Bencana Perpecahan Afganistan
KEBEBASAN yang diperoleh orang-orang Afganistan sejak 2001 berada di ujung tanduk saat kaum ekstremis menggenapi usaha mereka dalam mengambil alih negara, yang dipicu oleh keluarnya AS dari sana.
Kabut biru asap shisha memenuhi Café Delight di Kandahar pada suatu siang di akhir pekan belum lama ini. Mudah lupa rasanya jika sedang terjadi perang di luar sana.
PARA PROFESIONAL MUDA dengan janggut dicukur rapi tengah duduk santai di kursi-kursi empuk. Mereka menyesap espreso di bawah layar datar yang mendentumkan video musik Turki dan India yang meriah. Perut terbuka para wanita diburamkan oleh sensor saluran televisi.
Ini masih Afganistan, yang masyarakatnya Islam konservatif. Namun, pelanggan ini datang dari generasi urban yang lebih permisif dan besar sejak setelah kejatuhan Taliban. Kenangan mereka samar, nyaris tak ada, akan rezim fundamental penuh penindasan yang lahir di kota selatan. Rezim ini melarang televisi, musik, bioskop; melarang pria mencukur jenggotnya; memaksa wanita mengenakan burkak.
Ahmadullah Akbari, pemilik kafe, pulang setelah dua tahun di Dubai pada 2018. Ia pun memulai bisnisnya di Ayno Maina, sebuah pengembangan modern di tepi Kandahar.
Di balik gerai kafe beberapa bulan silam, Akbari mengamati monitor-monitor CCTV yang belum lama ia pasang untuk menghindari “bom lengket”—peledak sederhana dipicu telepon seluler—yang menyasar pegawai pemerintah, aktivis, kaum minoritas, dan wartawan, juga warga sipil secara acak. Ini bagian dari strategi kaum ekstremis untuk mengurangi penentang dan menanamkan ketakutan, jauh ke pusat kota. Diperkuat kesepakatan pada Februari 2020 dengan AS yang mengesampingkan pemerintah Afganistan dan memberi jalan bagi penarikan pasukan AS di akhir Agustus, Taliban mempererat cengkeraman di pedesaan, mulai merambah kota-kota dengan kecepatan mencengangkan.
Namun, dengan barisan eukaliptus di tepi jalanan, vila-vila mewah, dan plaza pusat perbelanjaan yang diterangi listrik hampir sepanjang hari, kompleks bergerbang Ayno Maina menawarkan suasana normal hunian pinggir kota bagi kaum menengah dan atas Afganistan, yang banyak di antaranya memperoleh gaji dari pemerintah. “Di sini kami tak was-was,” ujar Suleiman Aryan, 28 tahun, guru Bahasa Inggris yang tinggal dan bekerja di kompleks ini bersama istri dan dua anaknya.
Itu dulu. Kini ketenangan telah hancur.
Pada 15 Agustus, Taliban yang bangkit kembali memasuki ibu kota Kabul, saat Presiden Ashraf Ghani dilaporkan pergi dari negara itu. Letusan senjata serta kepanikan pecah di jalanjalan. Beberapa hari sebelumnya, kaum militan Islam radikal itu merebut Kandahar, kota kedua terbesar, bersama sederetan ibu kota provinsi.
State Department AS dan Pentagon berlomba mengevakuasi personelnya dan sejumlah orang Afganistan yang bekerja bagi pemerintah Amerika dari Kedutaan AS di Kabul. Di tempat itu, bendera Amerika telah diturunkan, membuat orang-orang membandingkannya dengan jatuhnya Saigon.
Dua puluh tahun berlalu sejak AS menginvasi Afganistan, guna menghabisi teroris Al Qaeda di balik penyerangan 11 September dan menggulingkan rezim Taliban Afganistan yang melindungi mereka. Pemimpin Taliban mengungsi di negara tetangganya, Pakistan, dan saat perhatian Washington beralih ke perang di Irak, mereka berusaha kembali. Suntikan bantuan militer dan dana pembangunan bagi pemerintahan pasca-taliban dilakukan, sebagian besar dari AS, dengan total lebih dari 150.000 pasukan internasional dan hampir tujuh miliar dolar dalam setahun, pada 2011. Namun, ini gagal menghancurkan Taliban. AS akhirnya memutuskan mengakhiri perang modernnya.
