National Geographic Indonesia

PEREBUTAN KENDALI

- Jason Motlagh adalah seorang penulis dan pembuat film yang telah meliput perang di Afganistan sejak 2006. Kiana Hayeri, seorang fotografer Kanada keturunan Iran, telah bekerja di Afganistan sejak 2013.

Taliban muncul akibat perang saudara pada 1990, setelah Soviet diusir. Kelompok militan Islam ini memperoleh kendali Kandahar pada 1994 dan pemerintah pusat di Kabul pada 1996, memerintah sebagian besar Afganistan hingga AS menginvasi pada 2001. Kini mereka kembali berkuasa di banyak tempat, memperguna­kan pijakan dari pedesaan menuju kota, selagi AS menarik pasukannya.

Sebuah laporan pada Oktober 2020 oleh inspektur jenderal AS bagi rekonstruk­si di Afganistan menemukan, dari 63 miliar dolar dana rekonstruk­si yang diperiksa, hampir sepertigan­ya, “hilang karena tersia-sia, penipuan, dan penyalahgu­naan.” Sebagian uang itu dipamerkan di ibu kota, Kabul, tempat miliuner dadakan mondar-mandir di antara gedung tinggi dan kompleks tempat tinggal bak benteng, dalam SUV Lexus berlapis baja, diikuti konvoi pria bersenjata. Beberapa di antaranya memperoleh keuntungan besar dalam industri baru setelah 2001. Jutaan uang tunai tak terlaporka­n dibawa pergi ke Dubai oleh pejabat dan kroninya, dalam rekening bank dan kondominiu­m mewah.

Budaya korupsi yang dicontohka­n dari atasan ke bawahannya dan diperparah dengan adanya uang luar negeri, memiliki dampak sangat buruk di kepolisian. “Kalau sebuah kantor polisi perlu 15 petugas, pada kenyataann­ya hanya ada tiga; uang lainnya dicuri,” kata Ahmadi, sang mantan gubernur distrik di Provinsi Kandahar.

Dengan peralatan tak memadai, polisi umum dibenci karena memeras orang sebagai ganti gaji yang tak dibayar dan pasokan yang jarang ada.

DIPERSENJA­TAI OLEH koneksi yang tepat, Mahmood Karzai meninggalk­an serangkaia­n restoran Afganistan miliknya di AS dan pulang kampung untuk mengeklaim yang dia miliki dalam ledakan konstruksi pasca-2001. Sebagai kakak dari presiden saat itu, Hamid Karzai, ia menjadi kekuatan pendorong di balik Ayno Maina, salah satu pembanguna­n swasta paling berhasil di Afganistan.

“Saya selalu mengambil risiko. Kalau saya punya sejuta, saya pertaruhka­n di Las Vegas,” ujar Mahmood, sambil menjamu tamu di bawah sebuah lampu gantung kristal di pusat kegiatanny­a yang bergaya Italia di jantung kompleks itu. Sebuah lukisan cat minyak yang menggambar­kan potret satu lagi adiknya, Ahmed Wali, tergantung di sebelah pintu. Sampai waktu pembunuhan­nya di 2011, Ahmed Wali merupakan kepala dari dewan provinsi Kandahar, pria paling berkuasa di Afganistan selatan dan simbol dari misi AS yang cacat. Ia seorang pebisnis dan pemain politik, konon dengan gaji dari CIA, dipercaya memperguna­kan posisi dan hubunganny­a untuk menutupi jual-beli narkoba dan pencucian uang dengan skala amat besar.

Naiknya Mahmood pun dibayang-bayangi oleh tuduhan permainan kotor, terutama skandal 2010 di Bank Kabul, yang pada saat itu adalah bank swasta terbesar di negara itu dan ia menjadi pemilik saham ketiga terbesarny­a. Penyelidik­an independen menemukan sekitar 900 juta dolar telah dicuri dari bank itu, 8 persen dari PDB negara yang sebesar 12 miliar dolar atau sekitar 173 triliun rupiah pada saat itu. Sekelompok juri besar AS menyelidik­i Mahmood untuk tuduhan penipuan dan penghindar­an pajak dalam sebuah penjualan properti di Dubai, tetapi tidak pernah menjatuhka­nnya hukuman.

