PEREBUTAN KENDALI
Taliban muncul akibat perang saudara pada 1990, setelah Soviet diusir. Kelompok militan Islam ini memperoleh kendali Kandahar pada 1994 dan pemerintah pusat di Kabul pada 1996, memerintah sebagian besar Afganistan hingga AS menginvasi pada 2001. Kini mereka kembali berkuasa di banyak tempat, mempergunakan pijakan dari pedesaan menuju kota, selagi AS menarik pasukannya.
Sebuah laporan pada Oktober 2020 oleh inspektur jenderal AS bagi rekonstruksi di Afganistan menemukan, dari 63 miliar dolar dana rekonstruksi yang diperiksa, hampir sepertiganya, “hilang karena tersia-sia, penipuan, dan penyalahgunaan.” Sebagian uang itu dipamerkan di ibu kota, Kabul, tempat miliuner dadakan mondar-mandir di antara gedung tinggi dan kompleks tempat tinggal bak benteng, dalam SUV Lexus berlapis baja, diikuti konvoi pria bersenjata. Beberapa di antaranya memperoleh keuntungan besar dalam industri baru setelah 2001. Jutaan uang tunai tak terlaporkan dibawa pergi ke Dubai oleh pejabat dan kroninya, dalam rekening bank dan kondominium mewah.
Budaya korupsi yang dicontohkan dari atasan ke bawahannya dan diperparah dengan adanya uang luar negeri, memiliki dampak sangat buruk di kepolisian. “Kalau sebuah kantor polisi perlu 15 petugas, pada kenyataannya hanya ada tiga; uang lainnya dicuri,” kata Ahmadi, sang mantan gubernur distrik di Provinsi Kandahar.
Dengan peralatan tak memadai, polisi umum dibenci karena memeras orang sebagai ganti gaji yang tak dibayar dan pasokan yang jarang ada.
DIPERSENJATAI OLEH koneksi yang tepat, Mahmood Karzai meninggalkan serangkaian restoran Afganistan miliknya di AS dan pulang kampung untuk mengeklaim yang dia miliki dalam ledakan konstruksi pasca-2001. Sebagai kakak dari presiden saat itu, Hamid Karzai, ia menjadi kekuatan pendorong di balik Ayno Maina, salah satu pembangunan swasta paling berhasil di Afganistan.
“Saya selalu mengambil risiko. Kalau saya punya sejuta, saya pertaruhkan di Las Vegas,” ujar Mahmood, sambil menjamu tamu di bawah sebuah lampu gantung kristal di pusat kegiatannya yang bergaya Italia di jantung kompleks itu. Sebuah lukisan cat minyak yang menggambarkan potret satu lagi adiknya, Ahmed Wali, tergantung di sebelah pintu. Sampai waktu pembunuhannya di 2011, Ahmed Wali merupakan kepala dari dewan provinsi Kandahar, pria paling berkuasa di Afganistan selatan dan simbol dari misi AS yang cacat. Ia seorang pebisnis dan pemain politik, konon dengan gaji dari CIA, dipercaya mempergunakan posisi dan hubungannya untuk menutupi jual-beli narkoba dan pencucian uang dengan skala amat besar.
Naiknya Mahmood pun dibayang-bayangi oleh tuduhan permainan kotor, terutama skandal 2010 di Bank Kabul, yang pada saat itu adalah bank swasta terbesar di negara itu dan ia menjadi pemilik saham ketiga terbesarnya. Penyelidikan independen menemukan sekitar 900 juta dolar telah dicuri dari bank itu, 8 persen dari PDB negara yang sebesar 12 miliar dolar atau sekitar 173 triliun rupiah pada saat itu. Sekelompok juri besar AS menyelidiki Mahmood untuk tuduhan penipuan dan penghindaran pajak dalam sebuah penjualan properti di Dubai, tetapi tidak pernah menjatuhkannya hukuman.
Mahmood melupakan tuduhan itu dan menganggapnya sebagai fitnah yang dilakukan musuh keluarga Karzai, tetapi ia juga mengakui kedekatannya dengan kekuasaan telah membantunya. Saat saudaranya menjadi presiden, gubernur Kandahar memberi Mahmood sertifikat tanah bagi Ayno Maina. Ia berkata bahwa ia memulai dengan 50.000 dolar dari tabungannya sendiri dan mendapatkan pinjaman tiga juta dolar dari sebuah agen pemerintahan AS. “Kemakmuran datang dan dinikmati sedikit orang, dan saya salah satu di antaranya,” ujarnya tanpa rasa maaf. “Sayangnya, sebagian besar orang Afganistan tidak mendapatkan bagian mereka yang layak. Kita terlalu memperhatikan pembangunan kota dan melupakan wilayah pedesaan. Dan wilayah pedesaan ini, mereka punya senjata.”