Dalam minggu ketiga Agustus ini, kaum militan Taliban mengambil kembali hampir semua kota utama, dan telah mengendalikan sebagian besar distrik lokal di seluruh 34 provinsi negara itu. Dari empat orang Afganistan, tiga di antaranya berusia di bawah 25 tahun: terlalu muda untuk mengingat masa kekuasaan Taliban yang penuh ketakutan. Dan, terutama di pusat-pusat kota, terlalu terbiasa dengan kebebasan. Sejumlah orang di pedesaan memandang kembalinya kaum fundamentalis itu sebagai hal yang tak dapat dihindari dan lebih disukai, tetapi banyak orang Afganistan yang dibentuk oleh kenyataan pasca-2001, menentang, tak ingin kembali ke masa lalu yang reaksioner dan penuh tekanan.
SEKITAR DELAPAN KILOMETER di luar Kandahar, Sungai Arghandab menjadi garis depan pertempuran berbulan-bulan silam. Pada suatu Maret pagi yang cerah, pesawat A-29 Angkatan Udara Afganistan berputar dan menukik meluncurkan bom ke target dari bata lumpur di sisi sungai yang dikuasai Taliban. Kaum militan membalas dengan tembakan roket yang membabi buta sehingga menewaskan warga sipil dan mengubah pasar di dekat situ menjadi kota hantu.
Pada musim panas, lembah sungai berubah menjadi labirin rimbun perkebunan buahbuahan yang lebat, dengan kanal dan dinding tanah yang memberi persembunyian bagi kaum militan untuk menyergap tentara AS satu dasawarsa yang lalu. Keamanan kemudian diperbaiki, sehingga petani bisa memanen anggur dan delima yang terkenal dari lembah itu. Namun, warga setempat mengatakan, keadaan yang relatif tenang itu terusik oleh merajalelanya suap, pilih kasih terhadap suku tertentu, dan kebijakan predator yang membuat kesal orangorang yang tak mendapatkan layanan dasar. Dua puluh lima tahun silam, ketidakpuasan terhadap penguasa bersenjata yang korup memungkinkan berkuasanya Taliban. Penyalahgunaan kekuasaan serupa yang terjadi kini juga mendorong kemunculan kembali kelompok itu.
Beberapa tahun silam, “Arghandab, distrik ternyaman di wilayah ini,” kenang Shah Mohammad Ahmadi, mantan gubernur distrik. “AS melakukan apa yang seharusnya mereka perbuat; ada banyak proyek bagus di sini. Sayangnya, beberapa pejabat korup kami mengkhianati negara dan hanya memperkaya diri. Saat orang tak lagi didengar pemerintah, mereka mencari bantuan pihak lain seperti Taliban.”
Haji Adam, seorang tetua suku di sisi sungai yang dikuasai Taliban, mengatakan, “tidak ada hal penting yang dibangun” di Kandahar sejak Taliban diusir pada 2001. Satu-satunya rumah sakit skala besar di wilayah itu, ia perhatikan, dibangun Tiongkok pada 1970-an.
Belakangan, Rumah Sakit Mirwais dipenuhi korban perang. Di ujung lorong, Lalai, 16, kritis akibat peluru menyasar yang ditembakkan di distrik yang dikuasai Taliban. Kerabat membawanya ke Kandahar setelah dua operasi yang gagal di klinik setempat. “Ia yatim piatu,” bisik pamannya. “Kedua orang tuanya meninggal, abangnya tewas tiga bulan lalu.” Setelah sebulan dirawat, kondisi Lalai memburuk. Sepuluh hari kemudian dia wafat.