Mereka yang Terempas dan Terputus
PERPECAHAN AFGANISTAN belakangan ini membuat saya termangu. Akankah gelombang pengungsi asal negeri itu kembali mengalir ke Indonesia?
Sepuluh tahun silam, majalah ini menggelar kampanye global Tujuh Miliar, yang menandai populasi manusia di Bumi. Salah satu kisahnya tentang pengungsi mancanegara, yang kala itu membanjiri negeri kita.
Saya menjumpai para pengungsi di rumah detensi Tanjungpinang. Seorang pemuda lugu bermata sipit memperkenalkan diri.
Asgharie—nama samaran yang dia pilih sendiri untuk wawancara kami. Usianya baru 16 tahun, asal Afganistan.
Dia bersama rombongannya berpesawat dari Pakistan ke Malaysia. Berlanjut memasuki pesisir timur Sumatra secara ilegal dengan kapal motor. Lalu, bermobil menuju Jawa. Apesnya, mereka tercium petugas di Bandar Lampung.
Pengungsi acap kali tak terlindungi, sehingga memungkinkan menjadi korban kasus lainnya. Dia berkisah bahwa rombongannya mengalami pemerasan oleh petugas yang mengurung mereka di sebuah hotel sebelum dipindahkan ke detensi imigrasi. “Keadaannya sangat buruk. Saya tak punya apa pun, ini penjara. Tak punya kebebasan, tak pernah melihat matahari,” ujarnya.
Saat itu Asgharie baru saja mendapatkan status pengungsi dari UNHCR. Berarti, jalannya menuju Australia tinggal selangkah lagi.
Ada beberapa motivasi orang untuk mengungsi: diskriminasi status sosial, pengalaman hidup yang traumatis, dan cerita sukses. Boleh jadi, mereka pergi dengan kondisi psikologis yang buruk.
Pada dekade pertama abad ini, aliran pengungsi negara-negara konflik ke Indonesia meningkat. Sebabnya, konflik di Afganistan, ketidakstabilan politik di Irak, dan perang saudara di Srilangka. Pergerakan pengungsi sangat dekat dengan situasi perang, kekerasan massal, ketidakstabilan politik, dan pelanggaran HAM.
Saat meninggalkan rumah detensi, saya berpikir, semoga pertikaian di penjuru Bumi segera usai. Asgharie mewakili sosok yang terempas dari negerinya dan terputus dari orangorang yang dicintainya. Satu Asgharie pun sudah terlalu banyak.