Tahun lalu Presiden Ghani menjadikan Mahmood menteri pembangunan kota dan desa. Ia bersumpah untuk membuat kepemilikan rumah lebih mudah diakses bagi populasi urban yang tumbuh pesat akibat tingginya angka kelahiran
serta suramnya prospek ekonomi dan ketidakamanan di wilayah desa. Mahmood memperluas perumahan terjangkau di Ayno Maina dan membuka lahan bagi sebuah proyek yang lebih besar di Kabul: pembangunan 5.000 hektare yang didanai pemerintah dan mengetengahkan komunitas pemukiman bergaya AS. “Permintaannya tak dapat dipercaya,” tuturnya,
‘Di sisi lain: ORANG PEDESAAN konservatif dan MERASA DIABAIKAN oleh negara tersentralisasi yang dijalankan para elite. TAMIM ASEY, mantan deputi menteri pertahanan
dengan semangat bak wiraniaga. “Kalau saya jual semuanya, saya akan jadi sangat kaya.” Meskipun demikian, ia mengakui, “Saya tidak yakin dengan masa depan negara ini.” Saat AS pergi, ia memperkirakan Taliban “akan merebut negara ini secara paksa.” Jika terjadi perang saudara, ujarnya, ia akan pergi. “Saya tak mau dibunuh.”
DUDUK DI RUANG SANTAI Hotel Serena berbintang lima beberapa bulan yang lalu di Kabul, Raihana Azad, 38 tahun, memperlihatkan perilaku percaya diri kaum elite berduit di ibu kota. Wanita anggota parlemen sejak 2010 ini mengenakan baju bisnis setelan blazer hitam apik dan elegan tanpa kerudung, berbicara dalam rentetan cepat dan lantang memenuhi ruangan.
Lahir dari etnis Hazara di wilayah keras dari Provinsi Daykundi, ia melahirkan dua anak setelah pernikahan yang dijodohkan pada usia 13 tahun. Namun, Azad tetap bersekolah, mendapatkan pekerjaan dari PBB yang mempromosikan pendidikan perempuan, dan berhasil sampai ke Kabul, tempat ia mendapatkan gelar sarjana hukum. Ia mempergunakan pendidikannya untuk mendobrak hal tabu, menuntut perceraian yang membuatnya menjadi orang terbuang di keluarganya sendiri. Ia mencalonkan diri menjadi anggota parlemen dan terpilih selama dua periode berturut-turut meskipun tak menutupi ateismenya maupun perceraiannya. “Orang-orang tidak peduli dengan kehidupan pribadi saya karena saya bekerja untuk mereka dan selalu memberi tahu yang sebenarnya,” katanya sambil mengangkat bahu.
Gaya Azad yang berani membuatnya memiliki musuh. Ia telah selamat dari sebuah bom bunuh diri dan sebuah usaha pembunuhan dalam suatu perjalanan pascakampanye di pedesaan. Ancaman kematian memaksanya untuk memindahkan anak-anaknya ke luar negeri, sering berganti lokasi, dan bepergian dengan kendaraan antipeluru. “Saya tidak takut lagi,” ujarnya. “Saya berjuang agar generasi kami berikutnya tak semenderita kami.”
Saat ini perempuan mencakup 27 persen dari dewan, jumlah yang serupa dengan dewan di AS, sebagian berkat kuota yang dimasukkan ke konstitusi pasca-taliban. Sebagai pribadi independen yang menolak bersekutu dengan orang kuat, Azad berjuang menyalurkan sumber daya ke konstituennya di Daykundi, yang sebagian besar etnis minoritas Hazara di wilayah terisolasi yang kekurangan prasarana. Pemerintah dan penyumbang luar negeri “hanya fokus di area yang tak aman,” ujarnya. “Kami ini provinsi percontohan, dan kami sudah dilupakan.”
Terletak sekitar 400 kilometer di barat Kabul, Daykundi terputus dari perdagangan dan perjalanan selama tiga bulan dalam setahun karena jalanannya tak dapat dilalui selama musim dingin. Ketika cuacanya baik, masih butuh dua hari atau lebih untuk mencapai ibu kota dengan menggunakan mobil, di jalan tanah mengerikan tempat para bandit dan Taliban berkeliaran.