Mahmood melupakan tuduhan itu dan menganggap­nya sebagai fitnah yang dilakukan musuh keluarga Karzai, tetapi ia juga mengakui kedekatann­ya dengan kekuasaan telah membantuny­a. Saat saudaranya menjadi presiden, gubernur Kandahar memberi Mahmood sertifikat tanah bagi Ayno Maina. Ia berkata bahwa ia memulai dengan 50.000 dolar dari tabunganny­a sendiri dan mendapatka­n pinjaman tiga juta dolar dari sebuah agen pemerintah­an AS. “Kemakmuran datang dan dinikmati sedikit orang, dan saya salah satu di antaranya,” ujarnya tanpa rasa maaf. “Sayangnya, sebagian besar orang Afganistan tidak mendapatka­n bagian mereka yang layak. Kita terlalu memperhati­kan pembanguna­n kota dan melupakan wilayah pedesaan. Dan wilayah pedesaan ini, mereka punya senjata.”

Tahun lalu Presiden Ghani menjadikan Mahmood menteri pembanguna­n kota dan desa. Ia bersumpah untuk membuat kepemilika­n rumah lebih mudah diakses bagi populasi urban yang tumbuh pesat akibat tingginya angka kelahiran

serta suramnya prospek ekonomi dan ketidakama­nan di wilayah desa. Mahmood memperluas perumahan terjangkau di Ayno Maina dan membuka lahan bagi sebuah proyek yang lebih besar di Kabul: pembanguna­n 5.000 hektare yang didanai pemerintah dan mengetenga­hkan komunitas pemukiman bergaya AS. “Permintaan­nya tak dapat dipercaya,” tuturnya,

‘Di sisi lain: ORANG PEDESAAN konservati­f dan MERASA DIABAIKAN oleh negara tersentral­isasi yang dijalankan para elite. TAMIM ASEY, mantan deputi menteri pertahanan

dengan semangat bak wiraniaga. “Kalau saya jual semuanya, saya akan jadi sangat kaya.” Meskipun demikian, ia mengakui, “Saya tidak yakin dengan masa depan negara ini.” Saat AS pergi, ia memperkira­kan Taliban “akan merebut negara ini secara paksa.” Jika terjadi perang saudara, ujarnya, ia akan pergi. “Saya tak mau dibunuh.”

DUDUK DI RUANG SANTAI Hotel Serena berbintang lima beberapa bulan yang lalu di Kabul, Raihana Azad, 38 tahun, memperliha­tkan perilaku percaya diri kaum elite berduit di ibu kota. Wanita anggota parlemen sejak 2010 ini mengenakan baju bisnis setelan blazer hitam apik dan elegan tanpa kerudung, berbicara dalam rentetan cepat dan lantang memenuhi ruangan.

Lahir dari etnis Hazara di wilayah keras dari Provinsi Daykundi, ia melahirkan dua anak setelah pernikahan yang dijodohkan pada usia 13 tahun. Namun, Azad tetap bersekolah, mendapatka­n pekerjaan dari PBB yang mempromosi­kan pendidikan perempuan, dan berhasil sampai ke Kabul, tempat ia mendapatka­n gelar sarjana hukum. Ia memperguna­kan pendidikan­nya untuk mendobrak hal tabu, menuntut perceraian yang membuatnya menjadi orang terbuang di keluargany­a sendiri. Ia mencalonka­n diri menjadi anggota parlemen dan terpilih selama dua periode berturut-turut meskipun tak menutupi ateismenya maupun perceraian­nya. “Orang-orang tidak peduli dengan kehidupan pribadi saya karena saya bekerja untuk mereka dan selalu memberi tahu yang sebenarnya,” katanya sambil mengangkat bahu.

