musim panas, terkait dengan AC.”
NEW YORK CITY, TEMPAT SAYA
TINGGAL, mengurutkan kerentanan lingkungan terhadap panas, berdasarkan faktor risiko seperti kemiskinan, akses terhadap AC, dan ketersediaan ruang hijau. Lingkungan upper Manhattan yaitu East Harlem, mendapat skor 5—yang terburuk— dalam indeks ini. Tingkat kemiskinannya yang sebesar 31 persen hampir dua kali lipat rata-rata kota, dan memiliki tingkat kepemilikan AC yang paling rendah—88 persen—di kota itu.
Pada hari musim panas yang amat terik, saya bertemu Sonal Jessel, direktur kebijakan organisasi nirlaba WE ACT for Environmental Justice, untuk berjalan-jalan di East Harlem. Saat kami melangkah, Jessel mengalihkan perhatian saya pada sebuah bangunan rumah susun, tempat handuk-handuk dan kain-kain lap mengisi celah antara AC dan bingkai-bingkai jendela.
“Tagihan listrik mereka pastinya meroket,” ujar wanita ini. East Harlem dihuni 27 persen penduduk kulit hitam, dan rumah tangga kulit hitam membayar, rata-rata, ratusan dolar lebih banyak per tahun untuk energi, dibandingkan dengan rumah tangga kulit putih dengan pendapatan yang sebanding.
Bangunan mereka lebih tua dan lebih mudah bocor, kata Jessel, dan kondisi kehidupan mereka mungkin lebih sesak. “Jika Anda mencoba untuk bekerja atau belajar di ruang tamu ber-ac dan ada tiga orang yang berisik di sana,” katanya, “Anda pindah ke ruangan lain dan menyalakan AC lain.”
Pohon jalanan adalah hal yang langka, dan bahang memancar dari trotoar, bangunan, dan blok-blok mesin dan pipa-pipa knalpot mobil. Jessel dan saya melewati banyak petak tanah kosong yang ditumbuhi rumput liar, dan toko-toko telah tutup lama sebelum pandemi. “Lingkungan ini tercabik-cabik karena adanya kekosongan ini,” ujar Jessel.
Ini juga dapat membuat penduduknya lebih rentan terhadap bahang. Sosiolog Eric Klinenberg mempelajari gelombang bahang Chicago pada 1995 yang mengakibatkan lebih dari 700 orang meninggal. Ia menemukan bahwa lingkungan berpenghasilan rendah dengan ruang publik yang penuh kehidupan serta banyak kegiatan komersial, memiliki lebih sedikit kematian terkait panas. Orang-orang di lingkungan yang kurang melakukan pergerakan dan aktivitas, jauh lebih kecil kemungkinannya untuk melangkah keluar guna mencari ketenteraman atau mengunjungi tetangga yang peduli, duganya. Itu terjadi karena mereka tidak mengenal satu sama lain, hanya memiliki sedikit tempat untuk dikunjungi, dan kadang takut untuk berjalan-jalan. Jadi mereka tetap di dalam—kepanasan, dan wafat.
New York menjalankan beberapa puluh pusat pendingin—bangunan yang membuka pintunya bagi publik selama gelombang bahang. Di New York, pusat-pusat kegiatan itu tutup pada malam hari, dan banyak orang tidak menyadari bahwa tempat seperti itu ada. Beberapa orang menolak untuk mengunjungi tempat tersebut karena takut apartemen kosong mereka akan
Jika kita meningkatkan kehidupan mereka yang paling rentan, kita juga akan meningkatkan ketahanan kita terhadap bahang yang ekstrem.