Daykundi menjadi salah satu bagian Afganistan yang paling damai dan berorientasi pendidikan, sebagian besar dihuni oleh Hazara, kaum muslim Syiah yang dipersekusi sebagai sesat oleh Taliban. Budaya Hazara cenderung lebih progresif; anak laki-laki dan perempuan belajar bersama, Bahasa Inggris umum dituturkan, dan perempuan terlibat dalam pertanian, mengelola
usaha, dan menyetir mobil. Siswa Hazara sering masuk deretan atas saat tes masuk perguruan tinggi nasional, bahkan saat beberapa di antara mereka harus mengerjakan tes di luar ruang, berjongkok di tengah salju. “Pendidikan itu segalanya di sini,” kata Rahmatullah Sultani, mantan gembala yang berkuliah di universitas dan mengajar Bahasa Inggris di pusat pendidikan yang didanai AS di Nili, ibu kota provinsi tersebut. “Pendidikan berarti kebebasan,” tambahnya lagi, “kemampuan untuk berpikir bagi diri sendiri dan memilih jalanmu sendiri.”
Ini kemungkinan tidak dapat dilakukan lagi, karena Taliban bergerak maju sampai ibu kota.
GEOGRAFI TERPENCIL DAN KERAS ialah sebagian hal yang menyebabkan kurangnya pembangunan di pegunungan. Namun ini tak membuat Hazara luput dari serangan terhadap minoritas etnis dan agama oleh Taliban dan ISIS, satu lagi kelompok ekstremis Suni. Dengan mandegnya pembicaraan perdamaian antara pemerintah Afganistan dan Taliban, kelompok etnis bersenjata—juga pejuang Hazara—mulai bersiap menghadapi kembalinya perang saudara.
Sejak AS memastikan penarikan pasukannya, Taliban menduduki lebih dari setengah dari 34 ibu kota provinsi. Namun Boucher, sang mantan diplomat AS, ialah salah satu orang di Washington yang percaya, sudah waktunya mengakhiri perang tak terarah yang menghabiskan dua triliun dolar uang pembayar pajak As—serta nyawa lebih dari 170.000 warga sipil, tentara, polisi, dan pejuang oposisi di Afganistan; kontraktor dan pasukan Amerika dan NATO; serta wartawan dan pekerja sumbangan internasional, menurut Costs of War Project di Brown University.
“Dunia kehilangan sebuah kesempatan besar selama 20 tahun terakhir dan tak akan dapat membenahinya dalam 40 tahun lagi,” ujar Amiri, sang analis. “Taliban akan datang, baik kita suka atau pun tidak.” Pasukan Angkatan Darat Afganistan berjuang keras memperlambat laju Taliban dengan dukungan udara dari AS yang semakin sedikit. Kelelahan dan desersi pun menggembosi deretan tentara.
Di sebuah pos polisi terpencil di distrik Panjwai, setengah jam berkendara ke barat Kandahar, bendera putih Taliban terlihat dalam jarak yang tak seberapa jauh pada beberapa bulan silam. Tampak kusut dan pening karena kurang tidur, petugas polisi Abdul Gafoor berkata, penembak jitu pihak musuh yang memiliki senjata AS dan teropong penglihatan malam— kelihatannya dirampas dari tentara Afganistan— menyerang setelah gelap dan menanam bom di jalanan.
Ghafoor yang berusia 22 tahun ingin mempelajari kedokteran. Namun, kesempatan yang kecil di provinsi kampung halamannya di Kapisa dan rasa patriotisme membuatnya mendaftar kepolisian dengan gaji bulanan kecil sebesar 13.000 afganis, atau 2,4 juta rupiah. Ia telah bertunangan, tetapi harus menunda pernikahannya sebab ia belum digaji selama enam bulan. “Gaji kami hilang dalam sistem,” ujarnya menghela napas. “Namun keadaan di sini tambah buruk, dan kami harus membela bangsa,” selama “kami
masih hidup dan darah mengalir di tubuh kami.” Sejak saat itu distriknya dikuasai Taliban. “Kita harus jalan terus,” tuturnya.
BAHKAN SAAT telah menjungkalkan pemerintahan Afganistan dan mengambil alih negara dengan kekerasan, mereka “tidak bisa memimpin Afganistan yang baru ini dengan todongan senjata,” jelas Asey, sang mantan pejabat pertahanan. “Generasi pencari kebebasan yang liberal dan toleran ini akan menjadi pembawa obor bagi Afganistan baru pascapenarikan AS, dan mereka tidak akan bertoleransi jika para ibu dan saudari mereka dipukuli di depan mereka, atau orangorang digantung di jalanan.”
Raihana Azad lebih tak yakin. Ia sangat kecewa Washington membuat kesepakatan dengan Taliban tanpa perlindungan bagi kaum perempuan dan minoritas. Saat pertama kami bertemu, ia berkata kepada saya bahwa orang-orang Afganistan akan melawan Taliban. Ia menjadi sinis setelah AS mengumumkan penarikan penuh. Dengan masa jabatan yang tersisa dua tahun, ia juga berpikir untuk meninggalkan Afganistan.