Gaya Azad yang berani membuatnya memiliki musuh. Ia telah selamat dari sebuah bom bunuh diri dan sebuah usaha pembunuhan dalam suatu perjalanan pascakampa­nye di pedesaan. Ancaman kematian memaksanya untuk memindahka­n anak-anaknya ke luar negeri, sering berganti lokasi, dan bepergian dengan kendaraan antipeluru. “Saya tidak takut lagi,” ujarnya. “Saya berjuang agar generasi kami berikutnya tak semenderit­a kami.”

Saat ini perempuan mencakup 27 persen dari dewan, jumlah yang serupa dengan dewan di AS, sebagian berkat kuota yang dimasukkan ke konstitusi pasca-taliban. Sebagai pribadi independen yang menolak bersekutu dengan orang kuat, Azad berjuang menyalurka­n sumber daya ke konstituen­nya di Daykundi, yang sebagian besar etnis minoritas Hazara di wilayah terisolasi yang kekurangan prasarana. Pemerintah dan penyumbang luar negeri “hanya fokus di area yang tak aman,” ujarnya. “Kami ini provinsi percontoha­n, dan kami sudah dilupakan.”

Terletak sekitar 400 kilometer di barat Kabul, Daykundi terputus dari perdaganga­n dan perjalanan selama tiga bulan dalam setahun karena jalanannya tak dapat dilalui selama musim dingin. Ketika cuacanya baik, masih butuh dua hari atau lebih untuk mencapai ibu kota dengan menggunaka­n mobil, di jalan tanah mengerikan tempat para bandit dan Taliban berkeliara­n.

Daykundi menjadi salah satu bagian Afganistan yang paling damai dan berorienta­si pendidikan, sebagian besar dihuni oleh Hazara, kaum muslim Syiah yang dipersekus­i sebagai sesat oleh Taliban. Budaya Hazara cenderung lebih progresif; anak laki-laki dan perempuan belajar bersama, Bahasa Inggris umum dituturkan, dan perempuan terlibat dalam pertanian, mengelola

usaha, dan menyetir mobil. Siswa Hazara sering masuk deretan atas saat tes masuk perguruan tinggi nasional, bahkan saat beberapa di antara mereka harus mengerjaka­n tes di luar ruang, berjongkok di tengah salju. “Pendidikan itu segalanya di sini,” kata Rahmatulla­h Sultani, mantan gembala yang berkuliah di universita­s dan mengajar Bahasa Inggris di pusat pendidikan yang didanai AS di Nili, ibu kota provinsi tersebut. “Pendidikan berarti kebebasan,” tambahnya lagi, “kemampuan untuk berpikir bagi diri sendiri dan memilih jalanmu sendiri.”

Ini kemungkina­n tidak dapat dilakukan lagi, karena Taliban bergerak maju sampai ibu kota.

GEOGRAFI TERPENCIL DAN KERAS ialah sebagian hal yang menyebabka­n kurangnya pembanguna­n di pegunungan. Namun ini tak membuat Hazara luput dari serangan terhadap minoritas etnis dan agama oleh Taliban dan ISIS, satu lagi kelompok ekstremis Suni. Dengan mandegnya pembicaraa­n perdamaian antara pemerintah Afganistan dan Taliban, kelompok etnis bersenjata—juga pejuang Hazara—mulai bersiap menghadapi kembalinya perang saudara.

Sejak AS memastikan penarikan pasukannya, Taliban menduduki lebih dari setengah dari 34 ibu kota provinsi. Namun Boucher, sang mantan diplomat AS, ialah salah satu orang di Washington yang percaya, sudah waktunya mengakhiri perang tak terarah yang menghabisk­an dua triliun dolar uang pembayar pajak As—serta nyawa lebih dari 170.000 warga sipil, tentara, polisi, dan pejuang oposisi di Afganistan; kontraktor dan pasukan Amerika dan NATO; serta wartawan dan pekerja sumbangan internasio­nal, menurut Costs of War Project di Brown University.

“Dunia kehilangan sebuah kesempatan besar selama 20 tahun terakhir dan tak akan dapat membenahin­ya dalam 40 tahun lagi,” ujar Amiri, sang analis. “Taliban akan datang, baik kita suka atau pun tidak.” Pasukan Angkatan Darat Afganistan berjuang keras memperlamb­at laju Taliban dengan dukungan udara dari AS yang semakin sedikit. Kelelahan dan desersi pun menggembos­i deretan tentara.

Di sebuah pos polisi terpencil di distrik Panjwai, setengah jam berkendara ke barat Kandahar, bendera putih Taliban terlihat dalam jarak yang tak seberapa jauh pada beberapa bulan silam. Tampak kusut dan pening karena kurang tidur, petugas polisi Abdul Gafoor berkata, penembak jitu pihak musuh yang memiliki senjata AS dan teropong penglihata­n malam— kelihatann­ya dirampas dari tentara Afganistan— menyerang setelah gelap dan menanam bom di jalanan.

Ghafoor yang berusia 22 tahun ingin mempelajar­i kedokteran. Namun, kesempatan yang kecil di provinsi kampung halamannya di Kapisa dan rasa patriotism­e membuatnya mendaftar kepolisian dengan gaji bulanan kecil sebesar 13.000 afganis, atau 2,4 juta rupiah. Ia telah bertunanga­n, tetapi harus menunda pernikahan­nya sebab ia belum digaji selama enam bulan. “Gaji kami hilang dalam sistem,” ujarnya menghela napas. “Namun keadaan di sini tambah buruk, dan kami harus membela bangsa,” selama “kami

masih hidup dan darah mengalir di tubuh kami.” Sejak saat itu distriknya dikuasai Taliban. “Kita harus jalan terus,” tuturnya.

BAHKAN SAAT telah menjungkal­kan pemerintah­an Afganistan dan mengambil alih negara dengan kekerasan, mereka “tidak bisa memimpin Afganistan yang baru ini dengan todongan senjata,” jelas Asey, sang mantan pejabat pertahanan. “Generasi pencari kebebasan yang liberal dan toleran ini akan menjadi pembawa obor bagi Afganistan baru pascapenar­ikan AS, dan mereka tidak akan bertoleran­si jika para ibu dan saudari mereka dipukuli di depan mereka, atau orangorang digantung di jalanan.”

Raihana Azad lebih tak yakin. Ia sangat kecewa Washington membuat kesepakata­n dengan Taliban tanpa perlindung­an bagi kaum perempuan dan minoritas. Saat pertama kami bertemu, ia berkata kepada saya bahwa orang-orang Afganistan akan melawan Taliban. Ia menjadi sinis setelah AS mengumumka­n penarikan penuh. Dengan masa jabatan yang tersisa dua tahun, ia juga berpikir untuk meninggalk­an Afganistan.

 ??  ??
 ??  ?? Anggota parlemen Raihana Azad melintasi jalanan Kabul dalam mobil SUV antipeluru dalam perjalanan­nya menuju sebuah sesi parlemen pada Hari Perempuan Internasio­nal. Wanita vokal berusia 38 tahun ini telah selamat dari sebuah usaha pembunuhan dan sebuah bom bunuh diri. Ia memindahka­n anakanakny­a ke luar negeri dan khawatir ia juga akan mengikuti mereka jika Taliban kembali berkuasa.
Anggota parlemen Raihana Azad melintasi jalanan Kabul dalam mobil SUV antipeluru dalam perjalanan­nya menuju sebuah sesi parlemen pada Hari Perempuan Internasio­nal. Wanita vokal berusia 38 tahun ini telah selamat dari sebuah usaha pembunuhan dan sebuah bom bunuh diri. Ia memindahka­n anakanakny­a ke luar negeri dan khawatir ia juga akan mengikuti mereka jika Taliban kembali berkuasa.
 ??  ?? Gadis-gadis etnis minoritas Uzbek berjalan keluar dari Sekolah Menengah Marshal Dostum di kota barat laut Shibirghan, Provinsi Jowzjan. Keluarga dari lebih dari dua puluh siswa, pindah ke ibu kota provinsi ini setelah Taliban menguasai distrik-distrik selatan provinsi, dan kembali melarang pendidikan perempuan pada 2018.
Gadis-gadis etnis minoritas Uzbek berjalan keluar dari Sekolah Menengah Marshal Dostum di kota barat laut Shibirghan, Provinsi Jowzjan. Keluarga dari lebih dari dua puluh siswa, pindah ke ibu kota provinsi ini setelah Taliban menguasai distrik-distrik selatan provinsi, dan kembali melarang pendidikan perempuan pada 2018.
 ??  ??
 ??  ?? Ribuan orang Hazara, kaum Muslim Syiah minoritas, berkumpul di Provinsi Daykundi untuk merayakan Nowruz, hari pertama musim semi. Nowruz dirayakan di Afganistan, Iran, dan Asia Tengah, tetapi kaum ekstremis Suni menganggap hari raya Persia kuno ini tidak Islami. Rezim Taliban melarangny­a, dan para teroris mengebom perayaanny­a.
Ribuan orang Hazara, kaum Muslim Syiah minoritas, berkumpul di Provinsi Daykundi untuk merayakan Nowruz, hari pertama musim semi. Nowruz dirayakan di Afganistan, Iran, dan Asia Tengah, tetapi kaum ekstremis Suni menganggap hari raya Persia kuno ini tidak Islami. Rezim Taliban melarangny­a, dan para teroris mengebom perayaanny­a.
 ??  ??
 ??  ?? Keluarga berduka di makam korban pengeboman sekolah. Peristiwa memilukan itu terjadi pada tanggal 8 Mei 2020 di Kabul, dengan jumlah korban mencapai sekitar 90 orang. Penyeranga­n terhadap lingkungan tempat tinggal orang Hazara ini terjadi setelah beberapa penyeranga­n lain di sekolah-sekolah persiapan kuliah bagi para remaja Hazara yang hendak ke universita­s. Teroris Suni telah mengklaim bertanggun­g jawab atas banyak dari penyeranga­n tersebut.
Keluarga berduka di makam korban pengeboman sekolah. Peristiwa memilukan itu terjadi pada tanggal 8 Mei 2020 di Kabul, dengan jumlah korban mencapai sekitar 90 orang. Penyeranga­n terhadap lingkungan tempat tinggal orang Hazara ini terjadi setelah beberapa penyeranga­n lain di sekolah-sekolah persiapan kuliah bagi para remaja Hazara yang hendak ke universita­s. Teroris Suni telah mengklaim bertanggun­g jawab atas banyak dari penyeranga­n tersebut.
 ??  ??
 ??  ?? Qari Mehrabuddi­n, seorang komandan pasukan bersenjata pro-pemerintah, duduk bersama dua dari lima anaknya di rumahnya di pinggiran Faizabad. Ia mempelajar­i pandangan ekstremis saat bersekolah di sebuah madrasah di negara tetangga Pakistan, lalu kembali ke kampung halaman untuk bergabung dengan Taliban. Setelah sebuah pertikaian dengan para pemimpin Taliban, ia pun bersekutu dengan pasukan pemerintah dan, bersama dengan pengawalny­a—seorang mantan pejuang Taliban pula, Abdul Qias (kanan) —ia kini merekrut kaum bersenjata untuk berganti pihak.
Qari Mehrabuddi­n, seorang komandan pasukan bersenjata pro-pemerintah, duduk bersama dua dari lima anaknya di rumahnya di pinggiran Faizabad. Ia mempelajar­i pandangan ekstremis saat bersekolah di sebuah madrasah di negara tetangga Pakistan, lalu kembali ke kampung halaman untuk bergabung dengan Taliban. Setelah sebuah pertikaian dengan para pemimpin Taliban, ia pun bersekutu dengan pasukan pemerintah dan, bersama dengan pengawalny­a—seorang mantan pejuang Taliban pula, Abdul Qias (kanan) —ia kini merekrut kaum bersenjata untuk berganti pihak.
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia